Alih Fungsi Lahan Hutan yang Kebablasan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Alih Fungsi Lahan Hutan yang Kebablasan

Fera Maulida

Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah

 

Salah satu opsi untuk mengatasi kerusakan/krisis hutan adalah melalui kebijakan pengalihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan. Tindakan ini dianggap sebagai solusi karena selain dapat segera menghasilkan pendapatan daerah melalui berbagai bentuk retribusi dan pajak, juga membuka peluang besar untuk penciptaan lapangan kerja melalui industri perkebunan. Berdasarkan prinsip otonomi daerah yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam, termasuk sektor perkebunan.

Namun, penerapan kebijakan pengalihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan dengan pendekatan pembangunan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, telah menimbulkan dampak serius. Hal ini menciptakan konflik, baik dalam bentuk konflik normatif maupun konflik kepentingan. Implikasi dari kebijakan ini secara langsung atau tidak langsung menempatkan masyarakat adat pada posisi yang terpinggirkan.

Indonesia, dalam dua dekade terakhir, menjadi salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis. Data dari World Resources Institute (WRI) dalam laporan Global Forest Review mencatat bahwa Indonesia kehilangan 10,2 juta hektar hutan antara tahun 2002 dan 2022. Hutan primer tropis, yang merupakan hutan tua dengan cadangan karbon besar dan keanekaragaman hayati yang tinggi, mengalami deforestasi dan degradasi.

Deforestasi merujuk pada perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen, seperti perkebunan atau permukiman. Sementara degradasi adalah penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan, baik karena aktivitas manusia maupun peristiwa alam. Penting untuk diingat bahwa pulihnya hutan primer memerlukan waktu puluhan tahun atau bahkan berabad-abad, sementara kerusakan dapat terjadi dengan cepat melalui kebijakan yang kurang memperhatikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan hanya fokus pada produksi, wajar jika pengelolaan hutan di Indonesia dianggap serupa dengan manajemen tambang, di mana keberlanjutan menjadi prioritas terendah dan aktivitas penebangan mencapai tingkat tertinggi (Irawan, 2005). Dampaknya sangat merugikan, dengan kerusakan hutan yang mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. PT Inhutani, sebuah BUMN yang dikelola oleh Dephutbun, pernah menyelidiki bahwa eksploitasi hutan melalui pola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) telah menyebabkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta hektar. Saat ini, luas area yang rusak mencapai 56,98 juta hektar (Agustianto, 2005).

Hasilnya, hutan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan bagi rakyat Indonesia nyatanya tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.

Dalam konteks pengelolaan hutan menurut prinsip syariah, beberapa poin penting dapat dijelaskan:

1. Hutan dianggap sebagai kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara, sesuai dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa umat muslim berserikat dalam air, padang rumput, dan api.

2. Pengelolaan hutan seharusnya dilakukan hanya oleh negara, bukan oleh pihak lain seperti swasta atau asing, sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa pemimpin adalah penggembala dan bertanggung jawab atas gembalaannya.

3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sementara dari segi administratif bersifat desentralisasi yang ditangani oleh pemerintahan provinsi/wilayah.

4. Pendapatan hasil hutan seharusnya dimasukkan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan didistribusikan sesuai dengan kemaslahatan rakyat, sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa kebijakan pemimpin harus berdasarkan pada prinsip kemaslahatan.

5. Negara berhak melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk kepentingan khusus, seperti jihad fi sabilillah.

6. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaannya.

7. Negara wajib mencegah segala bentuk bahaya atau kerusakan pada hutan, sesuai dengan prinsip fikih yang menyatakan bahwa segala bentuk kemudharatan harus dihilangkan.

8. Negara berhak memberikan sanksi ta’zir yang tegas kepada pihak yang merusak hutan, seperti pembalakan liar atau pembakaran hutan di luar batas yang dibolehkan.

Ini semua bias terwujud ketika negara menerapkan sistem sahih yang berasal dari Allah Swt., yakni sistem Islam. Mari kita tinggalkan sistem kufur ini, dan kembali pada sistem Islam yang akan memberikan kemaslahatan pada seluruh umat.

Wallahualam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *