Pertarungan Pemikiran Melalui Media

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nisa Nasibatul Mazaniyah

 

Awal Mei lalu, dunia diramaikan dengan peristiwa Syaikh Jarrah. Berawal dari keputusan pengadilan Israel yang memutuskan enam keluarga Palestina yang tinggal di Syaikh Jarrah, Yerussalem Timur, untuk meninggalkan rumah mereka. Pengusiran paksa itu membangkitkan amarah warga Palestina sehingga mereka melakukan aksi demonstrasi menolak putusan pengadilan tersebut. Aksi ini direspon oleh tentara Israel dengan brutal sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Tegangan meningkat dan meluas sampai ke kompleks Al-Aqsha dan Gaza secara umum.

Sejumlah media nasional dan internasional memberitakan peristiwa ini. Sayangnya, sebagiannya memuat informasi yang sarat dengan bias, terutama media-media pro-Amerika dan pro-Israel. Mereka memainkan opini bahwa Israel adalah korban dan Palestina adalah bangsa teroris. Hamas disebut sebagai organisasi teroris karena menembakkan sangat banyak rudal ke wilayah Israel – padahal itu merupakan serangan balasan terhadap arogansi dan ketamakan Israel.

Bias media ini bukan merupakan hal baru. Sebuah lembaga riset internasional, 416Labs, melakukan kajian terhadap pemberitaan media-media AS dalam periode 50 tahun sejak 1967. Hasilnya, liputan arus utama media AS sangat menguntungkan Israel dengan bias yang melindungi Israel dari kesalahan-kesalahannya ( m.merdeka.com, 2021). Selain itu, sebuah studi MIT mengungkap kajian terhadap 33.000 artikel New York Times, dan mendapati bahwa ada bias para orientalis terhadap Palestina yang sangat jelas nampak dalam liputan berita AS (muslimahnews.com, 2021).

Media; Corong Kepentingan

Media sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau informasi, dapat difungsikan untuk mengungkapkan pendapat dan gagasan kepada publik. Sekalipun dunia pers atau media massa sangat menjunjung tinggi objektivitas, namun peluang untuk mampu mempengaruhi opini publik dan pemikiran masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Faktanya, sulit dijumpai media yang benar-benar objektif.

Di sinilah Teori Agenda Setting berlaku dengan dua prinsip dasarnya; media massa yang menyaring dan membentuk isu, serta menekankan pada topik tertentu dibandingkan yang lain. Dalam dunia kapitalistik sekuler, peluang besar ini kemudian bertemu dengan kepentingan para pemodal dan penguasa tiran untuk memuluskan rencana-rencana mereka. Media massa akhirnya hanya menjadi corong bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan, tentu saja, yang memiliki modal atau kapital.

Amerika Serikat yang pasca PD II berperan sebagai negara pertama, memainkan perannya dalam mengusung dan menyebarkan ideologi kapitalisme sekuler. Sebuah negara dengan ideologi yang khas akan secara alami melakukan berbagai cara untuk menancapkan kuku-kukunya di berbagai negara lain dengan tujuan politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Benturan peradaban yang terjadi antara peradaban Barat dan Islam diantaranya terwujud dalam dominasi berbagai sarana media massa yang diarahkan untuk kepentingan peradaban Barat. Oleh Antonio Gramsci, dinamika ini diramu dalam Teori Hegemoni. Menurut teori ini, hegemoni ideologi menjadikan media massa sebagai alat dan sarana utama dan yang paling efektif. Media massa itu dapat berupa televisi, film, iklan, dan media cetak (atau saat ini media daring).

Melalui media massa, para pengusung ideologi kufur sekuler kapitalisme ingin melanggengkan hegemoni mereka sekaligus menghambat benih-benih hegemoni lain yang mengancam. Untuk itu, mereka menyuntikkan ide-ide dan pemikiran mereka lewat berbagai media, sekaligus juga melancarkan berbagai aksi menghambat kebangkitan Islam dan menyudutkan kaum muslimin. Mulai dari yang paling mudah kita rasakan seperti pelarangan atau pemblokiran di media sosial, hingga memainkan isu dan framing di media massa.

Di antara strategi yang banyak dimainkan adalah standar ganda. Contohnya paling sering ditemukan pada kasus-kasus tindak kekerasan yang dikaitkan dengan agama. Jika korbannya adalah non-muslim dan pelakunya adalah muslim, maka kata “teroris” dengan cepat akan melekat pada pelaku bahkan sebelum ada pernyataan resmi dari pihak terkait. Namun jika pelakunya adalah non-muslim dan korbannya adalah seorang muslim, maka seringkali kasus ditutup dengan alasan pelaku mengalami gangguan jiwa. Sejak peristiwa 911, istilah teroris dan terorisme memang selalu dilekatkan pada Islam dan kaum muslimin, atau yang menurut Bush ketika itu, “yang tidak sejalan atau berseberangan dengan Amerika”.

Strategi yang lainnya adalah penggunaan stereotipi yang merugikan. Di beberapa negara Barat, kerap terjadi tindak diskriminasi, pelecehan, kekerasan, bahkan pembunuhan hanya karena seseorang bernama atau berpenampilan – yang menurut media — “sangat Arab” atau “sangat Islam”. Dalam film-film yang diproduksi oleh Amerika, sosok orang Amerika digambarkan sebagai pahlawan. Sebaliknya, sosok antagonis banyak digambarkan dengan seseorang berkulit hitam, berjenggot, dan bernama Islami.

Dalam kasus Palestina-Israel, strategi yang dimainkan dalam berbagai pemberitaan media Amerika dan Israel adalah disonansi kognitif dan kesetaraan palsu. Penelitian MIT dan laporan TRT World News mengungkap bahwa berbagai istilah dan diksi (pilihan kata) diseleksi dalam pemberitaan. Pengeboman Israel atas Gaza diistilahkan dengan bentrokan, konflik, atau kobaran api. Pengusiran warga Palestina disebutkan dengan kata “eviction” (penggusuran). Penggunaan bahasa itu dipantau secara aktif untuk memanipulasi opini publik sehingga mendukung Zionisme. Konsistensi pesan juga dimaksudkan sehingga tidak ada apresiasi alternatif untuk Palestina. Untuk manipulasi ini, banyak jurnalis bahkan menjadi korban dengan dinonaktifkan karena menggunakan kecenderungan mendukung Palestina dalam berita-berita mereka.

Disonansi kognitif akhirnya membuat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Israel menjadi diterima dan dibenarkan dengan penggunaan bahasa yang mencuci otak orang. Misalnya bertindak di luar batas hukum internasional dipahami sebagai tindakan perang dan terorisme, membunuh dan menyiksa anak-anak secara universal dipahami sebagai kejahatan tingkat tinggi. Namun semua itu dibenarkan dengan pilihan kata yang menipu pikiran orang banyak. Kesetaraan palsu secara keliru membuat fakta jutaan penduduk Gaza terpaksa hidup seperti hewan sebagai warga negara kelas dua dan dibentengi dengan tembok yang ilegal, menjadi diterima karena disetarakan dengan “hak untuk melindungi suatu bangsa dari teroris”.

Acapkali tak puas dengan framing dan strategi media milik mereka, musuh Islam bahkan tak ragu menggunakan cara-cara kasar untuk menghalangi kebenaran sampai kepada ummat. Beberapa kantor berita di Gaza yang memberitakan dengan jelas tindakan brutal Israel, termasuk Aljazeera, dihancurkan menggunakan rudal dan sebagian lainnya di bongkar paksa dan barang-barangnya disita. Demikianlah mereka berambisi untuk mengendalikan opini publik melalui media.

Muslim Menyikapi Media

Pentingnya fungsi dan peran media dalam mempengaruhi opini publik haruslah dipahami oleh setiap orang yang ingin memahami kondisi masyarakat dan ingin mengubahnya. Perubahan pada masyarakat – dan tentu saja indiviu – hanya akan tercapai jika terjadi proses transfer pemikiran dari para pengemban dakwah kepada orang lain atau masyarakat secara umum. Jalan yang paling efektif untuk melakukan transfer pemikiran adalah bahasa.

Adapun media merupakan alat atau wasilah untuk menyampaikan informasi sehingga bahasa komunikator bisa tersampaikan kepada komunikan. Sebagaimana alat yang lainnya, hukumnya boleh saja digunakan selama tidak terikat hadhoroh atau nilai tertentu. Memanfaatkan media untuk kepentingan dakwah, seperti menyampaikan gagasan dan solusi Islam atas persoalan ummat, atau melakukan counter opini yang keliru dan mengungkap kecacatannya, akan menimbulkan pengaruh terhadap opini publik saat ini.

Rasulullah saw dan para sahabat sangat memperhatikan kekuatan bahasa (yakni bahasa pemikiran) ketika menyampaikan dakwah. Mereka pun menggunakan media yang ketika itu berkembang di masyarakat. Syair-syair yang indah dan disampaikan di muka umum digunakan pula oleh para sahabat dalam berdialog dengan orang-orang Quraisy. Rasulullaah saw juga menulis dan mengirimkan surat kepada para pemimpin kabilah maupun pemimpin bangsa-bangsa lain dalam rangka ekspansi dakwah.

Adapun dalam menyikapi media-media yang anti-Islam dan menyudutkan kaum Muslimin, maka kita perlu hati-hati dalam mengkonsumsi informasinya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasiq datang kepadamu dengan membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya. Agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujuroot: 6)

Kemampuan ummat Islam, khususnya pengemban dakwah ideologis, dalam menyaring informasi harus terus diasah agar tidak mudah terbawa arus opini yang bergulir. Lebih jauh lagi, pengemban dakwah mestinya menjadi penggerak arus opini di tengah masyarakat. Karena visinya adalah untuk mengubah masyarakat dan meningkatkan level berpikir ummat menuju kebangkitan.

Media Untuk Dakwah

Pada marhalah atau tahapan interaksi dengan ummat, perjuangan politik, benturan pemikiran, menangani kemashlahatan ummat, dan membongkar makar merupakan aktivitas yang harus selalu ada. Keempat hal tersebut diwujudkan dalam berbagai agenda dakwah, baik dengan target rekrutmen ataupun opini. Untuk memaksimalkannya, beragam media bisa digunakan dengan catatan tidak menyalahi hukum syara’, termasuk hukum syara’ berkaitan dengan thoriqoh atau metode.

Memanfaatkan media sebagai alat untuk menyampaikan dakwah atau membongkar makar musuh Islam, akan memberikan bagi ummat perspektif berbeda dalam memandang berbagai fakta dan peristiwa. Hal tersebut jika dilakukan secara terstruktur dan masif akan membentuk arus opini yang bisa mengantarkan ummat pada kesadaran umum tentang solusi Islam.

Perang opini melalui media di era digital seperti saat ini sudah jamak diketahui. Sebagai bagian dari para pelaku perjuangan pemikiran, hendaknya para pengemban dakwah senantiasa berupaya melibatkan diri dengan beragam cara. Ada banyak jalan untuk mendapatkan bagian pahala menggaungkan opini Islam. Dan Allah adalah Maha Menghitung Amal.

Wallahu a’lamu bishshowaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *