Investasi, Jalan Halus Menjajah Negeri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Investasi, Jalan Halus Menjajah Negeri

Nisa Agustina

(Muslimah Pegiat Literasi)

 

Kepulangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari China ke tanah air rupanya membuahkan hasil. Hal tersebut menyusul komitmen investasi yang didapatkan dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun (asumsi kurs Rp 15.107 per US$) yang berencana menanamkan investasinya untuk industri kaca panel surya di Indonesia (cnbcindonesia.com, 29/7/2023).

Pada hari yang sama, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia telah menyiapkan 34.000 hektare (ha) lahan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, bagi sektor usaha. “Ada 34.000 ha lagi yang sudah siap lahannya dan bisa dimasuki oleh investor untuk properti, kesehatan rumah sakit misalnya, untuk pendidikan universitas dan untuk infrastruktur,” ujarnya pada pertemuan dengan pengusaha China yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden (cnbcindonesia.com, 30/7/2023).

Sungguh miris, di tengah persoalan Indonesia yang begitu pelik ditambah dengan laporan Kementerian Keuangan yang mencatat adanya kenaikan jumlah utang pemerintah pada bulan Juni 2023 yang angkanya bertambah Rp17,68 triliun sehingga total utang RI menembus Rp7.805,19 triliun, pemerintah kembali kembali membuka lebar-lebar pintu investasi asing yang sejatinya itu merupakan utang yang harus dibayar mahal oleh negeri ini.

Indonesia tampak sumringah mendapat “cendera mata” berupa investasi dari Cina, padahal ada ancaman imperialisme di depan mata yang harus diwaspadai pemerintah Indonesia.

Dalam sistem kapitalisme, investasi tak lebih merupakan alat bagi penjajah untuk menguasai aset strategis suatu wilayah. Melalui investasi, pihak investor dapat dengan mudah mengendalikan suatu negara bahkan mengintervensi kebijakan yang dirumuskan penguasa di negeri tersebut. Nyaris semua regulasi dirumuskan sesuai pesanan investor baik melalui peraturan perundangan, mulai amandemen, konstitusi hingga pembuatan berbagai Undang-undang.

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara.

Misalnya investasi yang diberikan Cina diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina.

Hal ini dijelaskan dalam dokumen terbitan Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina. Lebih jauh lagi, penyerahan pengelolaan aset daerah pada pihak asing adalah bukti nyata ketidakmampuan negara mengelola secara mandiri aset dalam negeri.

Investasi asing semestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang mampu memeratakan pembangunan di Indonesia, pun dengan utang yang kian menumpuk dan bejibun. Indonesia juga seharusnya tidak merasa baik-baik saja. Meski rasio utang terhadap PDB masih lebih rendah dari batas aman ketentuan, yakni sebesar 60%, Indonesia harusnya waswas. Secara logis, adakah orang berutang hidupnya tenang? Apalagi jika yang berutang adalah negara dengan nilai triliunan. Normalnya ya cemas, bukan malah senang dan tenang saja.

Ada beberapa catatan penting untuk menanggapi utang luar negeri ini. Pertama, sungguh ironis, negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, memiliki kekayaan bahari, hayati, dan wilayah tropis strategis justru memiliki utang triliunan rupiah. Apalagi utang ini tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki beban bunga atau riba yang tidak main jumlahnya.

Kedua, sejatinya besaran utang luar negeri ini bukan hal yang lumrah, tetapi berpotensi mengancam kedaulatan negara. Karena negara atau lembaga pemberi utang bisa leluasa menancapkan hegemoninya di negeri ini. Walhasil negara tidak berdikari, banyak kebijakan-kebijakan yang bisa disetir asing.

Ketiga, utang kepada asing adalah ciri khas negara pengekor kapitalisme. Seolah-olah memang utang ini diwajibkan oleh mereka dengan alasan agar Indonesia makin berkembang dan sebagainya. Padahal, ini utang adalah penjajahan secara sistematis yang dilakukan Barat kapitalisme.

Keempat, tingginya utang bukti lemahnya penguasa di hadapan dunia. Utang negara sebesar 7 ribu triliun, walau diklaim masih aman, lalu kapan utang tersebut akan lunas? Masih ingat, bagaimana Srilanka bangkrut karena utang yang menumpuk dan tidak punya aset lagi untuk dijual? Sehingga membuat Srilanka bertekuk lutut pada titah asing ketika jatuh tempo tidak bisa membayar.

Kelima, utang negara adalah warisan kezaliman. Dari periode ke periode utang selalu bertambah, inilah warisan kezaliman penguasa negeri ini pada anak cucu generasinya. Bukannya mewariskan keberhasilan, tetapi utang riba yang makin hari makin menggunung. Apalagi kondisi kekayaan negeri ini banyak yang telah dikeruk dan dikuasai kapitalis asing dan aseng.

Keenam, seharusnya penguasa negeri ini berpikir produktif dan berdikari. Yakni, bagaimana mengelola sumber daya alam (SDA) sendiri tanpa campur tangan asing dan mendistribusikan kepada rakyatnya. Karena adanya SDA yang dikapitalisasi asing adalah pertanda Indonesia telah melegalkan penjajahan asing terhadap negeri ini. SDA milik rakyat malah dikeruk asing. Rakyat bagaikan anak ayam yang kelaparan di tengah lumbung padi, karena lumbung padinya diberikan ke asing.

Ketujuh, menambah utang demi membangun infrastruktur, sejatinya telah merencanakan penjajahan yang terlegitimasi. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan berkembang banyak infrastruktur dibangun. Tetapi, sumber pendanaan diambil dari investasi asing. Padahal, investasi asing tersebut memiliki berbagai perjanjian yang merugikan negeri ini dan menguntungkan asing. Ya, ini sama saja bohong, sama saja dengan penjajahan.

Islam Kaffah Solusi Negeri

Bagaimana negeri ini dapat bangkit dari jeratan utang dan investasi? Tidak bisa tidak, harus dipahami akar setiap persoalan yang mencengkeram negeri ini, tiada lain adalah karena diterapkannya ideologi Kapitalisme-Liberalisme. Penerapan sistem ini lah pokok permasalahannya karena berasal dari akal manusia yang terbatas dan lemah. Oleh karena itu, negeri ini harus menempuh beberapa cara:

Pertama, kembali kepada Islam. Hanya Islam solusi hakiki negeri ini. Islam adalah sistem shohih yang berasal dari Dzat Pencipta dan Pengatur seluruh alam semesta. Saatnya negeri ini diatur dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan dan meninggalkan sistem busuk sekuler kapitalisme.

Kedua, haram mengambil hutang ribawi maupun menerima investasi asing yang berpengaruh dalam menyengsarakan rakyat, sehingga negara mampu berdaulat dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya tanpa tergadai oleh utang dan investasi.

Ketiga, pengelolaan sumber daya alam haram diserahkan kepada individu atau swasta dan wajib dikelola oleh negara yang mana hasilnya dipergunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat meraih kesejahteraan dan keberkahan. Sebagaimana firman Allah,

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raaf : 96).

Oleh karenanya, cara yang tepat untuk membangun institusi politik dan ekonomi yang mampu membuat negara berdikari adalah dengan sistem Islam kaffah. Tata kelola negara berdasarkan kapitalisme terbukti membuat negara tidak mandiri, ketergantungan, dan kecanduan utang.

Sekaya-kayanya SDA suatu negara, tidak akan berguna jika tata kelola pemerintahannya masih dikendalikan para pengusaha. Sebaik-baiknya pemimpin, jika politik ekonominya masih bertumpu pada sistem kapitalisme, jangan berharap kesejahteraan dan kemandirian. Suatu negara, termasuk Indonesia, bisa menjadi adidaya hanya dengan menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bish showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *