Menyibak Tabir Maraknya KDRT

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menyibak Tabir Maraknya KDRT

Anisa Rahmi Tania

Kontributor Suara Inqilabi

 

Rasa-rasanya istilah KDRT tidak lagi mengagetkan masyarakat. Ini karena saking maraknya kejadian tersebut. Grafiknya setiap tahun terus meningkat seperti sketsa gunung yang menanjak tinggi.

Kasus terbaru terjadi di Depok. Dilansir dari laman kompas.com (22/3/2024), seorang mantan Perwira Brimob melakukan KDRT kepada istrinya sejak tahun 2020. Tindak kekerasan yang dialaminya terjadi berulang kali, hingga pada 3 Juli 2023 tindak KDRT yang diakuinya paling berat. Selain memar pada dada, wajah, dan punggung, ia mengalami pendarahan dan keguguran setelah dipukul, dibanting, dan diinjak-injak. Padahal usia kehamilannya sudah menginjak 4 bulan. Kini suaminya dituntut hukuman pidana enam tahun penjara.

Tindakan sadis lainnya pun terjadi di Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang Sumut. Seorang laki-laki berusia 49 tahun tega membacok ibu mertuanya. Ia nekad melakukan aksi kejamnya karena merasa tidak suka setelah ditegur ibu mertuanya melalui telepon. Teguran mertunya pun bukan tanpa sebab. Anaknya (istri) tersangka pulang setelah melaporkan tindak KDRT yang dilakukan suaminya. (Kumparannews.com, 22/3/2024)

Memutus Kasus Berulang

Berulangnya kasus KDRT tersebut menjadi perhatian banyak pihak. Mulai dari aparat berwajib, lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan, maupun lainnya. Namun nyatanya berita KDRT tidak pernah surut. Setiap tahunnya selalu ada saja kejadian serupa yang menimpa masyarakat.

Dilansir dari laman Liputan6.com (4/7/2023), merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 8 faktor penyebab terjadinya KDRT. Tiga di antaranya karena perselingkuhan, masalah ekonomi, dan budaya patriarki. Sayangnya dalam upaya penyelesaian masalah ini, pemerintah hanya melakukan upaya yang tidak menyentuh akar masalah. Hanya berkutat pada solusi teknis, seperti anjuran untuk melakukan pelaporan, pendampingan oleh pihak kementerian, dll. Sementara jika dilihat akar permasalahannya bukan pada ketidakberdayaan perempuan dalam melakukan pelaporan atau ketiadaan teman yang bisa diajak untuk saling menguatkan. Permasalahannya adalah ketika perselingkuhan menjadi trend. Juga persoalan ekonomi keluarga yang semakin hari semakin membelit. Maupun pemahaman tentang posisi suami dan istri di dalam rumah tangga yang berakhir pada persepsi suami berkuasa atas istri sehingga istri tak berdaya.

Permasalahan-permasalahan tersebut jika kita amati tidak hadir begitu saja. Perselingkuhan muncul ketika seseorang tidak mempunyai keimanan yang menjadi benteng dari pola sikapnya atau perasaannya. Hal ini bisa menjadi marak terjadi saat gaya hidup hari ini adalah gaya hidup sekuler. Yakni menjauhkan agama dari kehidupan. Artinya saat masyarakat berinteraksi tidak dilandasi dengan tuntunan agama. Agama sengaja disimpan di tempat-tempat ibadah. Sementara aktivitas kita sehari-hari hanya mengandalkan logika pribadi. Akhirnya ketika sudah terbawa perasaan siapapun akan dengan mudah terjerumus. Seperti pola pekerjaan yang menuntut interaksi lawan jenis. Jika tanpa aturan yang tegas, akan mengakibatkan perselingkuhan antar-rekan kerja.

Sementara permasalahan ekonomi. Ini jelas akan memicu banyak konflik dalam rumah tangga. Apalagi ketika istri bekerja sementara suami tidak. Sementara fungsi istri secara fitrah adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Lelah fisik dan pikiran karena harus memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, mulai dari sandang, pangan dan pangan hingga pemenuhan pendidikan anak, kesehatan dan lain-lain. Hal tersebut tentu menuntut kerja keras. Namun di sisi lain, para suami sulit untuk mendapatkan pekerjaan karena lapangan pekerjaan yang sempit.

Melihat faktor-faktor tersebut, jika kita kerucutkan pada akar permasalahannya, ini terjadi karena penerapan sistem yang keliru. Karena sistem membentuk individu menjadi karakter yang sesuai dengan lingkungan dan pola pandang masyarakat pada umumnya. Sementara masyarakat terbentuk sebagaimana sistem menciptakan aturan yang ada.

Islam Menjawab Masalah KDRT

Dalam Islam hubungan suami dan istri dalam rumah tangga adalah hubungan persahabatan. Sebagaimana dinyatakan dalam kitan tafsir Ibnu Katsir, 3:528, bahwa Tafsir Ibnu Katsir, 3:528 bahwa, “Tidak ada persahabatan yang lebih besar di antara dua ruh manusia. Dibandingkan persahabatan yang terjalin antara suami dan istri.” Artinya satu sama lain mempunyai hak dan kewajiban dalam memberi kasih sayang, perhatian, perlindungan, dan lain-lain. Satu sama lain saling melengkapi untuk membangun kebahagiaan dan kedamaian rumah tangga. Meskipun ada satu pihak yang dijadikan pemimpin yakni suami.

Menjadi pemimpin merupakan amanah yang besar yang dipikulkan Allah kepadanya. Sehingga kewajibannya terhadap istri selain memberi nafkah lahir bathin, ia harus mendidiknya, mengajaknya pada ketaatan, memperlakukannya dengan baik, dan sikap-sikap yang telah banyak dicontohkan Rasulullah saw pada istri-istrinya. Termasuk membangun ketentraman rumah tangga. Artinya perilaku kasar dalam rumah tangga tidak dibenarkan dalam Islam. Sementara seorang istri sebagai makmum sang suami. Maka wajib taat pada suaminya. Tapi dengan catatan, yakni selama sang suami mengajak dalam kebaikan. Di sinilah terbina hubungan suami istri yang penuh kecintaan dan kasih sayang sehingga mendatangkan ketentraman dan kedamaian rumah tangga.

Poin pentingnya, ketika suami menjadi pemimpin bukan berarti suami berkuasa penuh pada istrinya. Sehingga seorang istri tidak punya daya apapun. Tidak punya hak memberi masukan atau berpendapat. Sebaliknya karena hubungan suami istri adalah hubungan persahabatan, maka keduanya memutuskan segala hal melalui diskusi dan saling melengkapi.

Keharmonisan tersebut akan terganggu jika suami penuh dengan beban ekonomi. Begitu pula istri yang pada dasarnya tidak wajib mencari nafkah (materi) menjadi terbebani. Artinya harus ada pula peran negara yang memberikan support sistem yang baik. Kondisi ekonomi yang stabil, lapangan pekerjaan yang dibuka seluas-luasnya untuk para laki-laki/ suami sehingga mereka bisa menyalurkan potensinya dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu negara juga harus berupaya memenuhi hak-hak jamaah secara cuma-cuma ataupun dengan biaya yang sangat terjangkau oleh masyarakat. Seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Beban ini yang di era kapitalisme dibebankan pada para suami.

Maka tidak heran jika saat Islam diterapkan sebagai sistem, keluarga menjadi kokoh. Dengan kokohnya keluarga maka terlahir generasi-generasi yang kokoh juga. Generasi yang siap menjadi pemimpin masa depan. Maka dari itu, menghapus KDRT tidak akan tuntas, jika hanya dengan membentuk lembaga. Karena akar masalahnya pada sistem yang berlaku hari ini.

Hanya dengan diterapkannya Islam sebagai sistem kehidupan, KDRT akan terselesaikan. Karena Islam adalah sistem yang sesuai fitrah manusia dan menjadi solusi segala permasalahan manusia. Juga merupakan sistem yang telah dijamin kesempurnaannya oleh sang Khalik Rabbul’alamin.

Wallahu’alam Bish-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *