Solusi Lepaskan Diri dari Jerat Utang Luar Negeri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Ari Sofiyanti (Alumni Universitas Airlangga)

 

Apa kabar Indonesia? Menurut pengamat, kabarnya Indonesia berada pada lampu merah gara-gara utang yang sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun per April 2021. Ditambah lagi Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyetujui pendanaan sebesar US$ 400 juta untuk Indonesia. Ini berarti utang kita bertambah sekitar Rp 5,6 triliun!

Katanya, utang baru ini akan dimanfaatkan untuk mendukung reformasi pemerintah Indonesia guna memperdalam, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat, ketahanan sektor keuangan.

Utang Indonesia memang terus bertambah setiap tahun. Namun, meski telah diperingatkan oleh para pengamat akan bahaya utang yang terus menumpuk, pemerintah Indonesia malah berdalih bahwa utang Indonesia masih dalam zona aman dan jauh lebih rendah daripada negara lainnya.

Kebiasaan utang ini memang menjadi tonggak perekonomian di seluruh negara dunia. Mindset yang dibangun adalah bahwa utang itu harus dilakukan karena itu adalah kebutuhan. Negara memang bertanggung jawab untuk menyediakan fasilitas sarana dan prasarana untuk masyarakat. Maka, untuk mewujudkan fasilitas tersebut negara membutuhkan banyak sekali anggaran. Anggaran negara selama ini didapat melalui pajak, pendapatan negara non-pajak (misalnya keuntungan BUMN dan pengelolaan sumber daya alam) dan hibah. Akan tetapi ini semua tidak cukup untuk membiayai seluruh pembangunan. Sehingga, negara melakukan opsi utang kepada luar negeri.

Berdasarkan laman Kementerian Keuangan RI, utang diperlukan karena adanya kebutuhan belanja negara yang penting seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan, pembiayaan pembangunan untuk penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Peningkatan IPM ini juga harus didasari dengan peningkatan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan di berbagai sektor tersebut, sedangkan pendapatan negara/modal operasional tidak mencukupi untuk pembiayaannya maka perlu suatu solusi. Salah satunya dapat ditempuh dengan cara memangkas belanja negara tersebut, yang mana akan mengakibatkan beberapa tujuan negara tidak tercapai dan rakyat yang akan terkena dampaknya. Sedangkan cara lainnya dapat dilakukan oleh negara yakni dengan melakukan pinjaman, tentu diiringi dengan beberapa konsekuensi. Negara Indonesia sejak dahulu memilih solusi yang kedua dengan melakukan utang.

Utang memang telah menjadi instrumen penting dalam sistem ekonomi kapitalisme.  Hal ini seolah-olah tidak ada solusi yang lain selain tercebur ke dalam masalah perutangan. Padahal, utang adalah hal yang berbahaya.

Islam, agama yang sempurna. Allah telah mengatur masalah utang piutang ini. Kaum muslim telah diperingatkan oleh Allah untuk menjauhi perkara utang. Hal ini disebutkan dalam hadits.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalatnya berdo’a: “Ya Allah,aku meminta perlindungan padaMu dari banyak dosa & banyak hutang”. (HR Bukhari)

Banyak pula hadits-hadits lain yang menggambarkan bahwa hutang yang belum dibayar menjadi pemberat dan membuat jiwa yang telah meninggal masih menggantung belum diterima.

Utang antarwarga saja begitu dihindari dala Islam, apalagi utang yang dilakukan oleh negara dalam jumlah besar. Ditambah lagi, utang di sistem kapitalisme ini adalah utang ribawi. Sangat sulit membayangkan pelunasan utang Indonesia yang bahkan bunganya saja masih terus berkembang dan belum bisa dilunasi sampai saat ini. Padahal jelas-jelas Allah telah mengharamkan utang ribawi ini dalam surat Al Baqarah ayat 275.

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Kaum muslimin diharamkan mengambil utang luar negeri. Karena dalam sistem kapitalisme ini utang menjadi salah satu sarana untuk mendominasi, mengeksploitasi dan menguasai kaum Muslim.

Allah SWT berfirman:

Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. An-Nisaa: 141)

Selain menetapkan agar kaum muslim menghindari utang, Islam juga memiliki sistem yang sempurna yang dapat menghindarkan negara dari utang. Negara Islam atau yang disebut Khilafah memiliki pemasukan APBN dari pos kepemilikan negara (fai, kharaj, anfal, ghanimah, jizyah, khumus dan usyur), pos kepemilikan umum (kekayaan sumber daya alam) dan pos zakat khusus untuk 8 asnaf.

Allah telah menganugerahkan sumber daya alam yang sangat kaya pada negeri-negeri kaum muslim. Contohnya negeri kita, Indonesia. Hutan dan lautannya amat luas menyimpan berbagai macam harta. Di bawah kaki penduduk Indonesia pun tersimpan tambang-tambang yang luar biasa banyaknya. Semua anugerah ini wajib dikelola sesuai hukum syariat, yaitu dikelola oleh negara Khilafah dan hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan umat.

Faktanya, Indonesia menjadikan pajak sebagai penerimaan utama negara, sehingga sangat merugikan rakyat sedangkan kekayaan alamnya diprivatisasi oleh perusahaan swasta. Dari catatan Kementerian BUMN tahun 2017, hanya 20% SDA yang bisa diolah negara. Hanya sedikit keuntungan dari pengelolaan BUMN dan sumber daya alam ini yang masuk ke dalam kas Indonesia. Kesalahan pengaturan inilah yang membuat negara jadi gampang tercebur dalam jeratan utang.

Berbeda sekali dengan pengaturan Islam yang terbukti berhasil menjadi negara kuat, berdaulat dan mandiri tanpa utang selama berabad-abad. Bahkan di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz kesulitan untuk menemukan mustahiq zakat. Di masa Khilafah Utsmaniyah dikenal telah memberikan bantuan keuangan dan lima kapal penuh makanan kepada Irlandia yang tengah dilanda kelaparan besar. Bantuan ini adalah bantuan kemanusiaan tanpa niatan menjajah seperti yang dilakukan negeri-negeri imperialis kini. Dengan menyadari semua fakta ini, maka apalagi yang masih menghalangi kita dari mengambil solusi Islam secara sempurna?

 

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *