Tambang Makin Marak, Ruang Hidup Rakyat Makin Terusik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tambang Makin Marak, Ruang Hidup Rakyat Makin Terusik

Rahma Elsitasari

(Pegiat Literasi)

 

Keberadaan tambang nyatanya belum membawa dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Bukan dampak posistif yang selalu dielu-elukan oleh pihak tertentu, namun dampak negatif yang diterima masyarakat.

Dampak yang diterima warga seperti yang terjadi di Kelurahan Sukaraja Kecamatan Bukiwaras dan Way Lunik Kecamatan Panjang, Kota Lampung. Warga melakukan aksi penolakan aktivitas perusahaan batu bara di wilayah tersebut, tak lain karena adanya aktifitas stockpile batubara yang mencemari lingkungan dan memengaruhi kesehatan masyarakat, yang ditandai dengan sakit tenggorakan dan dikhawatirkan warga akan terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat selama tahun 2022 ada 164 izin tambang di 55 pulau kecil di seluruh Indonesia, dan akhirnya pulau yang terekspoitasi tersebut mengalami kerusakan. Seperti yang terjadi di Pulau Obi Halmahera Utara. Pertambangan nikel yang ada merusak ruang hidup masyarakat mulai dari sosial, ekonomi dan kesehatan. (lampost.co/ 28/12/2023)

Rakyat Menjadi Korban Kebijakan Pertambangan

Adanya izin pertambangan di pulau-pulau kecil jelas bertentangan dengan aturan pemerintah, tepatnya dalam UU No 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Didalamnya tidak ada klausul tentang aktifitas tambang di pulau kecil melainkan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, budidaya laut dan sebagainya. Apakah beredarnya izin ini menandakan pemerintah kecolongan atau ada pengaruh kepentingan yang bermain?

Banyaknya kasus kerusakan lingkungan yang terjadi seperti halnya di Pulau Wowonii Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Dompo Dompo. Begitu pula eksploitasi tambang berdampak pada sulitnya akses air bersih karena tercemar lumpur, rusaknya ekosistem mangrove di Pulau Bangka.

Berdasarkan data JATAM, Indonesia telah memberikan sekitar 44 persen daratannya untuk 8.588 izin usaha tambang. Koordinator JATAM menyatakan dimana ada tambang, disitu ada penderitaan rakyat, dan ada kerusakan lingkungan.

Keberadaan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja dan UU No 4 tahun 2020 tentang Minerba dinilai tidak pro rakyat kecil. Direktur LBH Bandung, Lesma Natalia menyatakan bahwa UU Minerba mulai semakin digunakan untuk mempidanakan warga yang menolak tambang seperti yang terjadi pada nelayan bernama Yaman, yang menolak keberadaan PT Timah sejak 2015. (bbc.com/28/12/2023)

Sungguh ironis, rakyat yang tak punya kuasa akhirnya menjadi korban-korban ketamakan para pemilik modal yang dipermulus dengan birokrasi. Rusaknya ruang hidup masyarakat tak hanya disebabkan masalah regulasi, namun disebabkan pula landasan ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini.

Hegemoni kapitali menjadikan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam hanya berbasis manfaat belaka, untuk mencapai keuntungan maksimal tanpa memperhatikan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Inilah sebab fundamental dari berbagai masalah tambang dan lingkungan yang menyertainya. Lagi-lagi rakyat kecillah yang menjadi korban.

Islam Menjamin Kemaslahatan Masyarakat

Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam memandang pengelolaan pertambangan. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Sumber daya alam termasuk dalam kepemilikan umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara. Kepemilikan umum merupakan izin syari’ atas pemanfaatan suatu benda oleh komunitas, artinya benda (harta) tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu seperti barang kebutuhan umum, tambang dengan potensi yang besar, sumber daya alam untuk umum.

Negara memiliki kewajiban untuk mengelola kepemilikan umum untuk dikembalikan lagi hasilnya untuk kepentingan umum. Hal ini mencegah terjadinya eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan segelintir orang saja. Kesejahteraan masyarakat pun menjadi hal yang niscaya, apalagi dengan melimpahruahnya sumberdaya alam di negeri ini, jika dikelola dengan cara yang benar dan baik sesuai tuntunan syariat, tentunya tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan yang berkepanjangan serta tidak merugikan masyarakat.

Maka benarlah firman Allah SWT dalam QS Ar Rum : 41-42 bahwa kerusakan yang terjadi dimuka bumi disebabkan oleh tangan-tangan manusia, yang tidak mau tunduk pada aturanNya, malah menjadikan hawa nafsu sebagai tuntunan, melenceng dari jalan kebenaran.

Karena itu, sudah seharusnya kita menjadikan aturan kehidupan bersumber dari Islam, yang memiliki aturan hidup komprehensif sehingga akan mampu menyelesaikan persoalan pengelolaan sumber daya alam beserta akibat yang ditimbulkan secara adil.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *