Lampu Merah Polusi Udara, Butuh Kajian Sistematik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Lampu Merah Polusi Udara, Butuh Kajian Sistematik

 

Oleh Nahida Ilma

(Mahasiswa kesehatan)

 

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Imran Pambudi memaparkan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Jabodetabek meningkat. Peningkatan itu terjadi seiring dengan kenaikan kadar polusi udara. Persentase kasus ISPA non-pneumonia yakni 55 persen pada penduduk usia produktif, sedangkan untuk kasus ISPA pneumonia yakni 55 persen pada balita. Kasus ISPA non-pneumonia (menyerang saluran pernafasan dari tenggorokan hingga ke atas. Misalnya, batuk) tercatat paling banyak terjadi di Jakarta Timur, mencapai 3.115 kasus pada Selasa (5/9/2023), melonjak dibandingkan Rabu (30/8/2023) yakni 2.419 kasus (Republika.co.id, 8 September 2023)

Dikabarkan dalam postingan Instagram Pandemictalk pada 14 September bahwa ramai warga Jabodetabek mengeluhkan sejak polusi udara memburuk, kesehatan kulitnya menjadi bermasalah. Tak sedikit yang mengalami peradangan kulit dan eksim.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Ginanjar Syuhada yang dipublikasikan di International Journal of Environmental Research and Public Health mengukur dampak dari polusi udara terhadap kesehatan dan ekonomi di Jakarta. Tingginya paparan polutan tersebut berdampak pada kelahiran anak, termasuk memicu kelahiran ratusan bayi dengan berat badan rendah di Jakarta pada tahun 2019. Dalam riset tersebut, tercatat ada 680 bayi yang lahir dengan berat badan rendah, 6153 anak mengalami stunting, 327 kematian bayi, dan 62 kelahiran prematur (Popmama.com, 12 September 2023)

Isu lingkungan khususnya terkait emisi karbon atau polusi udara, akhir-akhir ini menjadi isu yang masih terus hangat untuk dibicarakan setelah polusi di Jakarta dinilai semakin pekat. Polusi udara di Jakarta tertinggi se-Asia Tenggara (BBCnews.com, 8 Juni 2023). Berbagai masalah kesehatan akibat polusi udara memburuk juga terus bermunculan dan dikeluhkan.

Sejak saat itu hingga ini hari, sangat mudah dijumpai berbagai konten di media sosial membahas apa sebenarnya akar masalah dari polusi udara Jakarta. Bahkan tak sedikit yang menjadikannya sebagai topik parodi, bentuk kejengahan publik terhadap masalah polusi udara yang tidak segera di solusi dengan solusi yang efektif dan sustainable. Hingga pada titik, polusi udara sudah menggerogoti kesehatan masyarakat. Bukannya upaya promotif yang digalakkan dengan menuntas akar masalah, namun justru memberi ruang besar pada upaya kuratif.

“Kami sudah memberikan surat edaran kepada puskesmas se-Jabodetabek, kita ingatkan bahwa mereka harus bersiap menerima keluhan penyakit yang terkait dengan polusi udara. Mempersiapkan itu, termasuk masalah logistik hingga pelaporannya. Untuk pelaporan sekarang sudah bisa harian,” tutur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambud (Republika.co.id, 8 September 2023)

Merespon keluhan public, pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Berbagai upaya pensolusi dilakukan namun sangat disayangkan masih bersifat tentative yang berujung pada solusi tambal sulam.

Mulai dari kebijakan pemberlakukan Kembali WFH. Sebanyak 50% staf Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI Jakarta mulai menjalani uji coba work from home (WFH) atau bekerja dari rumah sejak Senin (21/08) sebagai bagian dari kebijakan penanganan polusi udara yang memburuk di ibu kota. Namun pakar teknik lingkungan memandang WFH tak serta merta mengurangi tingkat polusi. Sebab, sumber polusi udara di ibu kota “bukan hanya transportasi saja”, tapi juga “pembangkit listrik, emisi dari industri, sampai pembakaran sampah” (BBC.com, 21 Agustus 2023)

Dilanjutkan dengan uji emisi kendaraan. Polusi udara semakin menjadi-jadi di DKI Jakarta. Kini muncul kebijakan uji coba tilang bagi kendaraan tidak lulus uji emisi (Detiknews.com, 24 Agustus 2023). Dikabarkan dalam akun Instagram Narasinewsroom pada tanggal 11 September 2023 bahwa kepala satgas polusi udara polda metro jaya kombes nurcholis, senin (11/9/2023), mengatakan setelah dievaluasi, (kebijakan ini) tidak efektif. Keputusan penghapusan tilang uji emisi kendaraan bermotor diberlakukan pada 1-7 September lalu.

Penggunaan kendaran listrik menjadi solusi yang diaruskan dengan kuat, dengan digadang-gadang sebagai Langkah yang efektif. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengungkapkan bahwa penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dapat berkontribusi untuk pengurangan emisi karbon di Indonesia. Namun, karena Indonesia masih menggunakan sumber listrik yang berasal dari batu bara, maka emisi karbon yang dihasilkan berasal dari pembangkit listrik yang menggunakan batu bara itu (CNBCIndonesia.com, 23 Agustus 2023). Indonesia yang masih sangat tergantung dengan pembangkit listrik tenaga batu bara, menjadikan wacana kendaraan listrik juga akan berujung zonk. Ketika produksi kendaraan listrik meningkat, maka akan berbanding lurus dengan kegiatan pembangkit listrik. Sehingga emisi karbon akan terus bermunculan.

Upaya penyemprotan jalanan juga dilakukan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengerahkan sedikitnya 20 mobil pemadam kebakaran untuk melakukan penyemprotan di sejumlah ruas protokol Ibu Kota untuk mengurangi polusi udara (Republika.co.id, 25 Agustus 2023) Namun, disisi lain hal ini juga menuai kontra. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan penyemprotan jalan tidak efektif untuk mengatasi polusi udara. Aktivitas itu disebut hanya memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain (Republika.co.id, 27 Agustus 2023).

Sejatinya, solusi teknis tersebut memang membuahkan hasil. Terbukti ketika KTT ASEAN berlangsung, dimana udara di Jakarta dinilai membaik. Data yang dianalisis adalah periode 28 Agustus – 1 September 2023 (sebelum KTT) dan 4 – 8 September 2023 (saat KTT). Hasilnya, indeks polutan sebelum KTT ada di angka 136 AQI PM 2.5. Sementara indeks polutan saat KTT berlangsung turun menjadi 129 AQI PM 2.5. Artinya, ada penurunan polusi sekitar 5,15 persen (Kumparan.com, 11 September 2023).

BNPB melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengurangi polusi udara selama penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada 5-7 September 2023. Sebanyak 22.500 liter air disemprotkan di langit Jakarta menggunakan pesawat (Detik.com, 11 September 2023).

Ini memang menjadi kabar baik untuk publik. Tapi ketika dilihat sisi kritisnya, apakah dengan upaya tersebut dapat menuntas masalah polusi udara secara menyeluruh? Apakah polusi udara benar-benar menghilang atau hanya bersembunyi sementara, menunggu waktu yang tepat untuk kembali muncul. Sampai kapan pemerintah akan mampu melaksanakan kebijakan teknis ini?

Sesungguhnya mengatasi masalah lingkungan termasuk dalamnya soal polusi udara, nyatanya tidak hanya bertumpu pada kebijakan teknis. Terdapat problem strategis dan paradigmatis yang mengiringi. Niat baik pemerintah dalam mensolusi masalah polusi udara terkhusus di ibu kota, harusnya dibarengi dengan kajian masalah secara sistematis.

Pada dasarnya pembangunan yang kental dengan kapitalistik menjadi celah besar terjadinya masalah lingkungan yang salah satunya polusi udara. Akan sangat banyak dan mudah dijumpai kabar masalah lingkungan mulai dari penggundulan hutan, pencemaran air, perubahan iklim dan yang sejenisnya yang muncul karena derasnya putaran industrialisasi. Kapitalisme mengomandokan sistem ekonomi yang berpihak pada korporasi, dimana mereka akan melakukan segala cara untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun kesehatan dan kemaslahatan public menjadi korbannya. Paradigma inilah yang menjadikan roda industrialisasi tidak akan pernah berbanding lurus dengan kelestarian lingkungan. Sehingga wacana green economy ataupun blue economy juga hanya akan sekedar menjadi wacana paradoks.

Kegiatan ekonomi dimaknai sebagai perilaku manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dilandasi pada prinsip-prinsip ekonomi. Sehingga kegiatan industri dinilai sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Disisi lain arus budaya konsumtif dan liberal juga terus dihembuskan. Menjadikan roda perputaran industry semakin cepat. Polusi udara yang kian parah dan sudah kadung terjadi ini menuntut pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan yang tepat. Kajian sistematis terhadap kerusakan lingkungan menjadi penitng. Bukan sekedar merujuk pada solusi-solusi tentative tanpa menjamah tataran system.

Dalam islam, negara yang menerapkan Islam Kaffah yang berdiri atas dasar aqidah islam akan membentuk pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab atas Amanah yang diembannya. Pemahaman bahwa setiap hal akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, sangat menghujam dalam hati tiap-tiap individu. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al Bukhari).

Karena itu, pemimpin sangat peduli kepada rakyatnya. Negara akan melakukan dan menetapkan kebijakan yang terbaik agar masyarakatnya mendapat kelayakan kehidupan dan kesejahteraan serta seluruh hajat kehidupannya terpenuhi termasuk kesehatan.

Sebagai pengurus rakyat, tentunya negara akan selalu memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan satu golongan tertentu. Termasuk dalam industrialisasi, negara akan menetapkan kegiatan apa saja dan bagaimana rambu-rambu yang ditetapkan guna memenuhi kebutuhan manusia. Nuansa keimanan dan rasa tanggungjawab terhadap Amanah yang kemudian bertemu dengan visi politik, tidak akan memberikan celah untuk korporasi melakukan pembangunan yang mengeksploitasi lingkungan.

Islam sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Aspek pembangunan Islam akan selalu mementingkan aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Pada masa KeKhalifahan Utsmani, pemerintah Islam membangun kota dengan konsep yang tidak hanya megah, namun juga memperhatikan aspek lingkungan. Disaat yang sama, peradaban islam juga berhasil menjadi negara industri dengan memiliki banyak komoditas yang diperdagangkan ke luar negeri.

Bumi yang sehat, hanya akan terwujud ketika manusia di dalamnya menggunakan aturan Islam. Rambu-rambu yang sudah jelas akan berujung pada kemaslahatan telah disampaikan Allah di dalamnya. Kerusakan bumi yang terjadi hari ini, bukanlah karena usianya yang terus menua namun karena ulah manusia yang Nampak seperti tidak tahu terimakasih.

Wallahua’lam Bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *