BACALEG BEKAS NAPI, PANTASKAH?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

BACALEG BEKAS NAPI, PANTASKAH?

Oleh Rahma

(Aktivis Mahasiswi Surabaya) 

Dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia. Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g.

Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. Jika mantan koruptor ingin mendaftar, hanya diwajibkan mengumumkan kepada publik terlebih dahulu bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan telah selesai menjalani hukuman.

Aturan tersebut mendapat reaksi dari para warganet. Mereka mempertanyakan kegunaan SKCK yang selama ini kerap menjadi salah satu syarat melamar pekerjaan. SKCK biasanya digunakan perusahaan untuk mengecek jejak rekam pelamar. Pelamar yang pernah terlibat tindak kriminal biasanya akan ditolak dan tidak diterima di sebuah perusahaan atau tempat kerja.

Sungguh ironi, ketiadaan standart yang jelas dan didasarkan pada nilai yang jelas menjadikan kriteria penentuan pemimpin dalam sistem demokrasi kian longgar. Bahkan bekas napi saja di berikan izin untuk kemudian memiliki peluang menduduki kursi kepemimpinan. Sedangkan sebagai seorang muslim. Baik menjadi calon yang akan dipilih ataupun yang akan memilih, maka standart kita dalam beramal adalah jelas yakni syariat yang telah Allah turunkan atas kita.

Seorang pemimpin diangkat dengan kualifikasi yang telah ditentukan oleh syariat. Tentunya bukan seorang yang sedang melakukan kemaksiatan. Mereka di angkat dengan kriteria Laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka dan adil. Sedangkan kriteria keutamaan yang lain adalah tidak sedang melakukan pelanggaran syariat. Berbeda dengan penentuan pemimpin dalam sistem Demokrasi. Belum menjabat saja mereka sudah bekas napi korupsi, sedangkan ketika sudah menjabat, maka akan ada banyak kemungkinan dan peluang untuk melakukan tindakan sama dengan yang pernah dilakukan sebelumnya.

Sistem demokrasi dengan mekanismenya yang berbiaya mahal akan sangat meniscayakan para calon untuk menyiapkan modal besar. Sehingga orinentask ketika sudah menjadi pemimpin adalah untuk mengembalikan modal besar yang sudah pernah di keluarkan. Dengan kondisi demikian, sistem hari ini akan sangat berpeluang untuk menjadikan semua calon itu melakukan korupsi untuk balik modal.

Oleh karena itu, selama demokrasi masih dipertahankan di negeri ini, pemberantasan korupsi tetap menjadi sekadar basa- basi dan pemerintahan yang bersih hanyalah ilusi. Jika serius ingin Indonesia bebas dari korupsi, kita butuh mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem Islam. Sistem Islam bukanlah buatan manusia, melainkan berasal dari wahyu-Nya yang terjadinya sahih. Inilah yang lebih dikenal sebagai Khilafah.

Dalam sistem Khilafah, salah satu syarat penguasa adalah sifat adil yang tertera di surat An Nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat”

Menurut Imam Taimiyah, orang yang adil yakni orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat. Sedangkan Orang fasik (pelaku maksiat) tidaklah terkategori adil.

Artinya, para koruptor tersebut tentu tidak layak mencalonkan diri menjadi penguasa. Khilafah memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Āli ‘Imrān : 161

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkan(-nya), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi”

Pada aspek preventif, hanya orang-orang adil yang berhak menjadi penguasa, pejabat, dan pegawai. Orang fasik yang sudah terbukti suka bermaksiat, akan dilarang menjabat dalam pemerintahan.

Pergerakan jumlah harta pejabat juga senantiasa diawasi oleh khalifah. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, mereka harus membuktikan sumbernya. Jika terbukti bersalah, pejabat tersebut akan diumumkan di publik, harta ghulul miliknya disita, dan dihukum takzir yang jenisnya ditentukan oleh khalifah atau kadi. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati.

Wallahua’lam Bishawab..

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *