Media, Dibalik Definisi Konten Negatif

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mauli Azzura

 

Hidup di era digital dengan kecanggihan teknologi, membuat masyarakat serba salah ketika tidak memiliki landasan aqidah yang kokoh. Karena ketika tidak mengikuti berarti ketinggalan zaman, sedang terus mengikuti akan semakin menjadi-jadi karena banyaknya konten negatif berseliweran.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate pun mengatakan, “Pemerintah Indonesia menekankan agar seluruh pengguna internet memiliki hak untuk terbebas dari konten dan interaksi online yang berbahaya, Sehingga kami mengajak seluruh pihak untuk ikut berpartisipasi aktif dan menjadikan internet lebih aman, nyaman, dan bermanfaat.” (Liputan6.com 19/9/2021).

Dilansir dari siaran pers di laman Kominfo, Ahad (19/9/2021), hingga September 2021, Menkominfo menyebut mereka telah menghapus 24.531 konten negatif. Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19.

Jika memperhatikan data-data di atas, kita akan mengira konten negatif yang banyak dihapus adalah konten-konten berbau pornoaksi, pornografi, LGBT, dan pedofilia. Karena sesuai fakta, hal-hal tersebut adalah yang benar-benar memiliki daya perusak yang tinggi. Namun hasil nyata yang terlihat, justru konten terorisme yang menjadi jumlah tertinggi dalam konten yang dihapus. Maka dari sini, konten yang paling dianggap berbahaya adalah berupa misinformasi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

Lalu yang menjadi pertanyaan disini ialah, makna sebenarnya dari konten berbahaya terkait terorisme. Dan jika mengikuti keterangan-keterangan yang ada dalam era saat ini, tentu definisi terorisme bukanlah makna asli, karena tudingan terorisme, radikalisme, dan ekstremisme sering dialamatkan kepada umat Islam beserta simbol-simbol Islam. Bahkan pengibaran bendera Rasulullah Al-Liwa dan Ar-Royah masih dicap sebagai radikalis oleh sebagian masyarakat.

Inilah yang ditunjukkan pemerintah kepada masyarakat bahwa konten terorisme, dinilai berbahaya dengan jumlah terbesar. Dan itu versi pemerintah yang isinya belum tentu teror, bisa jadi konten-konten berisi dakwah Islam kaffah, khilafah, dan jihad dihapus pula. Padahal konten itu adalah ajakan positif untuk umat agar lebih dekat dengan Islam. Namun sudah jelas bahwa pemerintah sekuler, sengaja menjadikan konten pendakwah pada seruan Islam menjadi hal berbahaya bagi pengguna internet.

Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya bisa membandingkan, apa saja konten yang jelas merusak dan konten yang mengajak pada kebaikan. Bukankah jika konten- konten internet yang berisikan dakwah, bisa menjadikan pembaca makin paham akan Islam dan mampu menciptakan masyarakat dengan pemikiran ideologis. Maka seharusnya peran negara menjadikan konten internet sebagai hal yang bermanfaat yang bisa menyediakan ladang informasi yang sehat dan mendidik bagi penggunanya, bukan sebaliknya.

Wa llahu A’lam Bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *