Akan Dibawa Kemana Negara Ini, Wahai Rezim?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Anggraini Arifiyah (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah Islam Kaffah)

 

Sejatinya perdagangan merupakan hal yang penting bagi ekonomi negara, tak terkecuali perdagangan regional dan internasional. Kini Indonesia baru saja menandatangani perjanjian dagang The Regional Comprehensive Ekonomi Partnership (RCEP) yakni perjanjian negara-negara di Kawasan Asia Tenggara/ ASEAN dengan Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Penandatanganan Perjanjian yang telah digodog selama 8 tahun itu berlangsung dalam Konferensi Tingkat Tinggi RCEP ke lV yang dilakukan secara virtual pada Minggu, 15 November 2020. (cnbcindonesia.com, 15/11/2020)

Perjanjian itu bertujuan untuk membuka akses pasar, menyediakan fasilitas perdagangan dan investasi serta mempromosikan integrasi ekonomi regional. RCEP ini merupakan komitmen pemimpin negara di kawasan terhadap paradigma win-win yang mengutamakan kepentingan bersama, komitmen atas perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut yang mana digadang-gadang akan menjadi bagian penting bagi komitmen kawasan terhadap sentralitas ASEAN di kawasan Indo-Pasifik.

Presiden Indonesia, Joko Widodo berharap penandatanganan perjanjian dagang RCEP dapat membantu pemulihan ekonomi yang terperosok akibat Pandemi Covid-19 yakni membantu meningkatkan kembali kepercayaan dunia usaha sekaligus menjaga stabilitas industri dan rantai pasok regional serta global. Perjanjian RCEP juga diharapkan menunjukan dukungan kawasan untuk sistem perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif dan berbasos aturan.

Namun faktanya, RCEP justru akan membantu Cina mengurangi ketergantungannya pada pasar dan teknologi luar negeri akibat keretakan hubungan dengan Amerika Serikat. RCEP juga akan memperkuat posisi Cina sebagai mitra ekonomi dengan Asia Tenggara, Jepang dan Korea Selatan. Bagi Cina kelompok baru ini merupakan rejeki nomplok. Pasalnya RCEP menjadi perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar WTO ditinjau dari potensi yang ada di kawasan.

Multilateral liberalisme dan regionalisme ini tetap memiliki pemain kunci dan aktor utama yakni negara-negara maju. Merekalah yang mengendalikan kerja sama ini, tidak ada yang mereka harapkan kecuali mendapatkan keuntungan sebesar-sebesarnya. Sementara Indonesia yang tidak memiliki kedaulatan ekonomi sebetulnya hanya akan menjadi objek dan sasaran pasar dunia. Walhasil keterikatan Indonesia dalam regionalisme ekonomi ibarat menyodorkan jiwa negeri untuk dipegang oleh negara lain.

Oleh karena itu perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif dan berbasis aturan hanya narasi busuk yang digunakan untuk menguasai perekonomian negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang atau pengekor seperti Indonesia. Apalagi rezim yang menerapkan sistem politik demokrasi dan memposisikan dirinya sebagai regulator akan sangat mendukung kerjasama antara negara ini melalui regulasi-regulasi. Hal ini nampak dari upaya pemerintah meregulasi berbagai sektor mulai dari ekonomi industri, energi pertanian, barang-barang konsumsi hingga layanan publik.

Keterlibatan Indonesia dalam RCEP hanya memperpanjang penjajahan ekonomi oligarki global yang meminjam tangan penguasa yang tak punya daya. Para penguasa penghamba kepentingan asing dinilai tidak mampu mengurusi rakyatnya dengan baik.

Sejatinya hanya Khilafah yang mampu memutus penjajahan ekonomi, karena hanya Khilafah yang mampu menandingi hegemoni mafia-mafia besar dunia melalui sistem ekonomi Islam.

Kehebatan dan kekuatan ekonomi Islam akan membawa kejayaan jika ada negara yang menerapkan hukum Islam secara total. Dan negara yang mampu melakukannya hanya sistem negara dalam bingkai Khilafah Rasyidah.

Wallahu’alam bi Ash-Showaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *