Hak Azasi Manusia sebagai Solusi atau Legitimasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hak Azasi Manusia sebagai Solusi atau Legitimasi?

Syahraeni

Kontributor Suara Inqilabi

 

Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1948 menetapkan 10 Desember sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Seluruh negara memperingati hari penting tersebut, Indonesia salah satunya. Peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS), Ita Fatia Nadia, di sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (8/12) menekankan pasca reformasi, negara seharusnya mengusut dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang menurutnya tidak pernah dilakukan. “Ketika negara tidak lagi memenuhi kewajibannya, maka negara telah melakukan impunitas. Impunitas adalah kegagalan negara dalam melakukan penuntutan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang dianggap sebagai pelaku kejahatan serius menurut hukum internasional dan itu tidak pernah dilakukan,” ujarnya. Sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo, 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, gagal diwujudkan. (VoaIndonesia, 10/12/2023)

Setara Institute dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengungkap skor indeks Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tahun 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari sebelumnya 3,3. Lebih lanjut, Setara mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki kinerja paling buruk dalam melindungi serta memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat. (CNNIndonesia,10/12/2023)

Berkaitan dengan peringatan hari HAM sedunia pada 10 Desember, yang rutin dilakukan tiap tahun namun nyatanya kasus kejahatan kemanusiaan dan penegak hukum masih sangat jauh dari harapan. Anjloknya skor HAM Indonesia sudah sepatutnya dikritisi. Banyaknya pelanggaran HAM berat pada masa lalu termasuk kasus Trisakti 1998 yang belum terselesaikan sampai saat ini menampakkan tidak bertanggung jawabnya negara dan tidak berlakunya aturan HAM itu sendiri.

Negara-negara Barat dan lembaga internasional mengusung HAM sebagai solusi atas seluruh permasalahan dunia. Hari HAM pun diperingati oleh tiap negara, hingga skor indeks HAM setiap negara juga diukur dan dipantau setiap tahun. Tiap negara didorong untuk terus meningkatkan skor indeks HAM.

Meski pada realitasnya persoalan dunia tidak kunjung terselesaikan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat tak pernah diselesaikan, padahal sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Negara Barat seperti AS sebagai salah satu negara penyeru HAM ternyata justru menjadi pelanggar HAM nomor satu. Serangan AS ke Irak dan Afganistan telah melanggar hak jutaan rakyat di sana. Terbaru, dukungan AS terhadap penjajahan yang dilakukan Israel telah nyata melanggar hak rakyat Palestina hingga hukum Internasional sudah hampir seluruhnya diabaikan oleh Israel. Hipokrisi ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagi pihak, sebenarnya untuk apa HAM? Dan standar HAM itu sendiri seperti apa?

Pada dasarnya, ide HAM dilandaskan pada kebebasan (liberalisme) maka wajar jika dalam penerapannya akan selalu sejalan dengan keinginan dan kepentingan para penganutnya. Dan tidak dapat dielakkan penerapan HAM dalam kehidupan akan selalu bertabrakan dengan kepentingan orang lain, sehingga persoalan tak kunjung selesai, pun menyebabkan standar ganda dalam penerapannya.

Sebut saja AS dan sekutunya jika melakukan kekerasan, tidak dianggap pelanggaran HAM. Sedangkan jika yang melakukan kekerasan adalah musuh AS, misalnya kelompok Islam, akan dituding sebagai pelanggaran HAM. Palestina menjadi bukti nyata akan semua itu. Bagaimana AS dan sekutu memojokkan Hamas sebagai pelanggar HAM karena memulai penyerangan di 7 oktober meski sebelumnya Israel telah melakukannya selama 75 tahun atas rakyat Palestina.

Atau pada kasus dalam negeri misalnya, fakta di Papua. Jika aparat negara bertindak tegas terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB), akan dianggap melanggar HAM dan kasusnya diajukan ke forum internasional. Sebaliknya, ketika KKB yang membunuh warga sipil Papua, meski telah menelan korban besar, tidak akan ada tudingan KKB telah melanggar HAM.

Patutlah ide HAM ini semakin absurd dan bermuka dua karena ide ini berasal dari rahim sekularisme yang mengagungkan kebebasan perilaku. Setiap orang akan mengutamakan haknya daripada hak orang lain. Akibatnya, persoalan tidak kunjung selesai, bahkan menyimpan potensi bahaya pada masa yang akan datang. Antar individu maupun kelompok akan saling dendam sehingga bisa berujung saling serang dan terjadilah konflik berkepanjangan. HAM juga telah terbukti menjadi alat gebuk dan legitimasi Barat terhadap negeri muslim yang dianggap berseberangan dengannya. Walhasil, HAM akan digunakan jika menguntungkan Barat dan diabaikan jika dianggap merugikan. Selain itu, HAM juga terbukti menjadi legitimasi kemaksiatan, dengan dalih kebebasan. Misalnya pada kalangan penyuka sesama jenis.

Itulah sebabnya, ide ini bertentangan dengan Islam sejak dari akarnya. HAM adalah produk sekularisme yang bertentangan dengan akidah Islam kaffah. Oleh karena itu, bagi seorang muslim, HAM adalah prinsip yang batil karena menjadikan manusia bebas berbuat apa pun tanpa aturan. Sementara itu, fitrah manusia adalah lemah, yakni tidak bisa membedakan hakikat benar dan salah sehingga tidak bisa membuat aturan yang sahih untuk mengatur kehidupan manusia.

Islam menetapkan bahwa hukum asal semua perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ yang bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah. Dengan demikian, segala sesuatu sumber dan standarnya sama, yaitu syariat. Begitu pun jika terjadi pelanggaran dan kekerasan, akan dilihat hukumnya berdasarkan syariat, bukan berdasarkan hawa nafsu atau keinginan bahkan kepentingan semata satu kelompok manusia. Allah Swt. berfirman,

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) Siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50).

Dengan penerapan Islam komprehensif, hak dasar manusia akan terpenuhi, seperti hak hidup, mendapatkan makanan dan pakaian, menjalankan ibadah, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Dengan penerapan aturan Islam secara totalitas akan menghasilkan terwujudnya maqashid syariah sehingga manusia dapat hidup tenteram dan semua kebutuhannya terpenuhi.

Sepanjang sejarah, peradaban Islam telah membuktikan terwujudnya ketenteraman hidup dalam naungan sistem Islam. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Will Durrant (1885—1981), seorang sejarawan Barat yang terkemuka, “Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga Maroko dan Spanyol.

Wallahualam bish-shawwab.

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *