Membaca Ambisi Para Kapitalis dari Kebijakannya Mengatasi Krisis

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anita Rachman (Pemerhati Sosial Politik)

Makhluk kecil tak kasat mata bernama Covid-19 mampu menggunjang dunia. Kemunculannya mengubah tatanan kehidupan manusia sedunia, bahkan dikatakan akan mengubah wajah peradaban. Bukan bermaksud meramal masa depan yang memang mustahil dilakukan. Namun, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Pasti terjadi, sudah terjadi dan akan terus terjadi, bahkan sebelum ada pandemi. Hanya memang, pandemi kali ini memaksa kita berubah secara ekstrim, baik dari segi waktu maupun cara.

Laju pergerakan manusia yang awalnya begitu aktif dan dinamis, serentak terhenti. Semua sektor merasakan dampaknya, mulai dari rumah tangga, hingga industri skala besar, nasional bahkan global. Guncangan ekonomi dirasakan di segala lini. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tak terelakkan.

Sektor pendidikan tak kalah gugup dan gagap saat harus banting stir mengubah proses belajar mengajar menjadi sistem daring (online). Pihak sekolah tak siap secara sarana dan prasarana, pihak siswa dan orangtuapun cukup kesulitan beradaptasi. Interaksi sosial berubah total. Kampanye jaga jarak dan jaga kesehatan terus digaungkan.

Bahkan, seluruh kegiatan keagamaan yang melibatkan kerumuman ditiadakan. Masjid-masjid ditutup. Sholat berjamaah dan kajian-kajian diliburkan. Pilu juga sedih saat kebangkitan umat mulai mengeliat, harus kembali redup beberapa saat.

Dari semua fenomena yang ada, menyadarkan kita pada dua hal penting. Pertama betapa lemahnya kita manusia, penuh dengan keterbatasan, memiliki kecenderungan saling tergantung dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Kedua, bahwa ada kekuatan besar yang maha kuasa mengatur kehidupan manusia dan alam semesta, yaitu Sang Maha Pencipta, Allah S.W.T. Betapa kecil dan tak berdayanya kita menghadapi problematika hidup jika tanpa petunjuk dan pertolonganNya.

Namun faktanya, pukulan keras pandemi covid-19 tak serta merta membuat manusia menyadari hal tersebut sebagai sebuah peringatan. Bumi ini masih disibukkan dengan aktivitas manusia penghamba dunia melalui tangan-tangan para pemegang kekuasaan. Negeri-negeri yang mengklaim dirinya sebagai negara adidaya tak berhenti melancarkan rencananya untuk terus menguasai dunia. Negeri-negeri kecil dengan status negara berkembang menjadi sasaran empuk misi mereka. Kerjasama dan investasi menjadi jalan mulus untuk mengintervensi dan mengendalikan sebuah negeri melalui para penguasa bonekanya, bahkan di saat pandemi masih melanda.

Kemana sebenarnya arah solusi yang menjadi prioritas negara dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pertama, Undang-Undang Minerba yang banyak mendapat penolakan karena dinilai lebih menguntungkan para korporat batubara tetap disahkan. Aspirasi masyarakat tak lagi didengar, bahkan seolah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ditengah rakyat berjibaku menghadapi musibah.

Kedua, Perppu Corona yang juga digugat beberapa kalangan masyarakat karena dianggap dapat membuka celah korupsi dan memberikan kekebalan hukum bagi para penyelenggara negara, resmi disahkan menjadi UU. Lagi-lagi, dengan alasan demi menyelamatkan ekonomi di tengah pandemi.

Ketiga, dana penanganan covid-19 yang dianggarkan pemerintah sebesar 405,1T faktanya tak semua diarahkan untuk pencegahan dan penanganan virus corona. Hal ini disampaikan ekonom senior, Faisal Basri yang mengkritik besaran stimulus yang digelontorkan pemerintah dalam APBN untuk perusahaan BUMN lebih besar dibandingkan PEN untuk UMKM, sektor yang paling terdampak selama pandemi Covid-19. “Ini konsekuensi buruknya praktik fiskal yang harus dicermati. Jadi, APBN ini hanya digunakan untuk menopang proyek strategis nasional yang di belakangnya adalah kelompok kepentingan,” tuturnya. (Bisnis.com/02/06/2020).

Ke empat, kebijakan demi kebijakan yang dibuat tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Bukannya menunjukkan keberpihakan pada rakyat, namun justru sebaliknya, menambah beban semakin berat, dengan berbagai pengeluaran dan pungutan. Mulai dari BBM yang masih tinggi di saat minyak dunia turun tajam, tagihan listrik yang melonjak, naiknya BPJS Kesehatan, rencana dihapusnya subsidi gas LPG, hingga iuran wajib Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).

Ke lima, rakyat juga masih harus menanggung pos-pos rutin yang tidak murah, mulai dari pajak, biaya pendidikan, hingga beragam cicilan mobil, rumah dan lain-lain. Semua itu jelas semakin menggerus anggaran. Dapat dibayangkan bagaimana nasib mereka yang penghasilannya jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang sama sekali tidak ada penghasilan karena terkena PHK atau harus menutup usahanya, dampak dari corona.

Puncaknya adalah pemberlakuan kebijakan new normal, yaitu dibukanya kembali aktivitas ekonomi, sosial dan segala kegiatan publik, di tengah curva pandemi covid-19 yang belum melandai. Kondisi ini, mau tidak mau membuat resiko yang muncul akibat pandemi, sepenuhnya (atau lebih besar) beralih menjadi tanggungjawab masing-masing individu, tidak lagi pada negara. Di saat yang sama, upaya pencegahan dengan Isotilation, Testing, Tracking, Treatment kurang maksimal dilakukan, sehingga penyebaran virus menjadi tak terkendali hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Otomatis, resiko terpapar virus bagi mereka yang harus keluar mencari nafkahpun, semakin tinggi.

Penanganan pandemi ala kapitalis tak jauh dari hitung-hitungan untung rugi. Menyelamatkan ekonomi lebih menjadi prioritas daripada menyelamatkan nyawa rakyatnya yang terancam virus corona. No Free Lunch adalah konsekuesi yang mau tidak mau harus diterima oleh negeri-negeri kecil, di balik kerjasama dan investasi yang dijalin dengan negeri-negeri besar. Sehingga kebijakan yang dibuatpun hanya untuk mengakomodir kepentingan mereka, para kaum kapital. Pada akhirnya, kepentingan rakyatlah yang kemudian dipertaruhkan.

Bertolak belakang dengan sistem kapitalis, Islam adalah sistem kehidupan yang menempatkan manusia pada posisi yang mulia. Melayani rakyat dan memastikan hak-haknya terpenuhi, menjadi prioritas utama seorang pemimpin. Karena pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam paham, semua ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka…”.

Krisis juga pernah di alami pada masa khalifah Umar Bin Khattab, yang dikenal dengan “Krisis Tahun Ramadah”. Kekeringan terjadi berkepanjangan sehingga hasil pertanian menyusut drastis. Akses perdagangan antara Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Syam terputus, akibat wabah yang menimpa syam. Kelaparanpun melanda yang kemudian memicu masalah sosial lebih serius yaitu penyakit dan kematian.

Pertama sekali yang dilakukan oleh sang khalifah adalah instropeksi dengan segala kerendahan hati, mengakui ketidakberdayaannya di hadapan Sang Khaliq, dan berkata: “Wahai manusia! Sungguh aku khawatir jika bencana terus melanda kita. Maka carilah Ridha dari Rabb-mu, tinggalkan perbuatan dosa, bertaubatlah kepada-Nya dan lakukan kebaikan”.

Selanjutnya, membangun perasaan bertanggungjawab di tengah pemimpin, untuk bahu membahu berkhidmat pada rakyat. Ikut merasakan penderitaan, makan dan minum bersama rakyat. Melakukan peghematan besar-besaran, mengumpulkan dan mengambil alih distribusi bahan makanan dan memastikan tak ada rakyat yang terlewat mendapatkan bantuan. Menghimpun segala sumber daya yang ada, gotong royong dan memerintahkan para gubernur mengirimkan bantuan dalam berbagai bentuk. Semua perencanaan berada dalam pengawasan ketat sang khalifah, sehingga tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan.

Sungguh telah ada contoh terbaik dari Rasulullah dan para khulafaur rasyidin yang dapat kita ambil sebagai teladan. Dalam keadaan apapun, normal apalagi saat tertimpa musibah, semua akan disikapi dan diatasi sesuai dengan tuntuan syariat Islam, yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah, bukan sekedar memperturutkan hawa nafsu manusia yang sarat kepentingan. Islam adalah obat penawar dari sistem kapitalisme yang jelas rusak dan merusak. Islam sebagai sistem terbaik dan pemimpin yang amanah adalah perpaduan sempurna mewujudkan kehidupan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.

Wallahu’alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *