Banyak PSN Terancam Mangkrak, Bukti Perencanaan Pembangunan Kian Buruk

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Banyak PSN Terancam Mangkrak, Bukti Perencanaan Pembangunan Kian Buruk

Oleh Aisyah Humaira

(Aktivis Muslimah)

Di balik pencapaian pasti ada proses yang terus berprogres. Sayang sejuta sayang, upaya penguasa dalam negeri ini tak seideal itu untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya berita terbaru terkait banyaknya proyek strategis nasional (PSN) yang terancam mangkrak menunjukkan ketidakseriusan penguasa dalam pembangunan. Ini tentu saja semakin menggelisahkan bahkan memupuskan harapan rakyat.

Berdasarkan laporan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada Presiden Jokowi bahwa terdapat 58 PSN infrastruktur yang belum dimulai pembangunannya, padahal Jokowi menargetkan seluruh PSN pada 2024 harus selesai. Nilai investasi 58 PSN infrastruktur yang belum dibangun tersebut mencapai Rp420 triliun. Ironisnya, proyek-proyek tersebut ternyata tidak memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat-CNBC Indonesia, 13/07/2023).

Menanggapi hal ini, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Lpp Tata Ruang Kemenko Perekonomian sekaligus Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo menyatakan bahwa sampai saat ini 58 proyek tersebut belum dikeluarkan dari daftar PSN pemerintah.

Sambungnya, memang pada beberapa tahun sebelumnya, biasanya beberapa PSN yang mangkrak berpotensi untuk dikeluarkan dari daftar PSN pemerintah. Meski setelah dikeluarkan dari PSN, proyek-proyek tersebut sebetulnya tetap bisa diteruskan dengan alternatif pembiayaan yang bisa ditawarkan kepada pemerintah daerah maupun investor lainnya.

Adapun 58 PSN yang belum dibangun tersebut oleh Wahyu dirincikan, diantaranya yakni MRT East-West rute Cikarang-Balaraja, kereta api semicepat Jakarta-Surabaya, Pelabuhan New Ambon, ruas-ruas tol yang menjadi bagian dari Tol Trans Sumatera, Tol Bocimi yang mau diteruskan sampai Sukabumi, dan Tol Getaci. Ia mengakui tidak mungkin 58 proyek tersebut bisa selesai secara fisik. Namun, sesuai arahan Presiden, setidaknya untuk 58 proyek tersebut telah tersedia pembiayaan, pembebasan lahan dan perizinannya agar tidak mangkrak.

Mencermati program yang terdengar bombastis, tetapi tidak realistis ini sungguh membuat miris. Kebijakan yang penuh dengan drama. Jika memang infrastruktur tersebut proyek strategis nasional, mengapa banyak rakyat di lapangan merasa ini tidak memberikan manfaat. Lalu untuk apa dan siapa sebenarnya proyek-proyek ini?

Perhatikan saja fakta pada 2019 lalu, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan akan melelang enam proyek tol yang sebagian besarnya berada di Pulau Jawa. Ironisnya, semua proyek itu diprakarsai oleh badan usahaswasta maupun pelat merah dan bukan oleh Kementerian PUPR. Total nilai investasi yang dibutuhkan cukup fantastis, yakni sekitar Rp137,74 triliun. Angka ini hampir setara dengan APBD Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat pada 2019.

Dana yang dianggarkan kerap memunculkan polemik. Biasanya dana bersumber dari utang pemerintah atau BUMN. Alhasil untuk menutupi utang tersebut, mau tidak mau jalan tol yang sudah selesai dibangun berkonsekuensi dijual atau didivestasikan kepada swasta.

Mengutip Tirto (11/01/2019) Kepala BPTJ Herry Trisaputra Zuna pernah menyampaikan, polemik terkait penjualan ruas tol dari BUMN ke swasta sebenarnya wajar belaka. Katanya, bisnis tol merupakan usaha jangka panjang yang keuntungannya baru bisa kembali (balik modal) sekitar lima tahun mendatang. Sistem “bangun-jual” juga bukan sesuatu yang baru bagi BUMN untuk mencari sumber pendanaan dan meminimalkan penggunaan APBN. Pada 2012 lalu, misalnya, PT Jasa Marga Tbk. menjual 1,6 juta unit saham PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (didirikan oleh Soeharto pada April 1987) karena hendak mengakuisisi beberapa tol lain.

Konsep pendekatan pembangunan infrastruktur dengan sistem “bangun-jual” ini juga sudah biasa diterapkan di Cina. Negeri Tirai Bambu itu telah sukses membangun 131.000 km jalan tol. Capaian Cina ini coba diadopsi pada proyek Tol Trans Sumatera melalui konsorsium Hutama Karya pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan. Divestasi (melepas aset perseroan) atas tol juga dapat mengurangi rasio pinjaman terhadap modal yang dimiliki. Dengan demikian, keuangan perusahaan ke depannya bisa tetap sehat dalam menjalankan proyek-proyek lain yang dijalankan.

Apanya yang wajar? Perihal ini, masyarakat harus kritis. Kita tidak boleh melihat hanya dari sisi reputasi bombastisnya perencanaan pembangunan. Lebih dari itu, ekses konsep kerja BUMN terlihat jelas menggunakan skema bisnis. Selain adanya komersialisasi fasilitas umum yang semestinya itu hak publik, potensi korupsi di sektor pembangunan infrastruktur juga tidak kalah kejinya.

Beginilah pembangunan untuk umat dalam kacamata kapitalisme, capaian profit tertinggi dengan modal yang serendah-rendahnya adalah sesuatu yang biasa. Alhasil berjalannya sebuah proyek infrastruktur nihil dari spirit amanah pembangunan demi kepentingan rakyat.

Mirisnya, publik justru menganggap wajar ketika harus membayar tol, tiket transportasi umum, maupun retribusi masuk terminal/pelabuhan, padahal itu sejatinya tarif dalam rangka bisnis. Contoh lainnya fluktuasi perdagangan minyak yang diargumentasikan untuk menghalalkan kenaikan harga BBM dan tarif listrik, padahal keduanya sangat vital bagi kepentingan publik.

Sistem yang berorientasi hanya pada materi ini menjadikan hubungan penguasa dengan rakyatnya ibarat penjual dan pembeli, sungguh ini jelas relasi yang zalim. Dengan beragam produk kezalimannya tersebut, sudah sepantasnya kita meninggalkan sistem Kapitalisme ini.

Sistem Islam yakni Khilafah adalah satu-satunya solusi atas persoalan umat. Sistem yang mampu mengelola urusan publik, tidak terkecuali perihal perencanaan pembangunan berbagai fasilitas umum. Sehingga jelas hanyalah kacamata ideologi Islam, melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang mampu menggantikan.

Dalam Islam, perencanaan pembangunan dilakukan berdasarkan kebutuhan umat, bukan sekadar reputasi maupun modernisasi sebuah negara semata yang ternyata berbuah kezaliman kepada rakyatnya. Pemerintah dalam sistem Islam (Khilafah) akan mengatur skala prioritas pembangunan tersebut. Jika didapati infrastruktur tidak urgen bagi masyarakat, maka pembangunannya ditunda dan akan diprioritaskan yang benar-benar dibutuhkan segera oleh rakyatnya.

Misalnya pembangunan infrastruktur jalan di daerah terpencil untuk memudahkan akses transportasi masyarakat di sana. Tidak hanya membangun jalan ataupun jembatan yang berkualitas prima, pemerintah juga akan menyediakan sarana transportasi umum yang memadai sehingga mobilitas masyarakat termudahkan dan meminimalkan bahaya (dharar) bagi masyarakat yang menggunakan fasilitas umum tersebut.

Segala kemuliaan dalam sistem Islam ini karena penguasa Khilafah sadar dan menjiwai amanhnya sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Juga disabdakan beliau bahwa,

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Berdasarkan kedua hadits tersebut, maka infrastruktur beserta segala sesuatu yang menyertainya adalah bagian dari fasilitas umum sehingga penguasa sebagai yang bertugas mengelola untuk rakyatnya haram untuk memungut tarif di dalamnya. Jika infrastruktur dibangun oleh swasta/individu dan mereka merasa berkepentingan untuk menarik tarifnya, penguasa tidak boleh membiarkannya.

Sebagai solusi penguasa harus mengambil alih dengan membelinya atau mengganti biaya bahan material dan pembangunannya dari swasta/individu yang bersangkutan kemudian wajib memosisikan infrastruktur tersebut bagi kepentingan publik secara gratis sehingga seluruh kalangan bisa akses. Masya Allah begitu besar kepedulian pemimpin dalam sistem Islam terhadap umat.

Ingat doa Rasulullah saw., Beliau bersabda,

“Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.”(HR Muslim).

Demikianlah, Khilafah mengurusi urusan umat dengan menutup berbagai celah bisnis terhadap layanan publik, beserta seluruh mekanisme dan perencanaan pembangunannya. Maka, mari kita perjuangkan agar sistem mulia ini kembali tegak menanungi kita dalam Ketaatan.

 

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *