Utang untuk Selamatkan Rakyat? It’s Impossible!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

Sungguh ironis. Per akhir Juni 2021, utang negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa ini tembus angka Rp 6.554,56 triliun. Apabila utang ini dibagi rata, maka setiap individu menanggung Rp 23 juta. Ya, sebanyak itu. Sungguh memilukan.

 

Kini publik dibuat kebingungan, mempertanyakan langkah pemerintah yang kembali menambah utang. Apalagi, diklaim bahwa utang tersebut untuk selamatkan rakyat.

 

“Kenapa kita harus menambah utang, seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal, dia (utang) adalah merupakan instrumen _whatever it takes,_ untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian kita,” ujar Menkeu Sri Mulyani dalam acara Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Sabtu (24/7).

 

Bendahara negara itu menjelaskan bahwasanya APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi Covid-19. Apalagi di tengah penerimaan negara yang merosot akibat aktivitas ekonomi yang lesu. Di satu sisi, belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan seperti vaksinasi gratis, perawatan pasien Covid-19, insentif tenaga kesehatan, dan lainnya. Serta pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak dan bantuan kepada dunia usaha. (www.cnnindonesia.com, Sabtu 24 Juli 2021)

 

Jika memang belanja negara untuk penanganan kesehatan, lantas mengapa masih banyak fakta terkait kurangnya fasilitas kesehatan? Terkait tabung oksigen misalnya. Dilansir dari laman cnnindonesia, bahwa ketersediaan tabung oksigen masih minim di beberapa rumah sakit, misalnya RS Immanuel di Bandung dan RS Universitas Andalas di Sumatera Barat.

 

Begitu pula dengan langkanya obat-obatan untuk penderita Covid-19. Seperti yang dilansir dalam laman tribunnews.com, bahwa untuk daerah DKI saja stoknya minim. Juga di daerah Bali dan NTT yang melaporkan terjadinya kelangkaan. Lantaran pasokan obat yang mulai berkurang, mereka mengandalkan satu metode pengobatan yang selama ini terbukti mampu memulihkan kondisi pasien Covid-19, yaitu plasma konvalesen. Padahal ketersediaannya pun juga terbatas.

 

Mengapa insentif untuk para nakes juga mandek? Di Kota Tangerang misalnya, berdasarkan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Liza Puspadewi, Jumat (23/7/2021), insentif yang diberikan baru sampai pada periode Januari-Maret 2021. Dari laman cnnindonesia, hal ini dialami pula oleh Yusdeny Lanasakti, dokter spesialis di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Ia mengaku sudah merawat pasien covid-19 sejak Mei atau Juni 2020 hingga sekarang. Namun, ia baru mencicipi insentif nakes dari pemerintah sebanyak dua kali.

 

Mengapa masih banyak yang berkeluh karena bansos tak tepat sasaran? Jika belanja negara terbebani dengan yang diungkapkan, seharusnya tidak terjadi hal-hal semacam ini.

 

Maka, kita perlu menelisik terkait kebijakan keuangan negara, sejatinya untuk apa saja. Benarkah untuk rakyat? Atau diserahkan kepada pihak-pihak tertentu untuk membantu ekonomi yang berada di titik nadir ini?

 

Dilansir dari laman nasional.kontan.co.id, Rabu 14 Juli 2021, ternyata terjawab bahwa kebijakan keuangan justru obral intensif untuk BUMN. Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan, pihaknya mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) 2022 kepada dua belas perusahaan pelat merah. Aria Bima, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, turut menyampaikan bahwa pihaknya menyetujui usulan yang diajukan oleh pemerintah sebesar Rp 72,449 triliun.

 

Hal seperti ini sebenarnya sudah lumrah terjadi. Tetapi tentu memilukan jikalau terjadi di tengah negeri ini memecahkan rekor sebagai episentrum Covid-19. Tentu mengiris hati rakyat jikalau rakyat tengah menjerit akibat ketiadaan faskes, kelaparan yang akut namun penguasa justru tunduk, memilih mendanai BUMN.

 

Sejatinya, penguasa benar-benar telah teracuni oleh ideologi kapitalisme. Mereka menempatkan ekonomi di _list_ teratas, yang paling diprioritaskan. Dalam setiap kebijakan, setiap tindakan, penguasa selalu mengharap untung di baliknya. Penguasa selalu mengharap ada balasan berupa materi atas dana-dana yang diberikan.

 

Maka, sangat wajar jikalau penguasa pelit membantu rakyat. Kalaupun membantu, tentu setengah-setengah dan tak sampai terpenuhinya kebutuhan rakyat. Sangat wajar pula, publik akhirnya mempertanyakan utang yang diklaim menyelamatkan rakyat ini.

 

Padahal sejatinya, utang justru membawa dampak buruk bagi negeri ini. Apalagi utang saat ini telah melampaui batas aman, di mana publik juga BPK mengkhawatirkan pemerintah tak bisa membayarnya. Tentu saja, utang selain akan mengancam kemandirian negara juga membuka lebar-lebar pintu masuknya hegemoni negara pemberi utang. Selain itu, negara pemberi utang akan mudah meraup kekayaan alam negeri ini. Sungguh nahas.

 

Negeri ini tentu tak akan bisa lepas, bebas, tak terjerat utang. Karena pendapatan utama negeri yang berideologi kapitalisme ini ialah pajak serta utang. Keduanya menjadi tulang punggung keuangan negara. Maka tak heran bila utang sana-sini digaet.

 

Tampak perbedaan kontras dengan negara yang berideologi Islam, Khilafah. Pemimpinnya, berupaya sebaik mungkin menjadi pengurus dan pelindung rakyat. Tak peduli pada kondisi apapun, normal atau dalam cengkeraman pandemi, kebutuhan rakyat akan senantiasa terpenuhi.

 

Pemimpin tak hanya berkoar-koar seperti potret hari ini. Karena, sistem keuangan negara Islam adalah yang terbaik, ialah _baitulmal._ Di mana pendapatannya tak berpijak pada pajak dan utang. Apalagi utang dalam pandangan Islam adalah haram, yang mana terdapat unsur riba.

 

Sistem keuangan negara, _baitulmal_ mempunyai beberapa pos pemasukan. Pertama, pos _fa’i_ dan _kharaj._ Kedua, pos pemilikan umum, yang mana sumber daya alam akan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Ketiga, pos zakat, yang menjadi tempat penyimpanan harta zakat. Selanjutnya, terdapat tambahan yaitu pos _dharibah_ (pajak). Pos ini bukan menjadi pemasukan utama negara tetapi dibutuhkan pada saat tertentu ialah ketika kas negara kosong.

 

Oleh karena itu, tampak hanya dengan sistem Islam, rakyat akan selamat dunia dan akhiratnya. Tak boleh percaya lagi dengan basa-basi penguasa di sistem hari ini. Karena pada hakikatnya, sistem kapitalisme sudah salah dan cacat sedari lahir. Bagaimana mungkin yang cacat dapat membawa kemaslahatan? Sungguh mustahil.

 

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *