Ketika Si Melon Hijau Langka, Masyarakat Kecil Makin Merana

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Ketika Si Melon Hijau Langka, Masyarakat Kecil Makin Merana

 

Oleh Sumiyah Umi Hanifah

Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik

 

Merdeka! merdeka! merdeka!

Pekik merdeka terus membahana

Merah putih berkibar penuhi cakrawala

Namun tahukah anda?

Sejatinya banyak orang bertanya-tanya…

Benarkah negeri ini sudah merdeka?

Sedangkan untuk memasak saja sulitnya luar biasa

Mengapa Si Melon Hijau seringkali langka?

Mana itu perwujudan sila kelima?

Katanya, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

 

Sepenggal puisi di atas sepertinya cocok untuk menggambarkan bagaimana kondisi rakyat Indonesia saat ini. Dimana mereka banyak yang frustasi, akibat sulitnya mendapatkan gas melon 3 kilogram bersubsidi. Benarkah negara tidak mampu mengatasi masalah kelangkaan komoditas barang yang super penting ini?

Di Indonesia, kelangkaan barang kebutuhan pokok sepertinya sudah biasa terjadi. Lihat saja bagaimana tahun 2022 yang lalu masyarakat dibuat geram lantaran minyak goreng yang merupakan primadona para ibu tiba-tiba menghilang dari pasaran. Kasus serupa terulang kembali. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah negeri ini adalah negara yang kaya akan sumber-sumber energi?

Pertanyaan semacam ini akan terus bergulir dan akan tetap menjadi pertanyaan, selama para penguasa dan elite politik masih mengeluarkan solusi yang sama. Pasalnya, di tengah kelangkaan gas LPG bersubsidi, pemerintah justru memunculkan sosok tandingan yang lain. Yakni gas LPG 3 kilogram bermerk “Bright” non subsidi. Tampilan tabung berwarna pink dan dilengkapi dengan alat pengaman “Double Spindle Valve System”. Produk unggulan yang dibuat beberapa tahun lalu ini dijual dengan harga Rp56.000, khusus di Jakarta dan Surabaya.

Hadirnya LPG non subsidi ini disinyalir akan menjadi sumber persoalan baru di Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mulyanto, salah satu Anggota komisi VII DPR RI, Fraksi PKS. Beliau menyebut langkah pemerintah meluncurkan produk gas LPG 3 kilogram non subsidi ini sebagai tindakan yang “super tega” kepada masyarakat. Sebab, dengan adanya kelangkaan barang tersebut, masyarakat seolah dipaksa untuk membeli produk gas LPG yang sama, dengan harga yang berbeda, bahkan jauh lebih mahal. Selain itu kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan tindak pidana penyalahgunaan LPG 3 kilogram bersubsidi. Besarnya selisih harga antara gas LPG yang bersubsidi dan yang non subsidi, dipastikan akan memicu maraknya praktik pengoplosan atau pemindahan isi gas LPG 3 kilogram bersubsidi ke tabung gas LPG non subsidi, oleh pihak tertentu. (www.dpr.go.id, Kamis, 27/7/2023).

Dikutip dari CNN Indonesia, Kamis, 27/7/3023, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati berdalih bahwa penyebab kelangkaan ini disebabkan adanya peningkatan konsumsi masyarakat usai libur panjang. Ia mengaku pihaknya akan terus melakukan pemantauan penyaluran barang, dan berkomitmen untuk menjaga agar pasokan gas LPG 3 kilogram tetap aman dan berangsur normal.

Pernyataan Dirut Pertamina ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. Menanggapi masalah kelangkaan gas melon 3 kilogram bersubsidi, pihak kepresidenan memerintahkan kepada Menteri BUMN, Erick Thohir untuk memperbaiki tata kelola distribusi LPG, agar tepat sasaran, yaitu dengan cara melakukan registrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Adapun langkah kedua yaitu mengimbau agar masyarakat menggunakan LPG sesuai dengan peruntukannya, yakni bagi masyarakat tidak mampu.

Banyak kalangan menilai bahwa apa yang kita saksikan hari ini, sejatinya menunjukkan kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Seharusnya pemerintah melihat fakta, bahwasanya harga minyak dunia sudah lama anjlok sejak awal tahun 2022. Mengapa harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang dalam hal ini adalah gas LPG di Indonesia justru semakin melonjak naik dan sulit ditemukan?

Hilangnya komoditas barang bersubsidi untuk rakyat mengindikasikan bahwa negara telah gagal, tidak mampu mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. Sistem kapitalisme liberalisme menganggap bahwa subsidi kepada rakyat merupakan beban keuangan negara. Ketika mengeluarkan kebijakan untuk mensubsidi rakyat, mereka akan memperhitungkan dahulu untung ruginya. Sebab, dalam sistem kapitalisme yang sekuler ini semua kebijakan berorientasi pada keuntungan, bukan untuk kemakmuran rakyat. Padahal, mereka dipilih dan digaji oleh rakyat tidak lain untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Tetapi sayang, dalam sistem demokrasi yang berasaskan kebebasan ini, banyak pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya. Mereka bekerja hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya saja. Mendadak amnesia dengan janji-janji manisnya.

Fakta lain, bahwasanya yang membebani keuangan negara bukanlah dana subsidi untuk rakyat. Melainkan, utang luar negeri yang ribawi beserta bunganya. Menurut catatan dari Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai Rp7.805,19 Triliun, hingga Juni atau semester 1-2023. Sedangkan target pembayaran bunga utang tahun 2023 ini sebesar Rp441,4 Triliun. (Media Umat, edisi ke-340, hal 7)

Inilah dilema bagi negara yang menerapkan sistem buatan manusia. Sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menyejahterakan rakyat. Rakyat tetap saja merana. Sebab, negara kapitalis hanya akan menguntungkan para pemilik modal. Siapa lagi kalau bukan pihak asing yang selalu rakus dan haus ingin menguasai sumber-sumber kekayaan alam di negeri jajahannya. Indonesia secara fisik memang telah merdeka, tapi apakah perekonomian Indonesia telah terbebas dari penjajahan?

Kondisi ekonomi suatu negara tidak akan separah ini, jika penduduknya mau menerapkan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Sebab, negara khilafah akan amanah dan selalu berusaha untuk menjamin ketersediaan energi bagi rakyat. Baik untuk konsumsi rumah tangga, industri, transportasi umum, dan lain-lain. Penguasa negara Islam (khalifah) akan memastikan rakyatnya tercukupi kebutuhan hidupnya. Negara akan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada untuk kemakmuran rakyat. Jadi, dalam Islam haram hukumnya menyerahkan urusan pengelolaan ataupun menjual aset-aset milik umum kepada swasta.

Sabda Rasulullah saw.,

“Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api. (H.R. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

Maknanya, Ssumber Daya Alam berupa air yang melimpah, (seperti laut, danau, air terjun, dll), padang rumput yaitu tumbuh-tumbuhan atau hutan, dan api, (sumber-sumber energi), semua merupakan milik umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu-individu ataupun kelompok. Tetapi harus diserahkan dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.

Negara khilafah akan bertanggungjawab terhadap seluruh urusan rakyat. Dalam Islam, seorang pemimpin negara berperan sebagai “ra’in” (pengurus/pelayan) rakyatnya.

Sabda Rasulullah saw.,

“Imam (kepala negara) adalah pengurus/pelayan rakyatnya dan ia bertanggungjawab atas rakyat yang ia urus.” (H.R. Bukhari).

Oleh karena itu tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan sistem kufur buatan manusia. Saatnya beralih menerapkan sistem pemerintahan Islam, (khilafah ) yang akan mewujudkan kesejahteraan, keamanan, dan keselamatan di dunia dan akhirat bagi rakyatnya. Baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.

 

Wallahualam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *