Kapitalisme Hancurkan Fitrah Ibu

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kapitalisme Hancurkan Fitrah Ibu

Hamnah B. Lin

Kontributor Suara Inqilabi

 

Dilansir oleh kumparanNEWS tanggal 24/01/2024 bahwa Rohwana alias Wana (38 tahun), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, ditangkap polisi karena terlibat pembunuhan. Perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh itu membunuh bayinya sendiri dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air setelah dilahirkan, kemudian dibuang ke semak-semak dalam kebun milik warga sekitar.

Pengungkapan kasus ini berawal saat warga sekitar menemukan mayat bayi laki-laki di kebun, pada Jumat sore (19/1). Kemudian, polisi melakukan proses penyelidikan dan mencurigai bayi tersebut sengaja dibunuh dan dibuang. Pelaku Rohwana yang diinterogasi, mengaku bahwa mayat bayi yang ditemukan di kebun adalah anaknya yang disengaja dibuang. Pelaku langsung dibawa ke Polres Belitung pada Senin (22/1).

“Pelaku mengaku lahiran di toilet kemudian bayi itu diceburkan ke bak (ember) mandi sampai meninggal. Setelah yakin sudah meninggal, baru diambil dan dibungkus kain,” ucapnya. Kepada polisi, Rohwana mengaku tega membunuh bayinya itu karena tidak menginginkan kelahirannya. Alasannya, karena tidak cukup biaya untuk membesarkan. Rohana memiliki suami yang bekerja sebagai buruh.

Betapa miris, kemana fitrah keibuannya yang begitu tega membunuh bayi yang baru dilahirkan dengan tangannya sendiri. Sungguh perbuatan biadab, keji dan melebihi perilaku hewan, karena sebuas – buasnya harimau dia tidak akan memangsa anaknya sendiri. Betapa kejam, kemana kasih sayang ibu yang sudah Allah ciptakan ada pada setiap ibu.

Sungguh fakta memang telah berbicara, bahwa kebutuhan hidup semakin hari semakin tinggi. Harga kebutuhan semakin mahal, beras mahal, minyak mahal, gula mahal, bahan bakar mahal. Pekerjaan semakin sulit dicari, ketakwaan kian teriris tipis, rasa kasih dan asih kian habis, sikap individualis kian menonjol, ibarat hidup di hutan siapa yang kuat dia yang berkuasa. Saat ini kita hidup dalam cengkeraman kapitalisme sekulerisme. Sebuah aturan yang menyingkirkan aturan dari Sang Pencipta untuk mengatur kehidupan ini. Aturan agama hanya untuk mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta saja, yakni shalat, puasa, zakat dan haji. Diluar itu, wajib menggunakan aturan manusia.

Dari segi agama, perilaku keji ini jelas menyelisihi fitrah. Segala sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia pasti merupakan masalah. Begitu pula fitrah seorang ibu. Sosok ibu memiliki peran yang sangat mulia. Betapa pengorbanan dan kasih sayang yang mengalir dari jiwa dan raganya begitu besarnya. Mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, hingga mendidik dan menjaga anak-anaknya. Begitulah kemuliaan seorang ibu yang akan berkontribusi melahirkan dari rahimnya para insan cemerlang.

Negara yang harusnya tampil terdepan menjadi pelindung kaum ibu ternyata bersikap abai. Negara nihil dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Penguasa sibuk beretorika dengan omong kosong tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, dan digitalisasi. Sedangkan di depan matanya banyak kaum ibu berkubang dalam nestapa.

Hal ini sungguh berbeda dalam Islam, Islam memuliakan kaum ibu dengan penggambaran beratnya tugas hamil dan melahirkan yang ditanggung perempuan.

Allah Swt. berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS Luqman: 14).

Demikian mulianya posisi seorang ibu di dalam Islam sehingga ia merupakan kehormatan yang harus dijaga. Dalam sistem Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) yang melindungi perempuan dari berbagai kesulitan, termasuk kesulitan ekonomi. Negara wajib menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui berbagai mekanisme, di antaranya:

Pertama, dari jalur nafkah. Perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya atau walinya. Dengan demikian, ia tidak menanggung beban ekonomi keluarga. Dengan mekanisme ini, perempuan bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah dengan optimal, tanpa terbebani untuk menanggung beban ekonomi keluarga.

Kedua, dukungan masyarakat. Prinsip taawun dijunjung tinggi di dalam masyarakat Islam. Alhasil, ketika ada salah satu anggota masyarakat yang kekurangan secara ekonomi, anggota masyarakat lain akan membantu meringankan bebannya dengan memberikan sedekah, memberikan tawaran pekerjaan bagi kepala keluarga, dan bantuan lainnya yang dibutuhkan.

Ketiga, mekanisme negara. Negara akan memberikan santunan kepada warga yang terkategori fakir atau miskin. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang memanggul sekarung gandum untuk seorang ibu yang merebus batu sungguh demikian masyhur. Kisah ini menggambarkan perhatian Khilafah terhadap nasib kaum ibu.

Kepedulian sistem Islam itu bisa terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang mampu mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Kesejahteraan pun terwujud secara merata. Sistem ekonomi Islam dengan 12 pos pemasukan meniscayakan negara (Khilafah) memiliki dana yang cukup untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyantuni fakir dan miskin.

Tugas ibu sebagai ibu dan pengatur keluarga akan bisa berjalan dengan baik, firah ibu sebagai sosok pelindung dan penyayang akan terus terpupuk dengan Islam. Kebahagiaan akan terpancar dalam keluarga, karena ibu dan anak bahagia. Hal ini akan terwujud tatkala negara menerapkan sistem Islam dalam naungan khilafah Islamiyah dan meningalkan sistem kapitalis sekuler yang menyengsarakan.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *