BANDARA DIKELOLA SWASTA ASING, MENGUNTUNGKAN NEGARA?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fenti Fempirina K, S.Pd

 

Perusahaan asal India, GMR Airport Consortium, akan turut mengelola Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara selama 25 tahun setelah memenangkan tender dan menjalin kemitraan strategis (strategic partnership) dengan PT Angkasa Pura II. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam pernyataannya memaparkan sejumlah keuntungan yang akan didapatkan melalui kemitraan ini, diantaranya PT Angkasa Pura II akan mendapatkan dana sebesar Rp 1,58 triliun dari GMR serta pembangunan dan pengembangan Bandara Kualanamu sebesar Rp 56 triliun dengan biaya tahap pertama sebesar Rp 3 triliun (kumparan.com,26/11/21).

Menurut Arya, GMR sebagai pemegang saham di joint venture company (JVCo) yakni PT Angkasa Pura Aviasi, membuat Angkasa Pura II tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualanamu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra. Sebagaimana telah diberitakan bahwa Angkasa Pura II dan GMR telah membentuk perusahaan patungan bernama PT Angkasa Pura Aviasi untuk mengelola Bandara Internasional Kualanamu dengan 51 saham dikuasai oleh Angkasa Pura II dan sisanya 49 persen saham oleh GMR.

Kemitraan pihak swasta dengan pemerintah memang sudah sering terjadi. Melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas, pemerintah membolehkan pihak swasta untuk turut mengelola aset negara. Lebih jelas lagi, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa badan usaha yang bisa mengelola aset negara adalah badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, dan koperasi. Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menjabarkan aset yang bisa dikelola melalui skema ini, antara lain infrastruktur transportasi seperti pelabuhan, bandara, dan terminal bus. Selain itu infrastruktur jalan tol, sumber daya air, air minum, sistem pengelolaan air limbah, sistem pengelolaan sampah, telekomunikasi dan informatika, ketenagalistrikan, minyak, dan gas bumi (infopublik.id,12/3/20).

Dengan terlibatnya pihak swasta dalam pengelolaan aset negara, diklaim akan mendatangkan keuntungan bagi negara diantaranya dari sisi pembiayaan, pengelolaan, dan pengembangan lebih lanjut. Selain itu pemerintah juga mendapat pemasukan melalui penerimaan kerjasama dalam pengelolaan aset.

Padahal, masuknya pihak swasta dalam pembangunan dan pengembangan fasilitas publik adalah paradigma khas paham kapitalisme. Keterlibatan pihak swasta ini akan berdampak pada komersialisasi beragam aset negara. Beragam sarana yang seharusnya adalah bentuk pelayanan negara demi kemaslahatan rakyat, akan berubah haluan menjadi bersifat komersil untuk mendulang keuntungan. Langkah ini, lambat laun akan mengikis peran dan tanggung jawab negara dalam kepengurusan rakyatnya.

Kebijakan Pembangunan Infrastruktur dalam Khilafah

Islam menetapkan bahwa Imam (kepala negara) bertanggung jawab penuh untuk mengurusi rakyat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya(HR al-Bukhari).

Hadist ini menjadi landasan bagi para imam (Khalifah) untuk memberikan perhatian besar dan pelayanan yang optimal terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk dalam hal pengadaan beragam sarana dan fasilitas publik.

Dalam pembangunan infrastruktur khilafah tidak akan bergantung kepada utang dan investasi dari pihak swasta. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam secara utuh dan murni, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membangun infrastuktur tanpa memungut sepeserpun dari rakyatnya. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat nanti kekayaan milik umum akan dikelola dan dikuasi penuh oleh negara, ditambah harta milik negara semisal dari pos fa’i dan kharaj.

Hal ini sudah dibuktikan pada masa kekhilafahan baik  di zaman Khulafaur Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga Utsmaniyyah. Contohnya dalam proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam dan Istambul yang dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun.

Jika pun kas Baitul Mal sedang kosong, sedangkan proyek infrastruktur yang akan dibangun bersifat vital, maka negara akan mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Jika masih tidak cukup, negara akan memberlakukan pajak yang hanya dipungut dari yang kaya saja. Adapun jika proyek infrastruktur tersebut tidak vital, maka negara akan menunda pembangunan hingga tercukupinya kas di Baitul Mal. Tidak boleh bagi negara menarik pajak dan fasilitas kredit dalam kondisi ini, terlebih lagi berutang pada pihak perusahaan atau negara asing.

Hal ini dilakukan untuk menutup celah bagi masuknya intervensi dan penjajahan asing. Negara Khilafah akan bersikap cermat, hati-hati dan tidak mudah tertipu untuk masuk pada jebakan penjajahan. Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *