Ditulis oleh : Tusriyani (Ibu dan Penggerak Opini Ideologis Lubuklinggau)
RUU minuman beralkohol disebut demi jaga ketertiban tapi dikritik akan bunuh pariwisata.
DPR kembali menggulirkan rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan manaati ajaran agama, walaupun tidak ada data akademis yang menunjukkan jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol.
RUU mengatur sanksi pidana bagi yang mengkonsumsi minuman keras.
Namun data kementerian keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp 7,3 trilyun tahun lalu. Bahkan asosiasi importir minuman beralkohol khawatir jika disahkan akan membunuh sektor pariwisata. Sementara WHO menyebut indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi minol terendah didunia. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54919329)
Anggota partai PPP berpendapat minol merusak kesehatan dan berakibat fatal pada hilangnya akal. Dalam kondisi mabuk banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Pihak lain menyatakan minol adalah produk yang dikenai cukai, serta menyumbangkan penerimaan yang besar bagi negara. Menurutnya mengkonsumsi minol harusnya diatur dan diawasi mengenai usia orang yang diizinkan mengkonsumsi tapi tidak dilarang. Karena pelarangan minol akan berujung pada meningkatnya jumlah konsumsi minuman oplosan yang berakibat hilangnya nyawa banyak orang. Sungguh pengkaburan makna secara nyata telah dilakukan oleh kaum yg membenci aturan syariat Islam, yang mana tolak ukur perbuatan adalah halal dan haram.
RUU larangan minol diusung DPR pada tahun 2009 dan dibahas lagi pada tahun 2014-2019, lagi-lagi perbedaan pendapat antara pengusung RUU yang melarang minol dan pihak lain yang menginginkan konsumsi alkohol tidak dilarang namun diatur saja.
Kemustahilan bila lahir aturan berdasar syariat melalui proses legisasi demokrasi liberal, karena ujung-ujungnya hanya nemikirkan materi semata dengan ukuran untung rugi bagi pembisnis kapitalis. Dengan dalih masukan negara yang trilyuran berasal dari minol menjadi alasan, berkurangnya pariwisata yang masuk ke Indonesia serta berkurangnya pendapatan negara.
Lalu bagaimana syariat ditegakkan melalui mekanisme legisasi demokrasi ? Jawabannya tidak mungkin, karena Islam melarang keras tentang minuman beralkohol atau khamr.
Khamr adalah haram, tak hanya mengkonsumsi dan meminum saja namun syariah mengharamkan 10 aktivitas yang berkaitan dengan khamr.
Rasulullah Saw telah melaknat tentang khamr 10 golongan : 1. Pemerasnya 2. Yang minta diperaskan 3. Peminumnya 4. Pengantarnya 5. Yang minta diantarkan 6. Penuangnya 7. Penjualnya 8. Yang menikmati harganya 9. Pembelinya 10. Yang minta dibelikan ( HR. At-Tirmidzi ).
Miras jelas menimbulkan kekacauan pada akal manusia bahkan mendorong berbagai tindak kejahatan selain melalaikan manusia dari mengingat Allah SWT sang pencipta makhluk didunia. Nabi Muhammad Saw menyebut khamr sebagai ummul khaba’its ( induk dari segala kejahatan ).
Saatnya kaum muslim mengambil sikap tegas dari para pembenci syariat Islam, dengan menjadikan halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatan dan penyusunan undang-undang bukan untung rugi materi. Jangan sampai pemikiran kita tergerus oleh kaum kapitalis yang menyatakan bahwa masih ada jalan tengah yaitu boleh minum bila ada acara adat agama tertentu bahkan wisatawan mancanegara. Itu adalah pemikiran yang menyesatkan iman dan harus ditindak tegas, namun sulit apabila sistem Kapitalis Sekuler yang masih dianut negeri saat ini. Umat muslim wajib melek politik dengan ikut menyebar luaskan ajaran islam secara kaffah melalui jalan dakwah. Jika Daulah Islam tegak maka minol akan ditutup bahkan dihancurkan, bagi umat muslim yang masih ngotot meminumnya maka akan diberi hukuman 80 kali cambuk, naudzubillah.
Rasulullah Saw bersabda ” sekelompok orang dari umatku akan menghalalkan khamr dengan nama yang mereka beri nama dengan nama yang lain “( HR.ahmad )
Jangan sampai umat muslim sejati terkikis pemikiran yang akan membengkokkan iman mereka.
Wallahu ‘alam bish shawab