Menelisik Persaingan TikTok Shop dan UMKM di Pasar Digital 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menelisik Persaingan TikTok Shop dan UMKM di Pasar Digital 

 

Oleh Aisyah Humaira

(Aktivis Muslimah)

 

Baru-baru ini kabar duka kembali melanda dunia ekonomi rakyat Indonesia. Pasalnya banyak para pedagang di pasar Tanah Abang dan pelaku UMKM menjerit akibat penjualan mereka yang kini anjlok parah. Diketahui ini bermula semenjak aplikasi TikTok yang digunakan belakangan ini semakin merajalela. Kok bisa?

Terkait aplikasi TikTok yang diduga menjadi penyebabnya, dilansir dari CNN Indonesia (20/9/2023), aplikasi TikTok itu membuat pasaran digempur habis-habisan oleh produk impor murah. Sejumlah pedagang mengaku, sebelum ramai TikTok Shop, mereka bisa mengantongi puluhan juta per hari. Namun, kini ada dari mereka yang bahkan pernah hanya mendapat satu pembeli dalam sehari.

Usut punya usut ternyata kondisi serupa juga terjadi di selain Pasar Tanah Abang. Sejak awal 2023, para pedagang pakaian di Pasar Tradisional Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, juga mengeluhkan sepinya pembeli. Tidak sedikit dari mereka yang terpaksa menutup kiosnya bahkan beralih berdagang sayuran atau barang lainnya. Dengan motif yang sama, yakni imbas harga super murah di lapak dagang online marketplace sehingga menjatuhkan harga pedagang konvensional.

Sebenarnya jauh sebelum adanya TikTok Shop, telah eksis beberapa marketplace seperti Lazada dan Shopee, namun ini tidak sampai berpengaruh ke pasaran. Sedangkan semenjak adanya TikTok Shop lapak mereka bagai hampir mati akibat sepi dari pembeli. Dengan segala upaya untuk tetap survive namun terkesan sia-sia.

Mengutip Kompas (19-9-2023), di antara para pedagang di Pasar Tanah Abang itu ada yang sudah coba menjajakan dagangannya melalui fitur siaran langsung di aplikasi TikTok. Sayangnya, tidak sesuai ekspektasi. Jumlah penontonnya juga sedikit, rata-rata hanya sekitar 20—30 orang, tidak pernah lebih dari itu. Penyebab lain, mereka kalah saing di TikTok. Pasalnya di TikTok terdapat produsen produk tekstil, produsen alas kaki, hingga para pesohor besarpun berjualan di lapak yang sama.

Alhasil barang yang dijual pedagang di TikTok Shop pun dituding hasil perdagangan lintas batas (cross border). Jika benar, banjir barang impor tersebut berarti langsung ditawarkan kepada pembeli tanpa melalui proses importasi yang semestinya.

Adapun Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengonfirmasikan ada 21 juta UMKM lokal yang sudah terjun ke marketplace. Namun, pedagang lokal tetap kalah saing dengan banjir barang impor. Ia menjelaskan, TikTok bisa memberikan informasi kepada produsen UMKM di Cina yang ingin masuk ke Indonesia dan ini jelas menjadi ancaman bagi UMKM kita. Meski saat ini era perdagangan bebas, Teten menegaskan setiap negara tetap perlu melindungi UMKM, jangan sampai kalah bersaing.

Menanggapi ini Pemerintah mengeklaim sudah mencoba mengatasi kondisi tersebut. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji rencana pelarangan TikTok Shop di Indonesia. Ia mengatakan langkah ini sebagai tindak lanjut revisi Permendag 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Kendatinya, solusi tersebut tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh elemen pemerintah. Misalnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan alasan khawatir pelarangan TikTok secara total (total ban) justru akan mengganggu pelaku UMKM yang bermain di sana. Tegasnya, jika total ban, sedangkan pengguna TikTok ini sudah di atas 100 juta, pasti akan menghasilkan disrupsi yang terlalu besar pada saat ini.

Di sisi lain, analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menyarankan pemerintah sebaiknya berhitung cermat perihal rencana pelarangan TikTok Shop. Ia mengingatkan jangan sampai karena pemerintah gagal meningkatkan kapasitas UMKM dalam memanfaatkan pasar digital, fasilitas online yang semestinya bisa membantu UMKM malah dilarang. Menurutnya, peningkatan kapasitas UMKM justru akan bisa membuat mereka beradaptasi dengan platform seperti TikTok Shop.

Bila ditelisik dan dicermati dengan jeli, kita tidak boleh lalai mengingat akan adanya pasar persaingan sempurna. Pasar persaingan sempurna itu adalah sebuah struktur pasar yang di dalamnya terdapat banyak penjual atau perusahaan yang menghasilkan barang ataupun memberikan pelayanan kepada pembeli di pasar tersebut. Bukti nyata pasar persaingan sempurna adalah hadirnya persaingan ketat berupa lokasi, harga, serta target pasar antarbisnis yang memiliki model yang sama.

Realitanya kerap kita saksikan. Sebagai contoh, minimarket dengan nama berbeda, tetapi lokasinya saling berdekatan, bahkan turut bersaing dengan toko kelontong tradisional. Begitu pula supermarket yang lokasinya berdekatan dan bersaing dengan pasar tradisional untuk saling berkompetisi menarik konsumen. Selain itu, adanya pasar bebas, pasar global, dan perdagangan bebas juga termasuk derivat pasar persaingan sempurna.

Penting diketahui bahwa pasar persaingan sempurna meniscayakan harga produk terbentuk melalui mekanisme pasar serta hasil interaksi antara penawaran dan permintaan. Pasar menjadi penentu harga secara penuh. Keinginan dari konsumen atau pembeli terpenuhi melalui berbagai macam permintaan yang dapat dilakukan dalam jumlah banyak. Begitupun dengan keinginan produsen atau penjualnya.

Ngerinya keberadaan pasar persaingan sempurna beserta mekanisme pasarnya ini adalah konsekuensi berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme. Oleh sebab itu, jika menilik ciri-cirinya tadi, TikTok Shop jelas praktik nyata terjadinya pasar persaingan sempurna ini versi digital. Membiarkan pedagang kecil bersaing begitu saja di TikTok Shop ibarat menyodorkan anak domba ke sarang serigala. Wadduh!

Begitu sulit kehidupan rakyat dalam naungan sistem kapitalisme yang penuh dengan kebatilan. Jikapun ada kebijakan tidak mendatangkan solusi. Hal ini karena sistem berorientasi pada materi meniscayakan para penguasanya bertindak tanpa kesungguhan dalam mengayomi dan mengurus umat. Rakyatnya dibiarkan berjuang sendiri dalam rangka mengais rezeki. Sungguh menyedihkan sekali negeri ini.

Coba kita melirik para pemuda yang diperdaya dunia. Banyak lulusan perguruan tinggi maupun sekolah vokasi semata dicetak untuk menjadi entrepreneur dan buruh industri tanpa sedikit pun jaminan pasti memperoleh lapangan kerja, alih-alih masa depan, yang tersirat justru apalah arti agen of change untuk negeri. Kini pada gilirannya ada kredit untuk pelaku usaha kecil dan menengah, nyatanya unsur riba yang menyertai. Astaghfirullah

Refleksi dari perbedaan pendapat antara Mendag dengan Menparekraf semakin menegaskan bahwa sejujurnya, mustahil mengharapkan perlindungan nyata dari penguasa negara bersistem kapitalisme terhadap adanya pasar bebas sebagaimana TikTok Shop ini.

Berbeda dengan sistem Islam yakni Khilafah. Pada berbagai amanahnya termasuk dalam perkara aktivitas ekonomi rakyatnya penguasa dalam sistem Khilafah berpacu di atas pesan Rasulullah saw., Beliau bersabda, “Sesungguhnya imam/Khalifah itu junnah (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Artinya Khalifah jelas berperan sebagai raa’in (penanggung jawab) dan junnah (perisai) bagi rakyat yang dipimpinnya, tidak terkecuali dalam rangka memberikan perlindungan terhadap usaha dan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh rakyatnya.

Wujud kebijakan perlindungan tersebut berupa memberikan jaminan modal usaha sebagai pemberian negara kepada rakyatnya, serta memegang kendali penuh kran produk impor terkhusus pada harga yang bisa menghancurkan harga pasaran dalam negeri.

Terkait harga produk, Khilafah tidak menerbitkan kebijakan pematokan harga. Dalam Islam, Allah Taala telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Allah juga mengharamkan tindakan pemberlakuan harga tertentu pada barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual beli sesuai harga patokan tersebut. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Sesungguhnya jual-beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah).

Juga dalam hadis, “Harga pada masa Rasulullah saw pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau saw. menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah, sedangkan tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah.’” (HR Ahmad).

Di antara mekanisme Khilafah dalam mengendalikan persaingan harga di antara sesama produsen adalah dengan tidak melegalisasi fungsi pasar sebagaimana pasar persaingan sempurna, melarang penggunaan aplikasi marketplace yang fungsinya sebagaimana pasar persaingan sempurna, menggunakan standar mata uang dinar dan dirham sebagai alat tukar resmi, mencegah terjadinya beragam celah penipuan, serta memberikan perlindungan bagi pelaku ekonomi digital maupun pedagang di pasar tradisional/modern dengan segmen pembeli yang jelas.

Maka sudah saatnya kita membuka mata dan berjuang meraih solusi yang nyata membawa kepada perlindungan yang hakiki bagi rakyat dalam negeri bahkan dunia, yakni solusi yang lahir dari naungan satu-satunya sistem yang mampu menjawab segala persoalan umat yakni Khilafah. Allahu Akbar.

Wallahualam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *