Salah Kelola Negara, Hutan Indonesia Kian Membara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Salah Kelola Negara, Hutan Indonesia Kian Membara

Oleh Sumiyah Umi Hanifah

Member AMK dan Pendidik Generasi

 

Gijik (35 tahun), salah seorang warga Bangkal, Kalimantan Tengah, meregang nyawa setelah dadanya ditembus peluru tajam oleh oknum polisi, Sabtu, 7 Oktober 2023. Penembakan ini merupakan buntut dari peristiwa unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat Bangkal pada Sabtu, 16/9/2023. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap memihak perusahaan. Masyarakat yang diduga merupakan korban dari praktik pembakaran hutan secara liar ini melakukan aksi dengan memblokade lahan. Dalam aksi tersebut, terjadi beberapa kali bentrok antara warga dan pihak kepolisian. Adapun bentrok kali ini merupakan bentrok terparah. Sehingga sampai memakan korban. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru ke arah warga, akibatnya tiga pengunjuk rasa tertembak. Satu diantaranya meninggal dunia, satu orang kritis di rumah sakit, dan satu lagi belum ada kabar beritanya. Polisi juga menahan sedikitnya 20 orang yang terlibat aksi blokade tersebut. Wahana dan Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, menyebut insiden yang telah merenggut nyawa orang ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari pihak pemerintah. (tempo.co, Ahad, 8/8/2023).

Gijik adalah satu dari sekian banyak warga negara yang telah menjadi korban dari keserakahan perusahaan-perusahaan nakal. Sebagimana yang kita ketahui, ada dua faktor penyebab terjadinya karhutla, yaitu:

1. Faktor yang disengaja

2. Faktor yang tidak disengaja.

Adapun faktor yang disengaja terbagi menjadi dua:

a. Sengaja membakar hutan untuk keperluan pembukaan lahan, tujuannya agar biaya operasional yang dikeluarkan jauh lebih murah.

b. Sengaja membakar hutan atau lahan untuk mendapatkan asuransi, sebab setiap praktik konsensi memiliki asuransi.

Kedua praktik haram tersebut konon sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan nakal yang disinyalir telah mendapatkan legitimasi dari penguasa.

Faktor kedua yaitu faktor yang tidak disengaja. Dalam hal ini adalah kebakaran hutan atau lahan yang terjadi karena murni kesalahan manusia. Contohnya seperti kasus 500 hektare lahan yang terbakar di kawasan Bromo, akibat sepasang kekasih yang melakukan foto prewedding dengan menyalakan “flare”.

Apapun penyebabnya, faktanya kasus karhutla telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, namun hingga kini pemerintah belum mampu mengatasinya. Di Kalimantan Barat misalnya, masih banyak terlihat titik api yang tersebar di wilayah tersebut. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Ully Arta Siagian, menyebut kejadian karhutla di Kalimantan terus-menerus terulang, karena pemerintah dianggap tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga menyebabkan tidak adanya perlindungan yang ketat terhadap wilayah-wilayah yang penting dan rentan. Salah satunya adalah lahan gambut dan hutan. Faktanya lahan gambut dan hutan di Kalimantan sudah banyak “dibebani” dengan berbagai perizinan. Baik perizinan monokultur sawit, pertambangan dan izin di sektor kehutanan lainnya. Ully menambahkan bahwa setidaknya ada 900 perusahaan yang beroperasi di lahan gambut dan hutan yang tidak mendapatkan perlakuan/perlindungan secara khusus. (tempo.co, 20/8/2023)

Karhutla hingga kini masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, di sebagian wilayah Indonesia, khususnya di daerah yang terkena dampak karhutla, masyarakat terpaksa bertahan dan menghirup asap pekat yang membahayakan kesehatan. Dalam jangka panjang, meningkatnya kasus karhutla di negeri ini diprediksi akan membuat lumpuh perekonomian masyarakat. Selain itu juga akan mengganggu aktivitas masyarakat yang terdampak. Karhutla di Indonesia secara langsung telah mengganggu kenyamanan negara tetangga. Singapura dan Malaysia melayangkan protes keras, akibat negara mereka selalu mendapatkan kiriman asap pekat dari Indonesia.

Kepala Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pemerintah kota Palangkaraya, Emi Abriani, membeberkan beberapa kendala yang dihadapi untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Ia mengaku timnya menghadapi sejumlah kendala yaitu sulitnya mendapatkan air untuk memadamkan api, kencangnya angin yang menyebabkan karhutla cepat meluas, dan ditambah lagi dengan fenomena “El Nino” yang menjadikan suhu udara semakin panas, sehingga semua benda menjadi mudah terbakar.

Apapun dalihnya pemerintah tidak boleh menyerah dan berlepas tangan dalam menangani kasus karhutla. Terlebih sudah banyak rakyat yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan oknum aparat penegak hukum. Berulangnya kasus karhutla di negeri ini mengisyaratkan bahwa pemerintah belum maksimal dan belum serius dalam melakukan mitigasi bencana. Untung rugi masih menjadi pertimbangan pihak pemerintah ketika akan melakukan mitigasi. Padahal mitigasi yang dilakukan secara maksimal sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Inilah watak asli sistem demokrasi. Sebuah sistem yang diterapkan di negeri ini. Demokrasi yang merupakan produk turunan dari sistem kapitalisme-liberalisme ini telah “menipu” rakyat. Slogan “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” hanya ungkapan kosong belaka. Buktinya rakyat banyak yang tidak mendapatkan perlindungan dari negara. Negara cenderung lebih memihak kepada kepentingan para pemilik modal, yaitu asing dan aseng.

Dalam Islam, keseriusan dalam melakukan mitigasi bencana merupakan satu keniscayaan, mengingat adanya larangan untuk membawa kemudharatan bagi setiap insan. Islam juga mewajibkan negara menjadi pelindung bagi rakyat, dari berbagai bahaya yang mengancam, yaitu dengan cara mengeluarkan kebijakan yang komprehensif, solutif, dan efektif. Sebab, pemimpin negara diangkat untuk mengurusi urusan rakyatnya.

Sabda Rasulullah saw:

“Imam (pemimpin negara) adalah pengurus rakyat, ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus”. (HR.Bukhari).

Rakyat akan mendapatkan perlindungan maksimal dari negara, apabila negara tersebut menerapkan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh (khilafah) dalam setiap aspek kehidupan. Melaksanakan seluruh ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga turun keberkahan dari langit dan bumi.

Firman Allah SWT:

“Dan sekitarnya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-Araf [7] : 96).

Dengan demikian, hanya Islam yang mampu mengatasi seluruh persoalan rakyat, termasuk dalam mengelola dan menjaga sumber-sumber kekayaan alam yang dimiliki. Hanya dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam, kekayaan alam negara tetap menjadi milik negara dan dikelola secara mandiri untuk kepentingan rakyat.

 

Wallahua’lam bishawab[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *