Agama Tidak Bisa Dijauhkan dari Politik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Agama Tidak Bisa Dijauhkan dari Politik

Oleh Anah

(Pemerhati Kebijakan)

Jelang Pilpres tahun depan, bursa capres dan cawapres sudah semakin memanas. Sampai hari ini ada tiga calon kandidat yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2024. Parpol-parpol serta massa pendukungnya juga sudah mulai saling mengunggulkan. Bahkan sering terjadi kampanye hitam di mana-mana, terutama di media sosial.

Di tengah panasnya bursa pencalonan capres-cawapres, Menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok,” ujarnya.

Pernyataan Menteri Agama RI menyiratkan pandangan kalau agama Islam itu adalah sesuatu yang negatif, bahkan menjadi musuh bersama, jika menyatu dengan politik dan pemerintahan. Bukan kali ini saja pejabat atau tokoh masyarakat, bahkan tokoh Islam, menolak muatan agama, khususnya Islam, dalam kancah politik. Seruan ‘tolak politisasi agama’ sering disampaikan kepada umat, terutama jelang Pilkada atau Pemilu.

soal Islam rahmat lil alamin juga keliru. Seolah jika kaum Muslim menegakkan akidah dan syariah Islam akan mengancam umat lain. Ucapan ini berbahaya dan menyudutkan ajaran Islam. Komentar ini bertentangan dengan makna yang dikandung dalam ayat tersebut, juga bertentangan dengan hukum-hukum Islam serta realita sejarah dan fakta kekinian.

Allah SWT berfirman: “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107). Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang risalah Islam, yakni akidah dan syariahnya, menjamin datangnya rahmat bagi semua makhluk. Syaikh An-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) dalam tafsirnya, Marâh Labîd.

Ajaran Islam juga memberikan perlindungan dan perlakuan adil kepada semua manusia, baik Muslim maupun kafir. Dalam sejarah kekuasaan Islam sejak zaman Nabi saw., Khulafaur Rasyidin dan para khalifah berikutnya, orang-orang kafir selalu mendapatkan perlindungan dari kaum Muslim. Spanyol pada masa kekuasaan Islam dikenal sebagai negara dengan tiga agama; Islam, Yahudi dan Nasrani. Mereka hidup rukun damai dalam naungan Khilafah dan syariah Islam.

Seharusnya yang diperingatkan oleh Menag adalah ketika agama dipisahkan dari politik dan pemerintahan, alias menggunakan prinsip-prinsip sekularisme-demokrasi. Terbukti hal itu menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai rebutan parpol dan elit politisi setiap Pemilu. Islam, politik dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi. Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu.

“Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”

Dalam Islam menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal salih untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.

Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan soal politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah bukan sekadar pemimpin yang salih secara personal, tetapi juga menciptakan kesalihan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Sebabnya, ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam. Dan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam.

Wallahu’allam bish-shawab

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *