Kekerasan Seksual Kian Melanda, Negara Kunci Utama
Oleh Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Pendidik Generasi Khoiru Ummah
Dari hari ke hari kasus kekerasan seksual kian bertambah. Tak sedikit anak-anak yang menjadi korbannya bahkan kini ada juga yang menjadi pelaku. Nauzubillahimindzalik.
Pemerintah pun terus mencari dan memberikan solusi demi solusi. Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengungkapkan, keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Indra menyoroti fenomena anak yang menjadi korban TPKS, namun enggan menceritakannya. Ia menyebut anak tak mau melaporkan kasus TPKS karena takut menjadi aib dan mencoreng nama keluarga. Padahal, orang tua perlu menciptakan ruang yang aman dalam keluarga (Republika, 27/08/23).
Pengampu kebijakan menyatakan bahwa pencegahan terjadinya kekerasan seksual dapat dicegah melalui masyarakat dan keluarga. Memang benar demikian. Solusi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika keluarga dan masyarakat juga dalam keadaan “sehat”. Artinya, keluarga dan masyarakat memiliki visi dan misi yang sesuai harapan.
Namun, sangat disayangkan, hari ini mayoritas keluarga dan masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Keluarga yang diharapkan menjadi benteng pertahanan pencegahan kekerasan seksual, malah yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sendiri. Fakta membuktikan bahwa tak sedikit kasus, ayah, kakek, paman, abang, yang seyogianya menjadi pelindung bagi anak, malah menjadi sosok perusak masa depan anak.
Adapun masyarakat yang seharusnya menjadi pengontrol sistem pergaulan, tak jarang malah abai, acuh tak acuh, dan bersikap bodo amat terhadap situasi negatif yang telah terjadi terang-terangan di hadapan mereka. Maka, memang sangat diperlukan peran negara dalam mencegah kekerasan seksual pada anak. Negara seyogianya adalah pihak yang paling berperan menciptakan keluarga dan masyarakat yang sehat. Sehingga, lingkungan yang aman dapat dirasakan oleh anak.
Namun jauh panggang dari pada api, asas sekuler dan liberal yang diemban negara dan telah bercokol di dalam benak mayoritas masyarakat negeri ini telah mengubah cara pandang dan pola pikir yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Standar kebahagiaan yang salah terbentuk secara sistematis dalam kepribadian masyarakat. Kebahagiaan diartikan jika telah meluapkan segala hawa nafsu, tak memperhatikan apakah telah disalurkan pada tempat yang halal atau haram. Perubahan pola pikir inilah yang memengaruhi tingkah laku masyarakat dalam berbuat. Karena, manusia bertindak sesuai dengan yang dipikirkannya.
Selain itu, keberadaan media yang tak dikontrol baik oleh negara ikut memperparah tingginya angka kekerasan seksual. Ditambah lagi, tipisnya kadar keimanan individu menyebabkan abai dari keterikatan pada standar halal-haram.
Maka, untuk mencegah kekerasan seksual tak bisa berharap pada sistem demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sebab, dalam menciptakan lingkungan “sehat”, sangat diperlukan peran negara.
Satu-satunya negara yang bisa diharapkan mencegah kekerasan seksual adalah negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Negara Islam akan menciptakan kurikulum pendidikan yang dapat mengubah pola pikir keluarga dan masyarakat. Berubahnya pola pikir akan mengubah perbuatan yang terjadi di masyarakat. Jika sudah berpikir kebahagiaan adalah hidup untuk meraih rida Allah, maka standar dalam berbuat pun akan berubah menjadi halal-haram.
Dengan demikian, masyarakat pun akan khawatir jika ada maksiat di hadapan mata mereka. Karena, masyarakat meyakini jika tidak menghentikan maksiat tersebut, maka akan diibaratkan sebagai setan bisu. Masyarakat dalam naungan negara Islam, akan senantiasa aktif dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sehingga, segala kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, akan segera ditegur, dinasehati ataupun akan dilaporkan kepada pihak berwajib.
Negara juga akan menjatuhkan sanksi rajam dan cambuk bagi pelaku kejahatan seksual. Sehingga, hal ini dapat menciptakan efek jera bagi semua orang yang menyaksikannya dan penghapus dosa bagi pelaku.
Maka, untuk menuntaskan kekerasan seksual pada anak, dibutuhkan penerapan syariat kafah dalam bingkai negara. Sebab, aturan yang terbaik bagi seluruh umat manusia adalah aturan yang datang dari Sang Maha Pencipta.
Wallahu a’lam bisshawab