Antara Dakwah, Mendidik Anak, dan Poligami

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh :Sholihin

Hal yang umum ‘dipertanyakan’ ketika ada orang yang melakukan poligami adalah: “dakwah saja belum giat, malah poligami; mendidik anak saja belum bisa benar, kok nikah lagi?” Ada sebab tentunya. Mungkin yang bersangkutan melihat fakta bahwa pelaku poligami tersebut ada yang dakwahnya kendor. Satu istri saja nggak semangat dakwah, ini malah nikah lagi. Mereka berpikir, akan menambah masalah, khususnya dakwah jadi nggak gerak sama sekali karena sibuk ngurus rumah tangga. Terkait dengan mendidik anak, bisa jadi yang mempertanyakan melihat fakta bahwa ada kondisi dimana pelaku poligami (laki-laki) itu belum bisa menjadi ayah yang baik dalam mendidik anaknya, ini malah menikah lagi. Apa nanti nggak tambah terlantar anak-anaknya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas membutuhkan jawaban. Bisa berbeda kondisi, bisa berbeda persepsi. Tetapi saya akan mencoba menjawab dari sisi pengalaman saya pribadi dan kedua jodoh saya. Tentu, seperti yang pernah saya sampaikan di sharing sebelumnya bahwa kondisi tiap orang berbeda takdirnya, kondisi tiap keluarga berbeda. Baik dalam cara menghadapi masalah dan menyelesaikannya, atau dalam merencanakan masa depan keluarganya. Namun, semoga jawaban saya walau mungkin nantinya terkesan subyektif, setidaknya bisa memberikan gambaran umum bahwa kita tidak bisa menganggap semua gagal, atau menilai semua berhasil. Tapi dinilai satu kasus per kasus.

Perlu diketahui, bahwa dalam masalah ini memang tidak bisa ditentukan aulawiyat yang mana untuk masing-masing hukum. Mengapa? Karena poligami adalah kemubahan tersendiri yang sifatnya bisa menyertai keduanya atau tidak menyertai. Untuk itu lebih baik dibahas dan dipertimbangkan persoalan-persoalan berikut:

Pertama, mengapa harus poligami. Dalam hal ini para wanita kebanyakan tidak memahami mengapa Allah Ta’ala tetapkan hukum ini untuk kaum laki-laki. Secara karakter, sifat dan keadaan yang memang bisa dipahami laki-laki dan wanita-wanita yang peka terhadap fakta ini.

Kedua, bila poligami harus menjadi pilihan, maka bagaimana pilihan tersebut diambil dengan menyelesaikan semua masalah yang masih ada. Seperti semangat dakwah, perhatian kepada istri, perhatian dan turun tangan langsung dalam pendidikan anak. Sehingga dampak negatif (yang mungkin ada) dalam poligami tersebut tidak akan terjadi, atau setidaknya bisa diminimalisir.

Ketiga, kesiapan suami untuk memimpin dua rumah tangga secara adil dan beradab (islami).

Keempat, bila hal terkait poligami tidak bertambah baik, maka sebaiknya jangan dilakukan.

Kelima, untuk itu tiga faktor penting menjadi prasyarat: suami, istri pertama dan istri kedua adalah sama-sama orang baik, ikhlas dan memiliki visi yang sama dalam berpoligami. Bila tidak maka sama saja menambah masalah hidup.

Oya, saya tidak mempertentangkan antara dakwah, pendidikan anak, perhatian suami, dan poligami. Karena berdasarkan pengalaman (setidaknya pengalaman kami—lebih luas insya Allah ada banyak yang lebih baik lagi dari kami), ternyata justru bila poligami dipersiapkan dengan baik, maka justru dakwah suami semakin baik, anak-anak dan perhatian terhadap pendidikannya semakin baik, perhatian suami kepada keluarganya juga semakin baik, kehidupan pun semakin barakah. Insya Allah. Kami, sedang berusaha menjalaninya. Mohon doanya agar tetap “samara” selamanya. Insya Allah.

Seseorang yang memutuskan menjalani poligami, itu juga terkait dengan jodoh. Dan, jodoh itu masalah takdir. Tidak ada yang bisa mencegah. Dipaksakan terjadi juga tidak bisa. Namun ikhtiar manusia adalah berusaha menjemput takdir-Nya dengan cara yang terbaik. Apapun itu. Kami sendiri menerima poligami ini sebagai takdir terbaik dari Allah Ta’ala untuk kami. Tinggal bagaimana kami berupaya ‘memperlakukan’ takdir ini dengan sebaik mungkin sesuai tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Ini memerlukan niat yang ikhlas, komitmen yang kuat untuk berbuat adil dan ilmu yang harus terus dicari. Mengenai sulit atau mudah menjalaninya, tergantung dari persepsi kita sendiri dalam menyikapi takdir Allah Ta’ala. Mengenai hasilnya apakah bahagia, samara atau tidak? Bila berhasil menyelesaikan problem-problem yang sulit, sunnatullahnya tentu nilainya akan lebih baik. Demikian pula tingkat kebahagiaannya. Asalkan, semua itu dilandasi dengan keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan berusaha terus mencari ilmunya.

Tapi yang pasti sih, baik monogami atau poligami, insya Allah bisa sama-sama barakah bila selalu berhusnudzhan pada apapun yang diberikan Allah Ta’ala. Itu poinnya…!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *