Aturan Jilbab Di Sekolah, Apakah Intoleransi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Iin S, SP.

 

Isu intoleransi selalu dikait-kaitkan dengan Islam. Seperti kebijakan sekolah yang mewajibkan setiap siswinya untuk mengenakan jilbab, hal ini dianggap pemaksaan bagi siswi nonmuslim. Padahal kebijakan ini hanya berlaku bagi siswi muslim saja, jika ada nonmuslim yang mengenakan jilbab itu bukan paksaan tapi secara suka rela.

 

Kasus terbaru adalah beredarnya video viral Elianu Hua, orang tua salah satu dari siswi SMK N 2 Padang, viral di media sosial. Elianu dipanggil menghadap pihak sekolah karena anaknya tidak mengenakan jilbab sebagaimana diwajibkan dalam peraturan sekolah. Elianu dan anaknya, Jeni Hia, menolak mengenakan jilbab karena bukan muslim.

 

Kemudian pihak Kepala Sekolah SMK N 2 Padang  meluruskan kalau pihak sekolah tidak memaksakan muridnya yang  nonmuslim untuk berjilbab ketika sekolah (detikNews.com, 22/01/2021 ).

 

Fauzi Bahar, mantan walikota Padang (2004-2014) berpendapat aturan memakai pakaian muslimah atau berkerudung disekolah di kota Padang tidak perlu dicabut, karena aturan itu sudah bagus. Aturan itu dibuat tujuannya untuk melindungi generasi Sumatera Barat, dan tidak ada paksaan buat non muslim (ihram.co.id, 23/2/2021).

 

Kebijakan jilbab dianggap intoleran bukan pertama kalinya, kasus serupa pernah terjadi saat Ahok menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, juga melarang sekolah-sekolah negeri memaksa siswinya mengenakan jilbab. Padahal diakui siswa nonmuslim, mereka mengenakan jilbab dengan sukarela, tanpa paksaan (BBCNews.com).

 

Kehebohan semua pihak yang bereaksi menuntut pencabutan aturan seragam kerudung menegaskan bahwa dalam sistem sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan) ajaran Islam dianggap intoleran sebagai sumber lahirnya diskriminasi dan pelanggaran HAM. Agama tidak boleh ikut campur dalam ranah publik  maupun dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berjilbab. Islam dianggap membatasi ruang gerak perempuan dalam bekerja, kebebasan berekspresi, dan sebagainya.

 

Sejatinya tujuan menutup aurat adalah untuk menjaga kehormatan wanita, melindungi dari segala bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan, serta menjaga aurat wanita agar tidak terjadi kemaksiatan. Ini bukanlah bentuk intoleran  maupun diskriminasi seperti yang digembor-gemborkan para feminis yang lahir dari sistem Sekuler.

 

Menutup aurat juga bagian ketaatan seorang wanita terhadap agamanya. Bahkan, perintah menutup aurat bagi perempuan yang sudah baligh adalah wajib. Dalil ini diperkuat dalam firman Allah SWT dalam QS. Annur : 31, QS. Al-Ahzab:59.

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur:31)

 

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,“ Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. ”Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. ” (QS. Al Ahzab: 59)

 

Berbeda jika yang terjadi ketika siswi ingin mengenakan jilbab di sekolah, mereka harus menghadapi diskriminasi tak cuma dari kepala sekolah dan guru-guru (khususnya guru olahraga), juga rekan-rekannya sesama pelajar. Mengenakan jilbab dianggap radikal dan ekstrim, padahal hanya berusaha untuk taat terhadap agamanya.

 

Menurut Heriyati, memakai jilbab itu ibaratnya diperjuangkan dengan darah dan air mata, bukan sekedar mode. Pada pertengahan 1982, di SMAN 3 Bandung delapan siswi diancam akan dikeluarkan bila tak melepas jilbabnya. Begitu juga di SMAN 68 Jakarta. Seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab. Kejadian serupa terjadi pula di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari dan kota-kota lainnya di Indonesia (detikNews.com, 7/3/2018)

 

Ketika hal ini terjadi  tak banyak yang membela, baik itu instansi pemerintah maupun sesama muslim. Tak ada perlindungan, ini menegaskan terjadinya tirani minoritas terhadap umat muslim.

 

Jika kita melihat sejarah Islam pada masa silam, ketika Daulah Islam masih tegak akan kita lihat  umat Islam hidup berdampingan dengan nonmuslim (ahlu dzimmah) dan mereka dianggap sebagai warga negara Daulah, perempuan nonmuslim pun juga mengenakan pakaian yang sama dengan muslimah, yaitu kerudung dan jilbab. Hal ini tidak dibedakan, mengingat sebagai warga negara punya hak yang sama. Islam mengetahui bahwa kehidupan perempuan di tengah publik akan terjaga dan mulia, salah satunya dengan pakaian yang ditetapkannya.

 

Aturan berpakaian dalam kehidupan umum menyangkut kewenangan negara Islam untuk mengaturnya. Untuk pakaian perempuan di kehidupan umum, sebagaimana ketetapan Islam, maka perempuan nonmuslim juga menggunakan pakaian yang sama.

 

Sebagai kafir dzimmi yang mau patuh dan sukarela menjadi warga negara daulah, tidak ada paksaan. Kata “dzimmah” artinya perlindungan, mereka sebenarnya mencari suaka kepada negara Islam. Mereka tunduk berserah pada kempemimpinan pemerintahan Islam. Tidak akan muncul merasa didiskriminasi dan hak-haknya dirampas ataupun dipaksa.

 

Bahkan, dalam hal urusan makanan dan pakaian pun nonmuslim diperlakukan sesuai agama mereka dan dalam ruang lingkup aturan syara’ yang diperbolehkan, maka ahlu dzimmi diperbolehkan untuk berpakaian menurut agamanya, yaitu pakaian pendeta, biarawati, rahib Yahudi, dan sebagainya.

 

Kemudian dalam realitas sejarah sepanjang era kekhalifahan, perempuan muslim atau nonmuslim biasa mengenakan jilbab, yaitu pakaian yang menutupi pakaian dalam, dan menutupi kepala. Bahkan setelah keruntuhan Khilafah, kondisinya tetap sama, hingga waktu tertentu di mana sekularisasi dan liberalisasi merasuk ke negeri muslim.

 

Jika orang tua berumur di atas 70 dan 80 tahun ditanya bagaimana pakaian perempuan waktu dulu, mereka akan menceritakan mereka melihat perempuan Kristen dan Muslim dengan pakaian yang sama di desa-desa yang ada di Palestina.

 

Itulah kenapa syariat  harus ditegakkan ditengah-tengah umat, yakni untuk mengatur kehidupan manusia dengan adil dan bijaksana.  Hingga aturan berpakaian yang memperhatikan kehormatan perempuan, tidak hanya bagi muslimah tetapi juga bagi perempuan nonmuslim.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *