Hari Ibu : Upaya Pemberdayaan atau Eksploitasi Peran Perempuan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hari Ibu : Upaya Pemberdayaan atau Eksploitasi Peran Perempuan?

Yusmiati

Kontributor Suara Inqilabi

 

Hari ibu merupakan momen penting yang selalu diperingati setiap tahunnya. Peringatan hari ibu ini bermula ketika para pejuang wanita Indonesia yang berasal dari berbagai wilayah mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Dan secara resmi melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 menetapkan bahwa setiap tanggal 22 Desember adalah hari ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini.

Peringatan hari ibu setiap tahunnya mengusung tema yang berbeda-beda. Pada tahun 2023 ini untuk memperingati hari ibu yang ke-95, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) mengangkat tema yaitu “ Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Tema ini diusung sebagai panggilan untuk menghargai semua kontribusi para perempuan Indonesia untuk kemajuan bangsa dalam berbagai aspek kehidupan. (Detik.com/19-12-2023)

Pemberdayaan Perempuan Ala Kapitalisme

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pemberdayaan kaum perempuan adalah mendorongnya untuk terlibat aktif menjadi bagian roda penggerak perekonomian. Negara percaya bahwa perempuan sebagai agen ekonomi dapat mempercepat dan memperbaiki laju pertumbuhan ekonomi negara serta memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perempuan dalam bentuk pekerjaan baru yang akan datang.

Saat ini tanpa disadari kaum ibu telah digiring keluar rumah dan berlomba-lomba meyibukkan diri untuk kemajuan ekonomi. Misalnya banyak diantara mereka yang menjadi buruh pabrik dan aktif bergerak di bidang UMKM. Secara tidak langsung hal ini menyoroti kehidupan ibu sebagai pencari nafkah keluarga dan juga berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian negara.

Tentu ini tidak lepas dari paradigma kapitalisme yang segala sesuatunya diukur dengan materi. Olehnya itu, program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) yang digencarkan oleh pemerintah hanyalah sekedar tipu daya. Karena, di sistem sekarang mereka menganggap bahwa siapapun bisa dijadikan sebagai sumber daya ekonomi yang harus mendatangkan manfaat secara materi. Alhasil, kaum ibu pun dieksploitasi dan harus dibuat berdaya supaya bisa turut andil dan mirisnya perempuan hanya dijadikan sebagai tumbal kesejahteraan yang menggadaikan peranan pentingnya sebagai ibu generasi.

Terlebih lagi para gerakan feminis yang mengagung-agungkan kesetaraan gender ini akan semakin mendukung program yang digencarkan oleh pemerintah. Gerakan feminis menganggap bahwa Perempuan juga harus mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memilih peran dan haknya dalam hidup. Sehingga mereka berusaha menghilangkan stigma yang selama ini melekat di masyarakat yaitu kodrat perempuan hanya mengurus sumur, dapur dan kasur.

Pemerintah yang sejatinya menurut andilkan peran ibu dalam aspek ekonomi bukan lah solusi untuk memperbaiki laju pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini malah akan memunculkan masalah baru. Pasalnya kita ketahui bahwa kewajiban utama seorang ibu adalah mengasuh dan mendidik anak. Olehnya itu, tergadainya peran ibu di sistem kapitalisme ini sangat berdampak kepada generasi. Alhasil, berbagai permasalahan yang kini menimpa generasi seperti, maraknya seks bebas, narkoba, mental illness, tawuran, bullying, hingga remaja sebagai pelaku kriminalitas.

Jika negara ingin membuat kaum ibu berdaya, maka negara harus mengembalikan peran utama seorang ibu sebagai ummu warabatul bait. Jika ibu bisa memilih, tentu ia ingin menjalankan peran sesuai dengan fitrahnya yaitu fokus mengurus rumah tangga dan mendidik generasi masa depan, karena Ibu adalah madrasah pertama tempat anak belajar makna kehidupan. Akan tetapi, ketika ingin mengembalikan peran utama seorang ibu, maka negara harus mencampakkan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, dimana sistem ini menghalalkan segala cara untuk memperoleh materi, tanpa memperdulikan apakah itu menyalahi kodrat seorang ibu atau tidak.

Sistem yang mampu mengembalikan fitrah seorang ibu sebagai pendidik generasi masa depan adalah sistem kehidupan Islam yang berasal dari Sang Khaliq, yang terwujud dalam negara yang menerapkan politik ekonomi Islam yakni Khilafah Islamiyah.

Islam Memuliakan Peran Ibu

Dalam khilafah, kaum ibu dipandang sebagai sosok yang penting dalam mencetak generasi masa depan. Olehnya itu, negara tidak akan mungkin mengeksploitasi peran ibu dalam meningkatkan ekonomi negara. Sebaliknya, politik ekonomi yang ada dalam Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk terpenuhinya semua kebutuhan perempuan seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak.

Fitrah seorang ibu memiliki potensi sebagai pendidik generasi, serta mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh adalah peran utama para ibu. Masa depan sebuah negara dan bangsa ditentukan oleh bagaimana ibu mendidik para generasi, karena Pendidikan yang diberikan oleh ibu kepada anaknya menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa. Seorang ibu harus membentuk tujuan hidup, visi hidup dan pedoman hidup yang mengarahkan anaknya kepada Islam. Sebagaimana hadist Rasulullah saw.

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani”(HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itulah peran ibu haruslah dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Dalam Islam, suamilah yang memiliki kewajiban untuk bekerja dan menafkahi istri serta anak-anaknya. Apabila, perempuan tersebut belum menikah maka kewajiban menafkahi menjadi tanggung jawab ayah atau saudara laki-lakinya. Akan tetapi, ketika mereka sudah tidak mampu mencari nafkah atau mereka sudah tidak ada lagi, maka negara akan menjamin langsung kebutuhan perempuan, negara akan memberikan tiap bulan santunan yang mencukupi kebutuhan asasiyah para perempuan.

Dalam khilafah, bagi perempuan bekerja hanyalah pilihan bukan tuntutan pekerjaan. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, tetapi mereka boleh semata mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan umat, selama mereka menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu terlaksana dengan baik. Inilah cara Islam memuliakan dan melindungi perempuan, bukan dengan menjadikan mereka sebagai pencari nafkah dengan berpartisipasi dalam sektor ekonomi. Akan tetapi, caranya dengan mengembalikan peran utama ibu sebagai pendidik generasi dan pengurus rumah. Namun, semua ini bisa terjadi apabila negara yang diterapkan adalah negara Islam dalam bingkai Khilafah.

Wallahu’alam bish-shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *