PENCAPAIAN PRESTASI KARHUTLA, PENCITRAAN MANIS KEBOBROKAN SISTEM

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PENCAPAIAN PRESTASI KARHUTLA, PENCITRAAN MANIS KEBOBROKAN SISTEM

Rayyan Ibrahim

Kontributor Suara Inqilabi

 

Rakyat Merdeka – Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir menegaskan, pemerintah Indonesia tak main-main dengan segala hal yang mengancam hutan seperti perubahan iklim, illegal logging, kebakaran hutan dan deforestasi. Berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal, untuk menjaga kelestarian hutan.

Terbukti, saat ini, titik api telah berkurang secara signifikan hingga 82 persen. Dari 1,6 juta hektar pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar pada tahun 2020.

Laju deforestasi hutan di Indonesia, juga terus mengalami penurunan, dari angka 3,51 juta hektar pada 1996-2000 menjadi 1,09 juta hektar pada 2014-2015. Lalu menciut lagi ke angka 470 ribu hektar pada 2018-2019.

“Deforestasi hutan di Indonesia dalam periode 2019-2022 turun 75 persen, menjadi 104 ribu hektar. Terendah sejak tahun 1990,” kata Erick dalam acara COP28 di Paviliun Indonesia di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis (30/11/2023).

Kendati, data yang ditampilkan Erick menunjukkan kebakaran hutan di Indonesia kembali meningkat pada 2021. Kala itu, ada 358 ribu hektare hutan terbakar.

Dari panjangnya pemaparan keberhasilan yang dikemukakan oleh segelintir penguasa tanah air kepada dunia luar perihal karhutla, tidak lantas mengklaim bahwasanya masalah tersebut terselesaikan.

Karhutla meskipun tidak menimbulkan kabut asap, namun hal tersebut masih menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan masyarakat. Ancaman adanya karhutla berulang saat musim panas, ancaman gangguan pernapasan (ISPA) dan gangguan ekosistem yang rusak merupakan momok menghawatirkan yang patut diperhatikan. Amat disayangkan bilamana seorang penguasa begitu antusias terhadap pencitraan kepada negara lain namun menutup mata terhadap dampak yang dirasakan rakyatnya.

Inilah bobroknya sistem kapitalisme, dimana berpusat hanya kepada materi. Sistem rusak yang tidak memperdulikan hak kepemilikan, diberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi pemilik modal dalam mengolah harta kepemilikan rakyat salah satunya adalah hutan. Dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan sumber daya alam termasuk didalamnya hutan guna bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat.

Mengingat dalam sebuah hadits Rasulullah bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput dan api, yang mana ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.

Faktanya harta kepemilikan umum yang seharusnya dikelola negara dikuasai oleh swasta. Pemilik modal dengan mudahnya mengeksploitasi sumber daya alam guna meraup keuntungan tanpa menghiraukan dampaknya.

Rakyat hanya bisa merasakan imbasnya tanpa mampu memperoleh sedikit kesejahteraan. Berbeda saat rakyat berada dalam naungan khilafah. Rakyat akan merasakan kesejahteraan dan kebaikan dalam kehidupannya, karena para pemimpin sudah paham akan tanggung jawabnya perihal urusan rakyatnya.

Sabda Rasulullah :

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhari ).

Pemimpin yang melaksanakan tugasnya sesuai syariat sudah pasti memahami, bahwa sebuah negara wajib bertanggung jawab dalam melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sehingga kehidupan yang sejahtera, aman dan nyaman akan terwujud secara baik.

Wallahu A’lam Bish-shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *