Oleh: Nanik Farida Priatmaja (Aktivis Muslimah)
Miris! Masa pandemi ternyata tak menyurutkan tingginya angka perceraian. Bahkan malah kian tinggi dan didominasi gugat cerai oleh para istri. Apa sajakah penyebabnya dan langkah apa saja yang harus dilakukan demi mencegah tingginya perceraian?
Dikutip dari Tribunnews.com, meski masih di masa pandemi virus Corona atau Covid-19, angka perceraian di Lamongan tetap saja tinggi. Kaum hawa atau para istri, disebut mendominasi pengajuan gugat cerai dibanding cerai talak dari sang suami. “Pengajuan cerai gugat dari para istri lebih tinggi dari cerai talak dari suami, yakni sebesar 52 persen,” kata Humas Pengadilan Agama (PA) Lamongan, Achmad Sofwan, Selasa (10/11/2020).
Kehidupan rumah tangga tidak bisa lepas dari persoalan yang menyebabkan terjadinya perselisihan hingga perceraian. Pandemi Covid-19 yang tidak kunjung berakhir, rupanya juga berdampak pada keharmonisan hubungan rumah tangga warga di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Terbukti, angka perceraian di Pengadilan Agama Bojonegoro selama pandemi cukup tinggi, sebagaimana dilansir Instagram @lingkarjonegoro, Kamis (19/11/2020).
Jauh sebelum masa pandemi angka perceraian memang sudah tinggi. Apalagi di tengah kondisi pandemi yang pastinya berdampak terhadap segala bidang kehidupan. Faktor ekonomi dinilai menjadi penyebab utama tingginya angka perceraian. Selain itu dampak media sosial ternyata turut andil berpengaruh terhadap keharmonisan rumah tangga dan akhirnya berakhir pada perceraian.
Setiap pasangan pastinya sangat mendambakan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan terhindar dari perceraian. Namun terkadang tak semua pasangan suami istri mampu menghindari perceraian ketika ditimpa permasalahan rumah tangga. Timbulnya perceraian pastinya dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal ataupun eksternal.
Faktor internal penyebab perceraian:
1. Minimnya ilmu rumah tangga masing-masing pasangan sehingga saling tak memahami peran. Istri tak mampu memposisikan perannya yang seharusnya menaati suami ataupun sebagai ibu bagi anak-anaknya. Suami pun tak paham dan tak mampu menempatkan diri sebagai imam yang harus memimpin, membimbing dan menjadi teladan bagi keluarga.
2. Rendahnya komitmen berumahtangga. Apalagi jika tak didasari keimanan yang kuat masing-masing pasangan. Sehingga begitu mudah rapuh ketika terjadi goncangan permasalahan dalam rumah tangga. Permasalahan yang ada tak diselesaikan secara bijak.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perceraian adalah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Sehingga semua orang saling fokus pada pemenuhan materi bahkan menjadi tujuan utama kehidupannya. Jika terjadi permasalahan ekonomi (tak ada pendapatan, rendahnya pendapatan dan sebagainya) pastinya akan berpengaruh terhadap cara bertingkah laku seseorang tersebut. Begitu pula dalam kehidupan rumah tangga yang mengalami problem ekonomi, misalnya si suami tak mampu menafkahi istri hal ini akan berpengaruh terhadap keharmonisan rumah tangganya. Istri akan menganggap si suami tak pandai menafkahi. Padahal tak selamanya begitu. Bisa jadi karena memang begitu sulit mencari lapangan kerja yang memberi gaji layak bagi pekerja. Hal inilah sebenarnya dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang tak menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyat. Disatu sisi negara tak menjamin pula biaya pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya yang cukup menguras kantong.
Tingginya angka perceraian layak disolusi dengan tepat. Selain perbaikan faktor internal (individu) juga butuh perubahan sistemik yang mengkondisikan rumah tangga yang harmonis dalam skala negara.
Wallahu’alam bishshawab.