KARHUTLA Membara, Minim Penanganan Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

KARHUTLA Membara, Minim Penanganan Negara?

Oleh Marwana S, S.Kep.Ns

(Praktisi Kesehatan)

 

Beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap imbas Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA), yang meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu dan menyebabkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bahkan juga mengganggu negara tetangga. Belum lama ini KARHUTLA terjadi di kawasan Bromo akibat sepasang kekasih yang melakukan foto prewedding dengan menyalakan flare. Total lahan yang terbakar diperkirakan 500 hektar, Jumat (25/8).

Kejadian yang sama juga terjadi di desa Nurabelen, kecamatan Ile Bura, kabupaten Flores Timur yang dipicu akibat praktik pembersihan lahan dengan cara dibakar. Api melahap lahan seluas 40 hektar. Selama Agustus 2023, Pantau gambut memiliki catatan setidaknya 271 area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terbakar.

KHG yang terbakar tersebar pada 89 kabupaten atau kota pada 19 provinsi di Indonesia. Dimana provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah menjadi dua daerah dengan kebakaran paling intens. Di tengah maraknya KARHUTLA, saat itu pula memasuki puncak musim kemarau akibat El Nino.

Abil Salsabila, campaigner pantau gambut menjelaskan kepada Tirto, penyebab KARHUTLA yang terus berulang setiap tahun, “Salah satu penyebabnya karena ulah manusia, faktor kesengajaan dengan cara pembukaan lahan, pengeringan dan pembakaran”, pungkasnya. Selain itu, rentannya kebakaran di ekosistem gambut karena suhu yang tinggi dan ditambah ekosistem gambutnya sudah rusak yang saya bilang tadi sedimen sudah terekspos, jadi semacam fuel (bahan bakar) nya. 90% peristiwa karhutla di Indonesia

disebabkan oleh ulah manusia, sedangkan kondisi panas yang dipengaruhi El Nino hanya katalis yang mempercepat kebakaran,” imbuh Abdul Muhari dari BNPB.

Manajer kampanye hutan walhi, Uli Arta siagian juga mengatakan, “El Nino hanya pemantik kebakaran, sedangkan memburuknya karhutla tahun ini disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan penindakan pemerintah terhadap korporasi penyebab karhutla. Memang ada pengaruh El Nino, namun melihat berulangnya karhutla setiap tahun menunjukkan mitigasi belum berjalan baik, optimal dan antisipatif.”

Karhutla yang terjadi di wilayah Sumatera turut diwaspadai oleh Singapura pada minggu (3/9), Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura memonitor puluhan titik api yang terdeteksi di Sumatra dan mengingatkan warganya risiko kabut asap. Singapura, Malaysia dan Thailand termasuk negara tetangga yang pernah terdampak kabut asap karhutla dari Indonesia.

Kabut asap telah berulang kali menjadi masalah di kawasan Asia Tenggara, terutama ketika kebakaran hutan masif terjadi pada 2015 dan 2019 yang mendorong Malaysia menekan Indonesia untuk mengatasi masalah tahunan tersebut. Pasalnya, kebakaran hutan yang bersumber di Indonesia telah memaksa hampir 2.500 sekolah di seluruh Malaysia ditutup. Malaysia menuding karhutla di Indonesia meningkat telah menyebabkan kabut asap yang memperburuk kualitas udara di beberapa wilayah negeri Jiran.

Direktur Jenderal Departemen Lingkungan Hidup Malaysia Wan Abdul Latif Wan Jaffar mengatakan kebakaran hutan yang terjadi di tengah dan selatan pulau Sumatera hingga selatan Kalimantan telah memperburuk polusi udara di pantai barat negara itu dan di Sarawak yang berbatasan langsung dengan Kalimantan.

Tak hanya Malaysia, kekhawatiran soal kabut asap juga dirasakan tetangga Indonesia lainnya yakni Singapura. Pusat Meteorologi Khusus Asean (ASMC) yang berbasis di singapura yang melacak kabut asap di Asia tenggara melaporkan bahwa dari citra satelit terdapat 52 titik api di Sumatera dan 264 di kalimantan.

Melihat dampak karhutla yang terus membara dan merugikan masyarakat, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap penanganan yang selama ini berjalan sebab kasus yang terus berulang tersebut menunjukkan minimnya penanganan negara.

Permasalahan karhutla bukan persoalan teknis semata melainkan persoalan sistemis. Sementara pada saat yang sama pembukaan lahan gambut termasuk deforestasi untuk kepentingan bisnis masih terus berjalan, regulasi yang berlaku pun membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan dan dengan beberapa ketentuan serta pemberian izin konsesi kawasan hutan.

Pemberian konsesi ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang melegalkan pemberian hingga pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan kepada swasta. Selain itu, sistem kapitalisme juga menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator padahal menjadi penanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk menjauhkan dari bahaya kebakaran hutan. Oleh karena itu, selama sistem pengelolaan hutan menggunakan konsep kapitalisme yang mengedepankan keuntungan ekonomi semata dan setiap manusia diberi kebebasan untuk menguasai aset-aset ekonomi tanpa batas maka mustahil pengrusakan hutan bisa dihentikan.

Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan karhutla adalah dengan menerapkan konsep Islam sebab memiliki landasan kehidupan yang berasal dari Allah SWT, sebagai Dialah dzat yang sangat memahami manusia dan alam semesta. Dalam menjalankan pemerintahan, negara Islam hanya menggunakan syariat Islam. Sistem Islam juga tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak, melainkan seluruh manusia wajib terikat dengan seluruh aturan syariah. Oleh karena itu, pemanfaatan berbagai harta kepemilikan harus mengikuti status kepemilikannya. Dalam Islam hutan adalah milik umum dan tidak dibolehkan memberikan izin pengelolaan kepada swasta, hutan boleh dimanfaatkan secara langsung dan bersama-sama oleh seluruh masyarakat.

Namun, apabila dinilai berpotensi menimbulkan kerusakan atau konflik ditengah masyarakat maka pengelolaan ini wajib diambil alih oleh negara. hanya saja, pengelolaan yang dilakukan bukan dengan tujuan bisnis melainkan wajib dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung maupun dalam bentuk fasilitas publik.

Agar pengelolaan ini bisa berjalan dengan benar dan memberikan manfaat kepada rakyat maka negara yang mengelolanya pun akan menggunakan paradigma Islam. Dimana Islam telah menetapkan bahwa negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) akan berbagai bahaya yang mengancam diantaranya melalui kebijakan yang komprehensif, solutif dan efektif. keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam negara Islam, mengingat larangan untuk membawa kemudharatan bagi setiap insan.

Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR Al Baihaqi).

Hutan memiliki banyak fungsi ekologis, negara Islam akan mengkaji jika pemanfaatan hutan di sebuah wilayah akan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Sistem Islam pun diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai kawasan hima dalam rangka konservasi.

Kawasan hima secara otomatis tidak boleh dieksplorasi untuk memberikan kemanfaatan yang lebih luas dalam jangka panjang bagi kehidupan masyarakat. Demikianlah sistem Islam mencegah karhutla agar tidak terulang kembali dengan menerapkan pengelolaan hutan sesuai tuntunan Islam.

walLâhu A’lam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *