Generasi Remajaku Di Persimpangan Jalan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Generasi Remajaku Di Persimpangan Jalan

Efi Asnawati, S.Pd

Ibu Pendidik Generasi

 

Masa remaja adalah masa transisi antara anak-anak menuju dewasa. Seorang remaja tidak bisa lagi dikatakan sebagai anak-anak. Namun, belum cukup matang untuk dikatakan dewasa. Pada masa ini ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Mereka sedang mencari jati diri, rasa ingin tahunya yang tinggi menyebabkan remaja cenderung ingin berpetualang, menjelajah segala sesuatu dan mencoba hal yang belum pernah dilakukannya.

Di masa ini remaja berada di titik produktifitas yang tinggi, semangat yang membara yang ditunjang dengan fisik yang tangguh dan kuat. Namun, dibalik semua itu ada kondisi yang tentunya mebuat kita prihatin dan miris. Betapa potensi pemuda yang begitu besar teralihkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan bahkan menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran.

Hampir setiap hari kita dibuat tercengang dengan maraknya berita kriminalitas, terlebih tindakan tersebut dilakukan oleh remaja. Dahulu kenakalan remaja identik dengan mencela, hari ini celaan bisa menjadi pembalasan secara fisik bahkan pembunuhan. Beberapa hari lalu kasus pembunuhan dengan mutilasi marak menghiasi beranda sosial media, di Sleman, Tanggerang, hingga Bekasi, dengan motif yang beragam dari mulai masalah ekonomi hingga hubungan asmara.

Kriminolog dari Universitas Indonesia Josias Simon mengatakan, ”Dulu orang-orang melakukan mutilasi karena ada hal-hal terkait dengan kelainan kejiwaan, tapi situasi saat ini terjadi perubahan, bahkan orang-orang normal melakukan hal itu dalam situasi yang sangat situasional, seperti emosional, gelap mata, putus asa, bahkan dilakukan oleh orang normal yang tidak ada cap apapun terkait kejiwaan dan masalah fisik lainnya. Jadi ada situasi tertentu membuat orang melukan hal itu. Josias menambahkan. Maraknya praktik mutilasi tidak lepas dari perkembangan dunia digital saat ini yang memberikan banyak informasi tentang model-model kejahatan, model-model itu kemudian di copying atau dijadikan contoh oleh beberapa orang untuk menyelesaikan masalah,” ujarnya (bbc.com, 23/3/2023).

Selain pembunuhan dengan mutilasi, ada juga berita tentang pembacokan yang bahkan ditayangkan oleh pelakunya langsung via instagram. Tidak cukup hanya itu, bahkan kemuliaan bulan Ramadan kembali tercoreng dengan adanya ulah sebagian remaja yang sibuk tawuran. Tawuran berkedok perang sarung nyaris terjadi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, sabtu dini hari (25/3/2023).

Ketua Karang Taruna Cibadak, Teguh Pramudya (38 Tahun), mengatakan dirinya menerima laporan dari warga soal adanya dugaan rencana tawuran berkedok perang sarung itu pada sabtu sekitar pukul 00:00 WIB. Namun Teguh menyebut tawuran itu cenderung menggunakan senjata tajam (sukabumiupdate.com, 26/3/2023).

Beberapa perilaku tersebut menjadi gambaran buram dan bukti nyata tentang merosotnya akhlak remaja saat ini. Beberapa faktor penyumbang maraknya kenakalan remaja antara lain:

Pertama, keluarga. Banyak remaja yang telibat perilaku kejahatan cenderung berasal dari latarbelakang keluarga yang tidak harmonis. Kurang komunikasi antara anak dan orang tua juga menjadi salah satu penyumbang kenakalan remaja.

Padahal, dalam sistem Islam keluarga adalah sekolah pertama anak. Karena sejatinya pendidikan yang didapat anak pada pendidikan formal (sekolah) hanya beberapa persen membentuk pribadi mereka. Keluargalah pembentuk karakter muslim yang pertama dan utama. Islam telah memberikan pengasuhan di tangan seorang ibu, di rumahnya anak-anak di arahkan dan dibina agar mempunyai tujuan hidup yang benar.

Kedua, krisis identitas. Membahas tentang generasi muda, maka tidak bisa kita berpaling dari pandangan hidup yang memengaruhinya. Oleh karenanya untuk mengetahui problem remaja harus berasal dari landasan berfikir mereka. Sebagai remaja muslim mereka harus tahu tujuan hidupnya. Remaja yang hanya tahu tujuan hidupnya untuk mencari kesenangan dan kebahagian materi akan terbentuk menjadi generasi hedonisme (bersenang-senang).

Ketiga, kontrol diri (mengendalikan gorizah baqo’). Ghorizah baqo’ adalah salah satu naluri yang diberikan Allah SWT pada setiap penciptaan manusia. Remaja perlu dibekali cara mengendalikan diri yang baik, bagaimana saat rangsangan dari luar dirinya muncul misalkan berupa ejekan, bullying dan lain sebagainya. Sulitnya remaja mengontrol pengendalian diri, mengakibatkan setiap persoalan disikapi dengan kekerasan dan emosi, tersinggung “marah”, “memukul”, bahkan membunuh dan sikap-sikap buruk lainnya.

Selain ketiga faktor tersebut keberadaan masyarakat yang cenderung membiarkan, menjadikan remaja seperti mendapat pembenaran dalam tindak kejahatannya. Masyarakat hari ini lebih bersikap yang mengarah kepada kepentingan individu dan keluarga serta cuek terhadap sekitar.

Mereka menyerahkan pendidikan remaja dan pengawasannya hanya menjadi kewajiban keluarganya saja. Sejatinya masyarakat yang diharapkan mampu mencetak generasi yang baik adalah masyarakat yang mempunyai karakter amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imron 104).

Selain itu, sistem pendidikan yang meniadakan agama, menjadikan remaja terdidik dengan nilai-nilai sekular dan gaya hidup hedonis (bersenang-senang), tidak lagi memperhatikan adab dan sopan santun. Remaja terakumulasi dengan cara berfikir dan gaya hidup barat yang jauh dari aturan Islam. Identitasnya muslim tetapi perilakunya sekuler. Nilai sekuler inilah yang membentuk sikap individualis, lingkungan bebas maksiat, dan minim empati terhadap sesama. Sistem pendidikan ini harus membayar mahal atas dekadensi moral remaja hari ini.

Negara sebagai pengatur semua urusan rakyatnya, ikut memikul tanggung jawab dengan masa depan generasi. Bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban bisa dilihat dari kualitas generasi mudanya. Tetapi kita tidak bisa terlalu berharap pada negara dalam sistem kapitalisme, karena negara hanya berfungsi sebagai regulator yang menjamin kebebasan individu. Bukan sebagai pengurus rakyat, penyelamat generasi serta penjaga moral masyarakatnya.

Hanya negara dalam sistem Islam-lah yang mampu menyelamatkan generasi. Karena negara bertanggung jawab dalam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam sistem pendidikan, pemerintahan, ekonomi, pergaulan, dan sistem pidana. Penerapan sistem Islam secara tidak langsung akan menjadi cara untuk membentuk generasi islami. Negara dengan visi mulia ini tentunya akan memiliki pengawasan dan pengaturan yang sistematis dan pasti akan melindungi generasi.

 

Wallahu’alam Bishawwab.

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *