Bersatu Keluarga Utuh, Bercerai Keluarga Rapuh

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bersatu Keluarga Utuh, Bercerai Keluarga Rapuh

Oleh Supartini Gusniawati

(Praktisi Pendidikan)

 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6).

Menjaga keutuhan keluarga di tengah-tengah penerapan sistem kapitalisme bak fatamorgana di gurun sahara. Setiap detik kita disuguhi dengan berita-berita yang justru menunjukan betapa rapuhnya bangunan keluarga saat ini. Nahkoda pernikahan seringkali berujung pada perceraian. Mirisnya lagi, menurut Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Prof. Dr. Kamaruddin Amin menjelaskan, bahwa kasus perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Setidaknya ada 516.000 pasangan yang bercerai setiap tahun. Jumlah yang fantastis. Sementara angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahunnya (republika.id, 21/09/2023).

Tentu bukan tanpa sebab, tingginya angka perceraian dipicu oleh beberapa faktor. Dikutip dari katadata.com (02/03/2023): Faktor utama penyebab perceraian nasional adalah perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus atau setara 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian di tanah air.

Perselisihan dan pertengkaran pun seringkali dipicu oleh faktor ekonomi. Kasus perceraian akibat masalah ekonomi sebanyak 110.939 kasus. Disusul juga oleh kasus meninggalkan salah satu pihak sebanyak 39.359 kasus, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 4.972 kasus, mabuk 1.781 kasus, 1.635 kasus perceraian karena murtad, 1.447 kasus karena dihukum penjara, terdapat 1.191 kasus karena judi, ada 874 kasus karena poligami, ada 690 kasus zina. Kemudian, ada pula 383 kasus perceraian di Indonesia yang terjadi karena madat, 377 kasus karena kawin paksa, dan ada 309 kasus karena cacat badan.

Dalam Islam, perceraian memang diperbolehkan jika terdapat sebab syar’i yang mendasarinya, walaupun termasuk hal yang dibenci. Namun, patut dipertanyakan apabila angka perceraian ini semakin hari semakin melesat tinggi. Karena hal itu menjadi tanda lemahnya ketahanan keluarga saat ini.

Menurut Steven Horwitz, Profesor terhormat perusahaan bebas di Departemen Ekonomi di Ball State University, di mana ia juga menjabat sebagai Direktur Institut Studi. Menggambarkan dua hal mulai terjadi pada abad ke-20 yang pada akhirnya menghancurkan bentuk keluarga yang tampaknya cukup stabil. Pertama, inovasi teknologi secara perlahan mulai menghasilkan perangkat hemat tenaga kerja untuk produksi rumah tangga. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar terus meningkatkan permintaan akan tenaga kerja (termasuk tenaga kerja perempuan) dan terus meningkatkan daya beli riil atas upah di seluruh perekonomian.

Hal ini menunjukkan bahwa visi keluarga tidak jauh hanya sekadar menopang perekonomian semata, buah dari penerapan sistem kapitalisme. Ia menjadikan seluruh orientasi kehidupan termasuk dalam membangun keluarga hanya bertujuan duniawi semata. Sehingga tidak heran, banyak yang mengakhiri pernikahan pun ukurannya berdasarkan materi. Sulit menjadikan keluarga tetap utuh, manakala badai materialisme menghadang keluarga.

Berbeda dengan Islam, paradigma membangun keluarga didasari dengan visi yang jelas. Yakni disandarkan kepada nilai-nilai Islam dan penerapannya. Gambaran “menjaga diri dan keluarga dari api neraka” dalam surat At-Tahrim ayat 6 menjadi salah satu landasan dalam membangun keluarga. Laki-laki sebagai qowwam (pemimpin) bertanggung jawab penuh terhadap urusan keluarga yang dibinanya, baik dari sisi duniawi dan ukhrowi.

Pelaksanaan setiap hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga sesuai syariat islam menjadi penopang utama keutuhan keluarga. Hal ini pun bersambut dengan peran negara yang memilki berbagai mekanisme untuk mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman. Negara Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan. Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencaharian dan mewajibkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik.

Islam mewajibkan kepada suami atau para wali untuk mencari nafkah (Q.S. Al-Baqarah 233, Q.S. An-Nisa 34), negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka, memberikan pendidikan, dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal. Yang lebih utama adalah pelaksanaan aturan Islam secara kaffah oleh negara akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak-anaknya, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kebahagiaan hidup, dan kemakmuran. Sehingga impian menjaga keutuhan keluarga bukan lagi mimpi, melainkan dampak positif dari penerapan Islam secara kaffah.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *