Kekerasan Seksual, Bukti Rusaknya Kehidupan Sekularisme 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kekerasan Seksual, Bukti Rusaknya Kehidupan Sekularisme 

 

Andika Ramadani

(Muslimah Pemerhati Masyarakat)

 

Pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang.

Polda Sulawesi tengah telah menahan 5 tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa dari sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku. Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan korban terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat.

Psikis korban hingga saat ini masih sangat terguncang. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatannya yang kian memburuk. Dalam sejumlah rangkaian pemeriksaan ditemukan adanya infeksi akut pada alat reproduksi hingga harus dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat rahimnya. Informasi diperoleh dari ibu korban, kata salma Masri pada rabu(30/05/23). (Bbc.com)

Kasus kekerasan seksual yang terjadi sayangnya dianggap bukan termasuk pemerkosaan. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho menyebut kasus yang menimpah R, 15 tahun, di Parigi Moutong bukan termasuk pemerkosaan. Dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus pemerkosan terhadap anak 15 tahun di Pagiri Moutong (Parimo). Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut, perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban, kata Irjen Agus. ( Tempo.co).

Miris, kenakalan remaja saat ini setiap detik terjadi, kriminalitasnya yang tak kunjung usai. Generasi muda adalah aset utama umat masa depan. Merekalah yang kelak akan mengisi pos-pos kepemimpinan di berbagai bidang. Terbayang jika mereka hidup dalam tabiat yang jauh dari kata ideal, serta rusak dan merusak seperti saat ini. Tentu akan berpengaruh terhadap kualitas generasi pada masa yang akan datang, ditambah dampak kekerasan seksual yang berjangka panjang, menjadi bukti krisis moral.

Darurat kekerasan seksual pada anak sejatinya sudah banyak terjadi di negeri ini, kekerasan seksual di tengah kehidupan anak-anak merupakan fenomena gunung es. Karena tidak mudah bagi kita untuk mendapat data sebenarnya. Namun yang pasti angka kasus kekerasan seksual yang tidak terekspose biasanya jauh lebih banyak dibanding dengan yang terekspose.

Kebijakan di negeri ini yakni langkah-langkah strategi yang tidak cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak kasus kekerasan seksual pada anak. Bukti antara lain banyaknya korban yang bicara, adapun sebagian pelaku yang berhasil dimeja-hijaukan. Namun pertanyaannya, mengapa kasus-kasus kekerasan seksual masih tetap saja bermunculan, sedangkan kasus-kasus yang lain pun belum tuntas terselesaikan?

Sayangnya solusi yang diambil dalam mengatasi problem ini masih sangat artifisial, terkesan pragmatis, dan sangat ego sektoral. Hal ini terkait pembacaan akar problem yang juga artifisial, pragmatis, dan ego sektoral. Pemerintah merasa sudah hadir dengan hanya mengeluarkan undang-undang atau membuat berbagai peraturan. Sementara itu aturan yang dikeluarkan, dituding oleh sebagian kelangan sebagai UU pesanan, di pandang tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan bisa menambah rumitnya permasalahan.

Contohnya, penggunaan narasi seksual consent yang membuat ambigu defenisi kekerasan seksual yang berarti persetujuan dalam melakukan aktivitas seksual bersama. Sebaliknya jika tidak memiliki consent maka tindakan tersebut tergolong pelecehan atau kekerasan seksual. Adapun sanksi yang diberi tidak berefek menjerakan, belum lagi adanya penerapan aturan lain yang tidak jarang sangat bertentangan dengan tujuan mencegah kekerasan seksual, seperti aturan ekonomi, pergaulan, perihal media masa, sanksi dan lain-lain. Semua itu berbasis pada paham sekuler liberalisme.

Wajar jika mindset individu dan pola relasi dalam masyarakat begitu kental meliputi suasana kebebasan, termasuk syahwat seperti kebinatangan. Selain itu kebijakan di bidang pendidikan pun kental dengan paham sekuler yang cenderung melemahkan dan merusak pertahanan ideologis sebagai pondasi kepribadian, termasuk menjadi asas bagi sikap dan perbuatan seseorang. Sayangnya semua aturan yang ada tidak bisa diharapkan menyelesaikan problem kekerasan seksual kapan pun, dimana pun. Inilah bukti potret rusaknya kehidupan dalam paham sistem sekularisme.

Dalam sistem Islam menjadikan peran orang tua menjadi peran utama yang sangat diperlukan dalam permasalahan ini. Islam memandang bahwa rumah tangga dan keluarga adalah tempat utama bagi pembelajaran dan pendidikan penting anak. Sehingga peran orang tua menjadi syarat utama dalam pembentukan generasi Islam baik mencakup akidah termasuk adab dari hukum syariah.

Islam menanamkan akidah dan sifat-sifat anak dari sejak dini, dengan itu kelak saat mereka baligh, mereka sudah memiliki pahaman dengan segenap hukum dan aturan Islam serta istiqomah dalam menjalankannya. Adapun sisi mayarakat dalam Islam memiliki budaya amar ma’ruf nahi mungkar, yang demikian akan menjadi lingkungan yang baik untuk anak-anak dan para remaja, sebab mereka bisa melihat praktik dan menerapkan aturan agama secara langsung.

Dalam Islam negara juga memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi yang bermartabat. Negara atau Khilafah berkewajiban mengurusi semua urusan rakyatnya termasuk melindungi para generasi dari hal-hal yang merusak dan mengakibatkan kerusakan generasi terutama pada kekerasan seksual.

Negara berperan penting mengontrol media masa yang mengedarkan video yang akan memicu anak-anak, para remaja maupun masyarakat terdorong melakukan kekerasan seksual. Memberikan sanksi efek jerah bagi si palaku sesuai hukum syara. Adapun hukuman lain bagi pelaku jika berupa kekerasan atau penganiayaan maka sanksi yang diberikan berupa ta’zir dari Khilafah.

Bukan hanya peran orang tua dan keluarga saja, negara dalam sistem Islam sangat berperan penting menerapkan pendidikan berbasis syariat Islam yakni kurikulum yang membentuk kepribadian yang utuh kepada anak baik dari dari sisi akidah, tsaqofah maupun penguasaan IPTEK.

Islam juga sangat menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan agar terjalin intraksi yang produktif dan saling tolong menolong dalam membangun umat yang dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian tidak akan terjalin hubungan-hubungan yang dilarang oleh hukum syara, seperti pacaran. Islam sangat mengajarkan kepada manusia untuk saling mengasihi dan tidak menganiaya terhadap sesama.

Dalam hadist yang riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, yang artinya: “Seseorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka jangan berlaku aniaya kepadanya, jangan menelantarkan, jangan membohongi, dan jangan merendahkannya”. Konsep ini membuat suasana keimanan generasi makin kuat, dengan sendirinya mereka akan menghindari perbuatan anarkis, penganiayaan, pemerkosaan, dan sejenisnya.

Dengan demikian akar masalah kekerasan seksual di negeri ini, bisa terselesaikan dengan mekanisme Islam yang mampu melahirkan generesi yang berakhlak mulia, berkembang sebagai generasi yang menggoreskan peradaban Islam yakni generasi emas gemilang di seluruh negri, semua itu terwujud hanya dalam sistem Islam.

Wallahu a’lam Bish-Shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *