Bacaleg Bekas Napi Korupsi, Pantaskah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bacaleg Bekas Napi Korupsi, Pantaskah?

Oleh Aisyah Humaira

(Aktivis Muslimah)

                                

Akhir-akhir ini masyarakat kembali disibukan oleh riuhnya suasana pemilu dengan ragam tanggapannya atas setiap personal bakal calon legislatif di pemilu 2024. Kita menyaksikan banyaknya bakal calon yang terpampang nyata dengan kata-kata penakluk suara rakyatnya hampir di seluruh media televisi dan baliho di jalan raya. Tapi ada yang menarik perhatian warga dan cukup membuat heboh jagat maya. Pasalnya, di antara deretan nama masyhur yang masuk daftar bakal calon legislatif (bacaleg) yang ada, terdapat beberapa nama yang merupakan mantan napi koruptor. Pantaskah?

Bersumber dari VOA Indonesia (26/08/23) memang ada beberapa yang merupakan mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang terdaftar dalam bacaleg pemilu 2024. Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 12 mantan terpidana korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Bacaleg yang diumumkan oleh KPU pada 19 Agustus lalu. Mereka mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Berikut beberapa nama yang terdaftar tersebut yakni Abdullah Puteh (korupsi pembelian helikopter), Susno Duadji (korupsi pengamanan Pilkada Jawa Barat 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari), Nurdin Halid (korupsi distribusi minyak goreng Bulog), Al Amin Nasution (penerima suap untuk proyek alih fungsi hutan lindung), Rokhmin Dahuri (korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan), dan Irman Gusman (penerima suap dalam impor gula oleh Perum Bulog). (Kompas, 25-8-2023).

Fenomena ini menunjukan bahwa mantan koruptor difasilitasi oleh parpol untuk melaju berkuasa di panggung pemerintahan. Aneh bin ajaibnya, ibarat ranjau dibalik selimut realitanya banyak fakta yang seolah ditutupi. Di pemilu 2024 ini, ternyata KPU tidak mengumumkan status hukum serta tidak melarang mereka untuk menjadi bacaleg. Dengan berdasar pada pasal 43 ayat (1) UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga.

Berbeda dengan pemilu sebelumnya. Melansir dari CNN Indonesia (24/08/23) bahwa di pemilu 2019 lalu, KPU mengumumkan daftar caleg yang pernah terlibat korupsi. Kala itu, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) 20/2018, KPU melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Namun, PKPU tersebut digugat oleh sejumlah mantan napi koruptor dan akhirnya dibatalkan oleh MA. Pembatalan tersebut berdasarkan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018 yang menilai larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu.

Sungguh merupakan fenomena aneh tapi nyata Ketika mendapati para mantan koruptor dibolehkan menjadi bacaleg di pemilu 2024 ini. Aneh karena selama ini narasi hingga orasi pemberantasan korupsi yang kerap didengungkan seakan hanya ilusi jika melihat faktanya kok malah begini. Apalagi mantan koruptor yang menjadi bacaleg merupakan sosok yang memiliki posisi strategis di partainya maka besar kemungkinan terpilih. Alhasil, keputusan yang ada dari MA maupun KPU seolah-olah memang didesain untuk memuluskan mereka menduduki kekuasaan.

Akhirnya korupsi tidak akan benar-benar diberantas sebagaimana misi yang kerap terdengar indah sekali di hari anti korupsi dan argumen yang kerap jadi konsumsi sehari-hari keum intelktual di televisi nasional. Jelas saja karena dianggap menguntungkan para politisi. Beginilah yang terjadi karena saat ini sistem yang diterapkan oleh negara adalah kapitalisme dengan akidahnya yang sekuler melahirkan konsep pemerintahan yang kita kenal saat ini sebagai demokrasi.

Pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa basi. Menjadi basa-basi karena pemerintahan dengan konsep demokrasi dimana hak membuat aturan ada pada manusia yang jelas lemah, serba kurang dan terbatas bukan penerapan berdasarkan aturan Tuhan (Allah Swt.). Dampaknya para penguasa dalam sistem bathil ini membuat aturan sesuka akal dan hatinya untuk memuluskan gejolak politik dalam diri yang jelas mencacati negeri.

Misalkan saja pada kontestan pemilu, berdasarkan instruksi Jaksa Agung, S.T. Burhanuddin, justru dalam pelaksanaanya dilindungi dengan cara menunda pengusutan kasus korupsi terhadap mereka yang terlibat pemilu. Ujungnya, para koruptor yang menang. Miris. Karenanya jangan heran jika kasus korupsi di Indonesia, bumi pertiwi yang kita huni ini sekalipun periode penguasa berganti tapi jika masih dalam naungan demokrasi yang ada makin meninggi.

Dengan demikian, jika serius untuk membangun perubahan yang berarti untuk negeri dan membebaskan negeri ini dari pekatnya korupsi, maka sudah seharusnya kita mencabut akar permasaslahannya yakni mengubah sistem pemerintahan dari demokrasi menjadi sistem pemerintahan Islam yang dikenal dengan Khilafah. Dalam sistem Khilafah, salah satu syarat penguasa adalah sifat adil. Allah Swt. berfirman di dalam QS An-Nahl: 90,

“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.”

Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting. Rasulullah saw. bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan yaitu apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah, baik dalam hudud maupun hukum-hukum lainnya. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah). Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat. Sedangkan orang fasik (pelaku maksiat) tidaklah terkategori adil. Artinya seseorang yang terlibat kasus korupsi terkategori tidak adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi penguasa. Maka tidak layak bagi mereka mencalonkan diri menjadi penguasa.

Terhadap permasalahan korupsi, sistem pemerintah Islam yakni Khilafah bertindak tegas dan benar-benar menyolusi karena jelas baik aspek preventif hingga kuratifnya. Korupsi merupakan sebuah keharaman berdasarkan haramnya ghulul (lihat QS Ali Imran: 161). Pada aspek preventif, hanya orang-orang adil yang berhak menjadi penguasa, pejabat, dan pegawai. Orang fasik yang sudah terbukti suka bermaksiat, akan dilarang menjabat dalam pemerintahan.

Sedangkan dalam aspek kuratif ada sanksi yang membuat jera, bermula dari pergerakan jumlah harta pejabat senantiasa diawasi oleh khalifah. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, mereka harus membuktikan sumbernya. Jika terbukti bersalah, pejabat tersebut akan diumumkan di publik, kemudian harta ghulul miliknya disita, dan dihukum takzir yang jenisnya ditentukan oleh khalifah atau kadi. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati.

Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang bersih dan adil adalah sistem pemerintahan yang akan kita wujudkan ini. Seluruh hukum Allah Swt. akan tegak dengan adanya sistem ini. Inilah wujud nyata keadilan, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Taimiyah sebelumnya. Dengan mekanismenya yang lengkap dalam menyelesaikan problematika umat terbukti dalam jejak berdirinya selama 1400 tahun sungguah menjadi peradaban terbaik yang pernah ada dan pastinya akan ada.

Maka tugas besar kita sebagai bagian dari umat Islam tidak hanya berusaha memilih pemimpin bersih dan adil namun paling utama adalah mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan adil juga sehingga setiap politisi dan siapapun dalam naunganya dengan sendirinya dapat terkondisi menjadi bersih dan adil.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *