Covid-19 Kian Menyingkap Kemiskinan Dunia Pendidikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Widiawati, S.Pd (Aktivis Muslimah dan Ibu Rumah tangga)

Media di hebohkan dengan viralnya seorang siswa SMP di Rembang, tetap berangkat sekolah karena tidak memiliki HP untuk digunakan belajar daring. Dimas tidak bisa mengikuti proses Belajar Dari Bumah (BDR) secara daring karena tidak memiliki HP. Ia pun belajar di kelas seorang diri dengan bimbingan seorang guru. Setiap hari ia berangkat dari rumahnya di desa Pantiharjo, kecamatan kaliori, Rembang, Jawa Tengah, dengan diantar ibunya.

Pulangnya ia diantar seorang guru sampai kerumahnya. “Barangkali bagi keluarganya, beras jauh lebih dibutuhkan daripada ponsel pintar dan kuota Internet,” kata Kepala SMPN 1 Rembang Isti Chomawati. (Portal Jember, 23/7/2020)

Tidak jauh berbeda di daerah lain. Seperti yang terjadi di Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari akses kehidupan saat ini. Selama masa pandemi covid-19 Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (PKO) membuat kebijakan pembelajaran melalui radio bagi murid Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lagi-lagi kebijakan itu tidak bisa diterapkan para pelajar di kampung Todang, lantaran orangtua siswa mengaku tidak bisa membeli radio. Hal ini membuat aktivitas belajar mengajar di SDN Todang tidak berjalan karena sekolah tidak menyiapkan radio. “Anak-anak tidak belajar, guru juga tidak mendampingi anak didik belajar dirumah. Kita tak punya biaya membeli radio.” Ungkap Lukas Lupa, warga dusun Todang, Desa Hokor kepada liputan6.Com

Sekolah daring (dalam Jaringan) alias online, menjadi bagian keseharian kegiatan belajar di era pademi. Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim punya alasan sendiri untuk ini. Menurutnya konsep sekolah daring satu-satunya solusi yang bisa diupayakan bagi sistem pendidikan saat ini, atau anak didik tidak belajar sama sekali. Sebagai solusi primer alasan mendikbud memang masuk akal, namun dari segi solusi sekunder tentu hal ini belum cukup mampu mengatasi problem sistem sekolah daring.

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang di gadang-gadang dapat menyuplai kesulitan ekonomi peserta didik, nyatanya masih belum memungkinkan. Faktanya, sekolah daring bukan hanya membutuhkan pulsa dan kuota, namun juga membutuhkan perangkat lain seperti gawai (gadget), ponsel pintar(smartphone) ataupun komputer jinjing(notebook). Tentu saja perangkat pendukung ini tidak bisa di cover melalui dana BOS yang terbatas.
Pelaksanaan sekolah daring acap kali memiliki kendala tekhnis, seperti ketika ada orangtua yang tidak memiliki perangkat android juga daerah-daerah yang sulit dijangkau listrik dan sinyal internet. Orang tua siswa kurang berpendidikan dan murni mengandalkan belajar hanya dari sekolah. Tentu belajar sendiri di rumah butuh upaya lebih keras dari siswa itu sendiri, berbeda jika mendapatkan pendampingan dari guru, maka siswa akan lebih mudah memahami pelajaran.

Kendala-kendala inilah yang seharusnya diperhatikan pemerintah, baik pembiayaan dan antisipasi segala kemungkinan yang terjadi di dunia pendidikan. Bahkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, sempat mengingatkan pemerintah. Terkait langkah konkret sebagai opsi mitigasi sekolah daring, agar pemerintah memberikan kuota internet gratis kepada anak-anak yang harus belajar di rumah. Karena jika kesulitan membeli pulsa/kuota data di biarkan berkepanjangan justru akan mengakibatkan menurunnya kualitas SDM anak-anak usia sekolah. Apalagi melihat belum ada tanda-tanda pandemi covid-19 akan berakhir sehingga memungkinkan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara tatap muka di sekolah.

Adanya fakta di atas semakin membuktikan bahwa sistem kapitalis sekuler telah gagal mensejahterakan rakyat. Sistem ini menjadikan negara hanya mengutàmakan para pemodal, tetapi abai terhadap mengurus rakyatnya. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sangat terasa di masa pendemi ini. Padahal Islam sudah memberikan contoh keberhasilan dalam mengatasi pandemi, dengan lockdown total dan social distancing. Tapi tidak dipakai dengan alasan ekonomi. Negara justru menerapkan kebijakan trial and error. Satu-persatu kebijakan pandemi terbukti semakin menambah jumlah kematian akibat Covid-19.

Negara yang seharusnya mampu mengatasi berbagai kemungkinan yang akan muncul akibat pandemi ini. Namun yang terlihat justru ketidaksiapan ketika dampak Covid-19 satu-persatu muncul dan menjadi masalah baru. Terutama di dunia pendidikan. Ketidak siapan konsep pendidikan ini juga berakibat pada peningkatan jumlah pasien Covid-19 dari cluster sekolah, ketika beberapa sekolah mencoba menormalkan sekolah off line seperti biasa.

Alih-alih memenuhi kebutuhan rakyat khususnya di dunia pendidikan, negara justru fokus pada pembangunan infrastruktur. Berbagai proyek infrastruktur digalakkan di berbagai daerah. Salah satunya adalah proyek ibu kota negara. Bahkan negara terus berupaya memberi kemudahan-kemudahan bagi para investor/pengusaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Melalui Undang-Undang Omnibus Law yang rencananya akan disahkan ditengah masa pandemi ini.

Pembelajaran jarak jauh yang menuntut sarana telekomunikasi dan ketersediaan jaringan justru tidak terpenuhi. Negara seolah menutup mata terhadap fakta bahwa masih banyak anak didik ataupun guru yang kesulitan mengakses pembelajaran on line. Baik itu berupa tidak adanya perangkat penunjang untuk daring, seperti handphone maupun komputer. Masalah jaringan juga masih banyak dikeluhkan masyarakat. Akhirnya puluhan juta pelajar terpaksa kehilangan haknya.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat di bidang pendidikan, baik ketika ada kondisi wabah maupun tidak. Daulah khilafah akan menyiapkan sarana prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar, tanpa mengenal wilayah dan status. Warga negara daulah memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Pembebasan biaya pendidikan di seluruh tingkatan, memberikan gaji yang layak untuk para guru dan bea siswa untuk sebagian pelajar. Misalnya saja di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang memberikan gaji guru sebesar 15 Dinar atau setara Rp. 36.000.000 per bulan.

Untuk sarana penunjang proses belajar mengajar khalifah menyediakan lemari-lemari buku atau perpustakaan umum seperti perpustakaan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad, perpustkaan al-Aziz al-Fathimiy di kairo yang menghimpun 1.600.000 jilid buku. Semua fasilitas baik sarana maupun prasarana bisa didapatkan para penuntut ilmu secara cuma-cuma. Wajar jika dalam daulah Islam mampu melahirkan generasi berkualitas, bukan hanya mumpuni dibidang agama namun juga mampu dibidang Sains.

Tidak ada sistem yang separipurna sistem Islam dalam mengelola negara. Baik di bidang pendidikan, ekonomi, social dan budaya. Sudah saatnya kita kembali menerapkan Daulah Khilafah Islam, sebuah sistem yang telah terbukti mampu mensejahterakan umat. Sebagaimana firman Allah yang Artinya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang beriman?” (TQS. Al-Maidah : 50)

Wallahu’alam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *