Cukai Minuman Manis, Bukan Solusi Akurat bagi Kasus Diabetes

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Cukai Minuman Manis, Bukan Solusi Akurat bagi Kasus Diabetes

Q. Rosa

Kontributor Suara Inqilabi

 

Sebagaimana yang dirilis Internasional Diabetes Federation (IDF) 1 dari 10 orang hidup dengan diabetes di dan jumlah itu diproyeksikan menjadi dua kali lipat atau 1,3 milliyar orang dalam 30 tahun depan. (kompas.id.15/11/2023).

Sementara kasus di Indonesia, di Atlas IDF edisi ke-10 pada tahun 2021 disebutkan, populasi diabetes dewasa berusia antara 20 tahun dan 79 tahun di Indonesia diperkirakan 19,47 juta orang atau sekitar 10,6 persen populasi dewasa. Hal ini berarti sekitar 1 dari 9 orang di Indonesia memiliki diabetes. Dengan jumlah tersebut Indonesia berada di posisi ke-5 dengan jumlah penderita diabetes terbanyak. Tren peningkatan kasus diabetes ini juga terjadi pada anak-anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merilis data yang menunjukkan 70 kali lipat pada Januari 2023 dibanding tahun 2010. (kompas.id.15/11/2023)

Sebagaimana prediksi WHO jumlah penderita diabetes akan terus naik sepanjang tahun. Fenomena yang harus segera dihentikan mengingat Diabetes menjadi pemicu kematian dengan nomor urutan ke-3 setelah jantung dan stroke.

Rencana Penetapan Cukai bukan Solusi

Untuk mengatasi tren naiknya penderita diabetes, pemerintah berencana segera memberlakukan cukai minuman manis yang sebenarnya sudah direkomendasikan oleh WHO tahun 2022.

Pemberlakuan cukai untuk minuman pemanis ini dianggap ampuh untuk mengurangi peningkatan penderita diabetes. Dengan cukai yang diberlakukan, diharapkan harga produsen akan mengurangi ukuran kemasan, ataupun kadar pemanis. Hingga harga jual lebih mahal dan masyarakat akan mengurangi konsumsi minuman dengan bahan pemanis.

Jika kita cermati lebih lanjut, penetapan cukai pada minuman kemasan tidak serta merta menghalangi masyarakat mengurangi minukman manis. Apalagi dalam kondisi tingginya kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta rendahnya literasi kesehatan dan keamanan pangan, justru membuka celah adanya minuman manis yang tidak terkontrol di tengah masyarakat

Sisi lain, produsen juga tidak mau dirugikan dengan kebijakan tersebut, berkurang daya beli masyarakat dengan cukai minuman penanis, jika tidak terkontrol, justru menjadi celah produk baru, yang tentu tidak mempertimbangkan kesehatan masyarakat. Sisi lain dengan mental pembuat kebijakan yang selama ini lebih mementingkan suara produsen (baca kaum oligarki) di tambal mental korupsi pemilik hukum selaku pelaksana regulasi. Sungguh makin tidak yakin kebijakan ini menjadi solusi tuntas dan terbaik bagi masyarakat.

Islam Mewajibkan Negara Menjaga Kesehatan Rakyatnya

Pertama negara dalam Islam akan memberlakukan sistem politik ekonomi Islam, sebuah sistem ekonomi yang berbasis pada syariah Islam, dijalankan dengan sandaran keimanan dan ketaqwaan, hingga menjauhkan pelaku kebijakan dari mental korupsi. Sebuah sistem ekonomi yang mandiri dan tidak tergantung pada investor asing.

Lebih spesifik dalam Islam negara akan melakukan berbagai upaya menyeluruh dan mendasar untuk mencapai derajat kesehatan yang prima bagi masyarakat. Melalui kebijakan dan aturan dalam industri manufaktur yang bergerak dibidang pangan, berupa penyediaan produk pangan halal dan toyib yang mengutamakan keselamatan masyarakat.

Negara juga menyediaan sarana kesehatan yang memadai seperti rumah sakit gratis, tenaga medis serta layanan kesehatan lainnya. Laboratorium-laboratorium kesehatan dan umum yang bisa diakses hasilnya oleh masyarakat, guna meningkatkan edukasi kesehatan pangan dan kesehatan secara umum di masyarakat.

Edukasi kesehatan juga diberikan sejak dini di sekolah-sekolah. Dan ditengah masyarakat umum melalui media elektronik maupun media sosial. Dengan melibatkan para dokter dan seluruh praktisi kesehatan. Kedua, negara akan memberlakukan sistem sanksi sesuai dengan syariat Islam. Sistem sanksi yang tegas, memiliki efek jera bagi pelaku kejahatan. Sistem sanksi ini juga diberlakukan pada pelaku industri yang melanggar aturan negara dan merugikan bagi kesehatan masyarakat.

Ketiga, karena faktor kemiskinan jadi pemicu masyarakat memilih makanan dengan pemanis. Itu artinya persoalan kemiskinan juga harus diselesaikan oleh negara. Dengan memberlakukan sistem pernafkahan sesuai rincian syariat, mulai dari ayah, jika tidak mampu jatuh pada kerabat, jika kerabat tidak mampu maka nafkah seseorang harus ditanggung oleh Baitul mal, mulai dari pos zakat, pos lainya, hingga kebolehan memungut pajak dari orang muslim yang kaya, jika kas negara kosong. Jika berbagai upaya sudah dilakukan sementara masih ada individu dalam masyarakat Islam yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka beban nafkah turun pada seluruh kaum muslimin yang mampu.

Dengan mekanisme sistemik dan rinci masalah diabetes dan kesehatan lainnya akan dengan mudah teratasi. Oleh sistem Islam yang berasal dari Allah yang Maha Agung.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *