Oleh : Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi.
“Pengenaan pajak PPN, otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam. Pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia,” kata Bambang Soesatyo atau Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
“Dalam membuat kebijakan, Kementerian Keuangan seharusnya tidak hanya pandai dalam mengolah angka. Namun juga harus pandai mengolah rasa. Harus ada kepekaan sensitifitas terhadap kondisi rakyat,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar itu menilai Kementerian Keuangan harus menyadari masih banyak cara menaikkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat terutama memaksimalkan dari potensi yang ada.
“Artinya, masih banyak peluang yang bisa digarap, dengan memaksimalkan potensi pajak yang sudah ada. Sebelum memberatkan rakyat, Kementerian Keuangan harus terlebih dahulu menertibkan jajarannya agar bisa mengejar para pengemplang pajak yang potensinya mencapai ratusan triliun per tahun,” katanya. (antaranews.com, 13/6/2021)
Rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU.
Dalam draf aturan tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN.
Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN.
Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.(cnnindonesia.com, 12/6/2021)
Rencana mengenakan PPN pada bahan pangan, biaya melahirkan, dan pendidikan menegaskan bahwa pajak merupakan tulang punggung bagi ekonomi kapitalis.
Aroma ketidakadilan pun tercium kala pemerintah justru melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis, yang jika dikumpulkan bisa mencapai triliunan rupiah. Sedangkan bagi rakyatnya sendiri dikejar-kejar untuk segera menyetor pajaknya.
Jika kebijakan ini benar-benar disahkan, ini sungguh sangat zalim, dengan dalih menambah pendapatan negara dalam mengatasi pandemi justru hal ini akan semakin menambah berat beban yang ditanggung oleh rakyat.
Hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi jika Islam yang dijadikan landasan untuk menyelesaikan segala macam problematika umat. Karena dalam Islam pajak bukanlah sumber pendapatan tetap negara.
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Maal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Maal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Maal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Maal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Maal tidak ada dana inilah, maka Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Maal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Bandingkan dengan sistem saat ini yang seperti ‘drakula’, yang suka menghisap ‘darah’ rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.
Wallahu a’lam bishawab.