Aksi Pembakaran Al Qur’an Berulang, Paradoks HAM Ala Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Aksi Pembakaran Al Qur’an Berulang, Paradoks HAM Ala Kapitalisme

 

Oleh Annisa Afif Abidah

Kontributor Suara Inqilabi

 

Alquran adalah kitab suci dan bagian penting dalam hidup umat Islam. Bagi kaum muslimin, Alquran adalah hukum dan perintah, pedoman untuk berperilaku dan moral, serta berisi filosofi agama. Ini adalah kompilasi wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad dari Allah SWT melalui malaikat Jibril.

Alquran adalah kalamullah, atau kalimat Allah SWT dan berasal dari sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman,

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud : 1).

Alquran berisi petunjuk lengkap bagi umat manusia. Bagi seorang muslim, sudah seharusnya mereka selalu dekat dengan Alquran. Isyarat ini juga yang sudah seharusnya disadari umat Islam bahwa menjaga kalam-kalam-Nya merupakan bagian dari ibadah. Kemurnian yang ada dalam Alquran harus tetap dijaga dengan cara membaca, menghafal, mentadabburi, serta mengamalkan isi kandungannya.

Begitu mulia posisi Alquran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam, maka wajar jika saat ini perih dan getir menjadi frasa yang mewakili perasaan umat Nabi Muhammad Saw. Pasalnya, pembakaran Al-Qur’an terus berulang. Meskipun umat Islam meradang, tetap saja tak diindahkan. Tampaknya Salwan Momika, si pelaku pembakaran Al-Qur’an di depan halaman masjid terbesar di Swedia tidak memiliki rasa gentar sedikit pun. Ia berani menorehkan luka pada saat umat Islam tengah bersuka cita merayakan momen Idul Adha.

Salwan adalah seorang ateis yang memiliki kebencian luar biasa terhadap Islam dan pemeluknya. Pasca membakar Al-Qur’an beberapa waktu lalu, dengan pongahnya ia mengatakan bahwa dalam waktu dekat ia akan kembali melakukan aksi serupa. Tentunya, apa yang dilakukan oleh Salwan ini termasuk perilaku tidak terpuji. Namun, mengapa aksinya itu justru dibiarkan?

Nyatanya Islamophobia dan sentimen negatif terhadap umat islam masih menjadi isu yang harus diperhatikan. Merujuk pada voaindonesia.com, disampaikan bahwa di bawah pengawasan ketat polisi Stockholm, Salwan Momika, usia 37 tahun, yang melarikan diri ke Swedia beberapa tahun lalu, Rabu (28/6) menginjak-injak Al-Qur’an sebelum membakar beberapa halamannya di depan masjid terbesar di Stockholm. Polisi telah memberinya izin untuk melancarkan protes itu sesuai dengan perlindungan kebebasan berbicara, tetapi kemudian mengatakan telah membuka penyelidikan atas pembakaran Al-Qur’an yang memicu kemarahan di seluruh dunia Muslim itu.

Inilah paradoks HAM yang digaungkan barat dalam kehidupan kapitalisme. Di satu sisi ia begitu gencar mempropagandakan Hak Asasi Manusia (HAM), tapi di sisi lain ia telah membuat luka yang begitu dalam kepada Islam dan pemeluknya. Logikanya, jika HAM itu benar-benar direalisasikan, maka setiap orang seharusnya menghormati agama dan pemeluk agama lain. Tidak menyakitinya, tidak menghina nabinya, tidak menistakan kitab sucinya, dan tidak pula menghancurkan tempat ibadahnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Atas dasar kebebasan berekspresi dan berperilaku polisi Swedia telah memberikan izin kepada Salwan Momika untuk melakukan pembakaran terhadap Al-Qur’an. Dengan kata lain, tindakan Salwan itu adalah legal.

Banyak orang, lembaga, dan bahkan negara mengecam aksi tersebut. Salah satunya berasal dari Kementerian Luar Negeri Indonesia. Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.” (bbc.com, 30/06/2023).

Uni Eropa juga tidak tinggal diam. Mereka mengecam aksi provokatif tersebut. Hal ini sebagaimana dikutip dari jpnn.com, bahwa Uni Eropa (UE) menyatakan sikapnya untuk mengkritisi aksi pembakaran Al-Qur’an di Stockholm, Swedia (03/07/2023).

Meskipun kecaman demi kecaman telah dilontarkan, tapi hal tersebut tidak cukup ampuh untuk mencegah terjadinya aksi serupa. Bukankah yang sebelumnya juga sudah ada berbagai kecaman pula? Namun, hasilnya nihil. Pembakaran Al-Qur’an terus saja berulang.

Dilihat dari posisinya, posisi umat Islam saat ini sangatlah lemah. Padahal, jumlahnya mayoritas. Rupanya, sejak ketiadaan junnah atau perisai yang melindunginya dari serangan-serangan musuh, kini umat Islam tengah menjadi umat tak berdaya. Mudah dikerat-kerat oleh para serigala buas. Oleh karena itu, teramat wajar jika para pelaku pembakaran Al-Qur’an itu tidak takut saat mereka melakukan aksi provokatifnya.

Menyikapi persoalan di atas, umat Islam seharusnya bersatu padu untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Tidak mencukupkan diri dengan memberikan kecaman saja. Namun, lebih dari itu umat yang mendapat predikat sebagai umat terbaik dari sisi Allah ini sudah saatnya mengembalikan marwahnya sebagai umat terkemuka. Menjadi umat yang memiliki power, sehingga disegani oleh kawan maupun lawan. Menjadi tanggung jawab semua Muslim untuk bergandengan tangan dan menyatukan hati agar tak seorang pun di dunia yang berani menyerang kesucian umat Islam.

Saat ini umat Islam bak anak ayam yang kehilangan induknya. Tidak ada lagi penjaga dan pelindung kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Orang-orang kafir leluasa menghina Islam tanpa ada sanksi hukum yang membuat jera dan mencegah orang lain melakukan tindakan serupa.

Penjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin yang dimaksud ialah Khilafah yakni sistem pemerintahan Islam. Sejarah membuktikan sejak peradaban Islam tegak di Madinah dan Rasulullah salallahu’alaihiwassalam diangkat menjadi pemimpin Daulah Islam hingga berlanjut masa kekhilafahan dan berakhir di tahun 1924, upaya melecehkan Islam selalu digagalkan. Sebagaimana dalam sejarah ketika itu Perancis ingin mengadakan pementasan teater yang menghinakan Nabi Muhammad salallahu’alaihiwassalam. Namun digagalkan oleh Khalifah Abdul Hamid II. Lalu mereka memindahkan pertunjukan teater tersebut ke Inggris. Lagi-lagi Khalifah Abdul Hamid II tidak setuju.

Rupanya Perancis dan Inggris tetap kekeh melanjutkan berdalih atas nama kebebasan. Setelah mendengar jawaban itu, Khalifah Abdul Hamid II kembali memberikan perintah: “Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkankan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! Saya akan kobarkan Jihad al-Akbar (Jihad yang besar).”

Mereka dengan serta-merta melupakan keinginannya mengamalkan “kebebasan berpendapat” (freedom of speech) dan pementasan drama itu dibatalkan. Begitulah, Khilafah yakni sistem Pemerintahan Islam yang syar’i yang dicontohkan nabi. Khalifah yakni pemimpin negara yang taat kepada Allah akan menjadi “perisai” bagi Islam dan kaum muslimin. Pada akhirnya, dapat ditarik benang merah kembali bahwa umat Islam butuh perisai dan sudah saatnya bersama-sama untuk mewujudkannya.

Wallaahu’alam bish-shawab.

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *