Tanpa Junnah, Rohingya Terlantar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tanpa Junnah, Rohingya Terlantar

Uswatun Khasanah

Muslimah Brebes

 

Terusir dari tanah air, terkatung-katung di lautan, terdampar di negeri orang. Jika kita mengingat penderitaan warga muslim Rohingya, kita merasa miris dan sedih. Di kampung halaman muslim Rohingya, Myanmar menolak memberikan kewarganegaraan kepada mereka karena dianggap sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan. Baru-baru ini, dua perahu yang membawa warga Rohingya terdampar di Kabupaten Pidie dan Bireuen.

Sungguh memilukan melihat nasib muslim Rohingya. Di tanah air mereka, mereka akan dimusnahkan. Untuk menyelamatkan nyawa mereka, mereka menaiki kapal untuk mencari negara yang bersedia menerima mereka. Karena kapal penuh sesak dan makanan sangat terbatas, mereka terapung di laut selama 11 hari, mencari negara yang bersedia menerima mereka. Perahu mereka tiba di Indonesia, negara mayoritas muslim, dan mereka berharap dapat memberikan bantuan. Namun nyatanya, alih-alih tidak ada uluran tangan, yang ada justru penolakan.

Imigran Rohingya telah tiba di Kabupaten Pidie dan Bireuen di Provinsi Aceh sejak 14 November 2023. Mereka tiba melalui laut dengan perahu. Jumlah imigran Rohingya sebanyak 346 orang di Pidie dan 249 orang di Bireuen. Warga sekitar membantu imigran Rohingya yang ingin mengungsi. Namun setelah mendapat bantuan, para pengungsi diminta kembali ke kapal.Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International di Indonesia, mengatakan tidak bertanggung jawab jika banyak pihak menolak ratusan pengungsi Rohingya dan meminta mereka kembali ke negara asal mereka. Ia menilai hal tersebut merupakan kemunduran peradaban bangsa. Padahal, kata Usman, masyarakat sebelumnya telah menunjukkan kemurahan hati dan rasa kemanusiaan terhadap pengungsi Rohingya.

“Mereka (pengungsi Rohingya) mencari keselamatan hidup setelah berlayar penuh dengan perahu seadanya di laut yang berbahaya,” ujar Usman dalam keterangannya, (tirto.id, Minggu, 19/11/2023).

Terlantar

Ditolak dimana-mana, hidup tidak menentu, dan mati dalam kesakitan. Sungguh memilukan bagi siapapun melihat nasib masyarakat Rohingya. Muslim Rohingya telah berkali-kali mengalami masalah karena status kewarganegaraan mereka yang tidak jelas. Kali ini, mereka terjebak di perairan lepas pantai Aceh. Sebaliknya, pemerintah menolak mengakui keberadaan pengungsi Rohingya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan Indonesia tidak wajib menerima pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, yang mengakui hak pencari suaka untuk menghindari penindasan di negara lain.

Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967), sehingga Indonesia tidak wajib menerima pengungsi. Namun Indonesia merupakan negara yang bersedia menampung sementara pengungsi asing, termasuk Rohingya, karena alasan kemanusiaan.

Negara Abai

Kesedihan ini tidak hanya terjadi pada pengungsi Rohingya yang tidak diberi akses terhadap tanah. Pengungsi yang sebelumnya telah tiba dan ditempatkan di tempat penampungan juga terancam harus meninggalkan Indonesia. Warga sekitar lokasi pengungsian mengultimatum para pengungsi untuk pindah ke lokasi lain paling lambat Minggu (19 November 2023). Sikap warga ini disebabkan masih adanya gesekan antara warga sekitar dengan pengungsi.

Pada saat yang sama, negara tidak memperhatikan muslim Rohingya dan membiarkan mereka menjalani kehidupan yang layak. Negara juga gagal memediasi konflik antara warga negara dan pengungsi secara adil. Akibat ketiadaan negara tersebut, konflik antara warga dan pengungsi (sebenarnya sesama umat Islam) semakin memuncak dan berujung pada penolakan.

Anehnya, dunia tetap bungkam atas kejahatan yang dilakukan Myanmar. Dukungan dunia terhadap muslim Rohingya tidak banyak berdampak pada nasib etnis Rohingya yang masih belum pasti. Seperti Bangladesh, Thailand, dan Malaysia, mereka menolak kehadiran pengungsi Rohingya di tanah mereka.

Tugas Negara

Tempat penampungan bukanlah solusi akhir bagi warga Rohingya. Negara-negara ASEAN, yang dipersenjatai dengan belas kasih dan kemanusiaan, tidak dapat menyelesaikan masalah Rohingya. Universal Declaration of Human Right tahun 1948 menetapkan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan status kewarganegaraan, namun hal tersebut terbukti tidak mampu menghentikan perlakuan diskriminatif Myanmar terhadap Rohingya. Keadaan tanpa kewarganegaraan masih ada. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa etnis Rohingya merupakan kelompok etnis yang tidak diakui sebagai warga negara oleh negara asalnya.

Muslim Rohingya membutuhkan pelindung dan perisai yang hakiki, yaitu Junnah yang dapat melindungi mereka dari diskriminasi, penindasan dan penganiayaan. Rohingya dan negara-negara muslim lainnya membutuhkan pemimpin dan rumah yang dapat menjaga kehidupan manusia dan kehormatan Islam. Padahal, permasalahan pengungsi Rohingya merupakan permasalahan Nasional, bukan sekedar permasalahan individu atau sosial. Muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama beberapa dekade.

Mereka mengalami genosida yang dilakukan oleh pemerintahan militer dan demokratis. Ketika Myanmar menghadapi ancaman genosida, muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, namun rezim Hasina mengabaikan mereka. Kamp-kamp pengungsi yang disediakan untuk muslim Rohingya sangat buruk dan tidak dapat dihuni. Nasionalisme telah membelenggu upaya Bangladesh untuk membantu muslim Rohingya dengan baik.

Dengan latar belakang ini, wajar jika muslim Rohingya mengungsi ke Indonesia, negara mayoritas muslim yang menjanjikan tempat tinggal yang layak bagi mereka. Namun, rezim yang berkuasa sekali lagi terikat oleh nasionalisme. Meskipun umat Islam di Indonesia, khususnya warga Aceh ingin membantu muslim Rohingya, negara mengabaikan para pengungsi tersebut. Pada saat yang sama, bantuan tetap tentu saja tidak dapat dilakukan dengan kekuatan individu atau masyarakat, melainkan membutuhkan kekuatan negara.

Muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, bekerja, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, dan lain-lain. Mereka bahkan membutuhkan kewarganegaraan. Tanggung jawab negaralah yang mewujudkan hal ini. Namun nasionalisme yang membalutnya membuat negara enggan membantu.

Negara masih menggunakan perhitungan ekonomi karena tentu bisa dibayangkan harus mengeluarkan rupee dalam jumlah besar untuk membantu muslim Rohingya menjalani kehidupan yang layak. Sementara itu, rezim sudah menyerah untuk memberlakukan Idul Fitri pada rakyatnya sendiri, apalagi merawat pengungsi. Sedihnya, sikap serupa juga dilakukan oleh para penguasa seluruh negara muslim di dunia. Kaum Rohingya dan muslim di dunia membutuhkan ikatan keimanan Islam dan ukhuah Islamiah yang menyatukan masyarakat ini tanpa memandang sekat-sekat kebangsaan, etnis, dan ras.

Seperti halnya warga negara Islam lainnya, negara akan memberi mereka pakaian, makanan, dan tempat tinggal, serta pekerjaan bagi para laki-laki sehingga mereka dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka. Negara juga akan menjamin pendidikan, kesehatan, keselamatan dan kebutuhan lainnya agar mereka dapat hidup layak.

Selain itu, Kepala Negara akan mengambil tindakan politik dan militer (jihad fi sabilillah) terhadap rezim Myanmar yang terbukti melakukan genosida terhadap muslim Rohingya. Kepala Negara akan membebaskan Muslim Rohingya yang masih berada di Myanmar dan membebaskan wilayah negara bagian Rakhine yang menjadi tanah air mereka selama berabad-abad.

Wallahu’alam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *