Masalah Kemiskinan dan Kelaparan di Negeri Agraria 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Masalah Kemiskinan dan Kelaparan di Negeri Agraria 

Aning Mulyaningsih

Kontributor Suara Inqilabi

Organisasi pangan dunia atau FAO yang berada di bawah naungan perserikatan bangsa-bangsa (PBB), mengungkapkan masih banyak kelaparan di 59 negara atau wilayah dengan jumlah 1 dari 5 orang dari negara itu mengalami kelaparan akibat permasalahan pangan akut. Berdasarkan laporan mereka bertajuk global report on food crisies 2024. Tercatat sebanyak 282 juta orang 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. Jumlah orang kelaparan pada 2023 itu meningkat sebanyak 24 juta orang dari tahun sebelumnya.

Kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya cakupan laporan tentang konteks krisis pangan serta penurunan tajam dalam ketahanan pangan terutama di jalur Gaza dan krisis ini menuntut tanggapan segera, menggunakan data dalam mengubah sistem pangan dan mengatasi penyebab kerawanan pangan dan kekurangan gizi akan sangat penting kata “Antonio Guternes l, Sekretariat Jenderal PBB di website FAO Sabtu (4/5/2024).

Selama 4 tahun berturut-turut, proporsi orang yang menghadapi kerawanan pangan sudah tinggi. Anak-anak dan perempuan berada di garis depan krisis kelaparan ini, dengan lebih dari 36 juta anak di bawah usia 5 tahun kekurangan gizi akut di 35 negara.Persoalan kelaparan yang tiada usai di dunia hari ini sejatinya buah dari penerapan kapitalisme global di dunia. Sistem kapitalisme mengakibatkan sebagian besar kekayaan alam dikuasai oleh segelintir orang.

Sistem kapitalisme menafikan kepemilikan umum/publik, sebaliknya liberalisasi kepemilikan diakui dan diberlakukan. Alhasil siapa saja yang memiliki modal besar akan diberi jalan untuk untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan SDA yang notabene milik umum. Konsep kapitalisme telah menjadikan sebagian besar umat manusia sulit mengakses kebutuhan pokoknya berupa pangan. Kalaupun diberi akses, masyarakat harus membuat dengan harga mahal. Sebab liberalisasi sumber daya alam oleh pihak swasta/pemilik modal. Meniscayakan kapitalisme yang berorientasi pada untung (bisnis).

Faktanya, pemerintah terus melibatkan korporasi dalam produksi dan distribusi pangan. Korporasi memiliki peran besar dalam mengendalikan pangan mulai dari produksi hingga distribusi yang melakukan kartel, spekulan, penimbunan, dan lain-lain. Karenanya, kedaulatan pangan adalah hal yang mustahil direalisasikan jika masih mempertahankan sistem kapitalisme. Kondisi ini diperparah dengan negara dalam sistem kapitalisme sebagai regulator.

Negara dalam sistem kapitalisme, berlepas tangan atas tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat termasuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Sebuah aturan hidup yang datang dari Allah Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Islam memandang pemimpin/penguasa wajib bertanggung jawab terhadap urusan umat. Termasuk memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti pangan, sandang, dan papan.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Imam/pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Politik pangan Islam di dalam negeri adalah mekanisme pengurusan hajat pangan seluruh individu rakyat yakni menjamin pemenuhan pangan seluruh rakyat, individu per individu. Islam memandang peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan, termasuk tata kelola pangan berada di tangan negara/khilafah. Sebab negara adalah penanggung jawab utama mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raa’in (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung).

Negara adalah ujung tombak dalam pengelolaan pangan, bukan korporasi. Negara harus memberikan dukungan kepada para petani dengan membuka seluas-luasnya lahan pertanian. Tanah negara dan tanah rakyat yang menganggur dan tidak dikelola dapat disulap menjadi lahan-lahan pertanian produktif bagi siapapun yang mau mengelolanya.

Berbagai kemudahan harus diberikan negara para petani, mulai dari kemudahan perizinan penggunaan lahan, infrastruktur, subsidi, hingga permodalan gratis. Dukungan lain diberikan dengan link and match dengan memanfaatkan lembaga-lembaga peneliti (riset) dalam pengembangan pangan sesuai kebutuhan petani.

Lagi-lagi lembaga ini akan dikelola negara bukan korporasi. Negara khilafah melepaskan diri dari ikatan-ikatan internasional, sebab keterikatan dengan lembaga-lembaga internasional menyebabkan kebijakan negara terikat dengan lembaga tersebut.

Dalam khilafah, kebijakan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sebab hal ini akan menghilangkan kemandirian negara. Begitupun rantai pangan akan dikuasai negara tidak boleh dialihkan kepada korporasi. Korporasi hanya boleh terlibat pada proses penjualan di pasar-pasar dalam mewujudkan kedaulatan pangan, khilafah tidak boleh bergantung pada import. Pemerintah akan menerbitkan rantai distribusi dari petani sampai konsumen. Para spekulan, kartel, agen yang menimbun dan memainkan harga harus ditindak tegas dengan penegak hukum sanksi dalam Islam. Khilafah juga akan menerapkan konsep kepemilikan Islam dan terdiri dari kepemilikan individu, kepemilikan publik dan kepemilikan negara.

Berdasarkan konsep ini, sumber daya alam termasuk hutan dan migas, tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Negara wajib mengelolanya dan mengembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Demikianlah tata aturan negara Islam dalam menyelesaikan persoalan pangan. Hanya khilafah yang mampu menyelamatkan dari bencana kelaparan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme.

Wallahualam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *