Konsekuensi Mengimani Al-Qur’an 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Konsekuensi Mengimani Al-Qur’an 

Oleh Sri Nawangsih

Ibu Rumah Tangga

 

Pada tanggal 27 Januari 2023 terjadi penghinaan terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh Rasmus Paludan, tokoh ekstremis anti Islam pendiri gerakan sayap kanan Denmark. Dia secara demonstratif membakar Kitab Suci umat Islam, tindakan ini dilandasi oleh kebenciannya terhadap Islam sekaligus menyuarakan kebebasan berpendapat, ia berjanji akan melakukan pembakaran Al-Qur’an setiap hari Jum’at sampai Swedia diterima menjadi anggota NATO. Bahkan aksinya mendapat izin dari pemerintah Swedia dan penjagaan polisi di Denmark. Aksi Rasmus Paludan bukanlah aksi pertama, tahun 2019 dia membakar Al-Qur’an yang dibungkus dengan daging babi.

Aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia tentu merupakan bagian dari yang dijamin demokrasi, yakni kebebasan berpendapat, persis seperti pembelaan pemerintah Prancis terhadap Majalah Charlie Hebdo dalam kasus penghinaan terhadap Rasulullah pada tahun 2020.

Namun, kebebasan dalam demokrasi yang dipropagandakan Barat sering tidak berlaku untuk umat Muslim. Di Prancis misalnya, berlaku larangan cadar bagi Muslimah di tempat umum.

Tindakan menghina Al-Qur’an merupakan dosa besar. Jika pelakunya Muslim maka ia telah kafir. Jika pelakunya kafir dzimniy dan orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslim, maka tindakannya telah membatalkan perjanjiannya, dan hilang pula jaminan keamanan sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Terhadap negara-negara kafir yang mendukung dan melindungi para pelaku.

Kaum Muslim seharusnya memberi ultimatum seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II kepada Inggris dan Prancis yang saat itu berkehendak memberikan izin pementasan drama yang menghina Rasulullah. Begitulah sikap pemimpin Dunia Islam yang seharusnya, bukan bermain retorika tanpa aksi nyata.

Kaum Muslim meyakini bahwa penistaan terhadap Al-Qur’an adalah dosa dan kejahatan besar. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa mengabaikan hukum Al-Qur’an juga merupakan kemungkaran. Setelah menyatakan mengimani Al-Qur’an, seharusnya setiap Muslim menyadari bahwa konsekuensi dari mengimani Al-Qur’an adalah melaksanakan hukum-hukumnya.

Sebagian dari umat Muslim berdalih kalau hukum Al-Qur’an tidak perlu dilaksanakan secara tekstual, namun yang utama adalah tujuan hukum Islam yakni mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan dapat terlaksana. Misalnya hukum penjara sah untuk menggantikan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian.

Bahkan ada yang berani mengganti hukum Islam dari yang halal menjadi haram atau sebaliknya, seperti mengganti hukum waris antara laki-laki dan perempuan menjadi sama. Menghalalkan bunga bank dengan dalih bukan riba.

Faktanya, kemaslahatan justru makin menjauhi umat. Sebaliknya, kerusakan terus terjadi akibat penyelewengan hukum Islam. Wahai kaum Muslim jika hati kita terusik ketika menyaksikan Al-Qur’an dinistakan, lalu mengapa hati kita tidak tergerak ketika mengetahui hukum-hukum Al-Qur’an diabaikan? Kita sudah merasa puas melihat Al-Qur’an hanya dijadikan bacaan, hafalan dan hiasan belaka, sementara hukum- hukumnya ditelantarkan bahkan dimusuhi?

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *