Benarkah Peningkatan Gaji ASN Menjelang Pemilu untuk Peningkatan Kinerja?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Benarkah Peningkatan Gaji ASN Menjelang Pemilu untuk Peningkatan Kinerja?

Ummu Hamid 

Kontributor Suara Inqilabi

 

Kenaikan gaji PNS kini telah ditetapkan peraturan baru oleh Presiden Joko Widodo, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), TNI, serta Polri yaitu sebesar 8%. Ketentuan itu terdapat di dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS ke dalam Gaji Pokok PNS.

Akan tetapi, beberapa pengamat politik meyakini bahwa hal ini sebagai strategi untuk mendulang suara bagi pasangan capres-cawapres tertentu. Tidak dipungkiri bahwa dari kalangan ASN memiliki potensi untuk menambah angka hingga 4,28 juta suara. Tentu saja hal ini bisa melejitkan selisih suara kemenangan terhadap paslon lainnya. Namun demikian, Kepala Biro Data, Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik KemenpanRB, Mohammad Averrouce, menolak anggapan tersebut. Beliau menilai bahwa kenaikan gaji tersebut diberikan untuk meningkatkan kinerja para ASN. (https://www.bbc.com/indonesia/articles/cy7wvegjydvo )

Sesungguhnya kebijakan menaikkan gaji ASN demi mendulang suara di pemilu adalah cara klasik yang sudah berlangsung sejak Orde Baru. Ketiks itu, birokrasi menjadi mesin yang menjaga keberlangsungan kekuasaan presiden. Tidak beda dengan hari ini bahwa kekuasaan presiden juga sekaligus menjelang akhir masa jabatan kepala negara. Maka sebuah keniscayaan jika penguasa hari ini menjadikan ASN sebagai alat untuk menambah suara Paslon tertentu. Sejumlah ASN menegaskan bahwa kenaikan gaji tidak akan menggoyahkan pilihan politik mereka saat hari pencoblosan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan sangat mungkin bertolak belakang. Bagaimana pun, kalangan ASN milemiliki banyak peluang untuk mudah digerakkan agar memilih salah satu paslon tertentu. Jika dilihat dari kalangan jumlah mereka, perolehan suara dari ASN sudah bisa diprediksi secara gamblang.

Tidak berhenti hanya disitu, kebijakan ini rupanya juga sejalan dengan program bantuan sosian yang sangat masif digelontorkan. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa anggaran bansos naik drastis dari Rp20,5 triliun menjadi Rp493,5 triliun pada 2024 ini. Sangat bombastis bukan? Sejumlah ASN juga menyebutkan bahwa kenaikan gaji sebesar 8% itu tidak terlalu signifikan lantaran selama lima tahun terakhir tidak ada kenaikan sama sekali. Terkait hal ini, Kementerian Dalam Negri mencatat 400 ribu ASN baik PNS dan Pegawai Pemerintah dan Perjanjian Kerja (PPPK) masuk ke dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Untuk diketahui, jumlah tersebut merupakan 10% dari total ASN di seluruh Indonesia yang banyaknya 4,2 juta orang. (https://bisnis.tempo.co/read/1828189/berapa-kali-kenaikan-gaji-pns-selama-masa-pemerintahan-jokowi )

Perihal ASN berstatus gaji rendah ini, Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro mengungkapkan bahwa mereka termasuk ke golongan masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli. Ia juga mencontohkan ASN Golongan II dengan gaji 7 juta, maka dianggap berhak menerima zakat, bahkan juga bansos. Hal lain yang dijadikan indikator bahwa ASN dikategorikan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah juga terkait tempat tinggal. Menurut ketentuan Kementerian PUPR, ukuran tempat tinggal ideal adalah 9m²/per orang. Jika kurang dari itu, berarti ASN tersebut terkategori sebagai masyarakat miskin. Jika melihat dari data BPS, nilai garis kemiskinan (GK) berdasarkan ukuran pengeluaran minimum pada September 2022 meningkat dibandingkan Maret 2022, dari semula Rp 505.469 menjadi sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan. Itu artinya, pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari termasuk kategori miskin atau di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, bahwa warga negara Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp 535.547 per kapita masuk kategori tidak mampu. Bukankah hal ini tidak sinkron?Benarkah kalangan ASN layak disebut masyarakat miskin dengan indikator tersebut? Dan juga halnya dengan kebijakan kenaikan gajinya, bukankah ini jelas-jelas lebih kental dengan unsur politis jelang pesta demokrasi?

Alasan lain disebutkan bahwa kebijakan kenaikan gaji ASN juga disebabkan masih kuatnya budaya patronase, yaitu seseorang yang memberikan sesuatu harus diberi balasan. Budaya ini adalah tindakan balas budi terhadap suatu untuk kepentingan tertentu. Tidaklah heran, budaya patronase nyatanya menjadi salah satu yang tumbuh subur pada praktik korupsi di Tanah Air. Ketika mencermati jumlah rupiah yang terkorupsi dari tahun ke tahun, tampak jelas bahwa angka kasus korupsi di negeri kita bukannya berkurang tetapi justru semakin bertambah parah. Bahkan dari Kalangan ASN sendiri telah dikenal sebagai lingkungan yang paling subur akan praktik korupsi. Mirisnya, jika dilihat dari sisi lain ternyata budaya patronase ini menyebabkan hilangnya sikap kritis masyarakat terhadap perilaku elite yang menyalahgunakan kekuasaan. Sebab, sebagian masyarakat menilai tindakan korup para elite tetap bertujuan baik dan untuk kepentingan mereka sendiri. Sungguh, ini adalah bukti nyata rusaknya cara pandang masyarakat mayoritas hari ini.Bagaimana mungkin korupnya seseorang dianggap bertujuan baik, padahal perbuatan itu adalah pengkhianatan terhadap amanah dari rakyat?

Peningkatan kualitas kinerja ASN seharusnya bisa diukur tanpa harus mengandalkan adanya kenaikan gaji. Akan tetapi sistem kapitalisme yang mempuyai pandangan bahwa kualitas kinerja seorang pegawai justru sangat bergantung pada besaran gaji. Banyak ditemukan seorang pegawai bergaji rendah namun pekerjaannya memiliki tingkat kesulitan tinggi, begitupun sebaliknya . Kondisi ini terjadi karena kapitalisme memposisikan gaji pegawai sebagai bagian dari faktor produksi. Sedangkan kapitalisme sendiri adalah sistem yang fokus pada kegiatan produksi. Kenyataannya konsep ini tidak hanya terjadi pada penggajian pegawai pabrik saja, akan tetapi juga berlaku pada pegawai pemerintah. Kapitalisme memiliki asas manfaat, segala sesuatu yang dianggap mendatangklan banyak manfaat sudah pasti akan diambil meski harus menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, kenaikan gaji pegawai pemerintah juga ditetapkan berdasarkan asas manfaat pula.

Dalam pandangan Islam, ajir (pekerja) adalah setiap orang yang bekerja dengan mendapatkan gaji, baik pihak musta’jir (pengontrak kerja) itu individu, jemaah, atau negara. Dalam hal ini, ASN terkategori ajir bagi negara. Gajinya ajir ini bisa diperoleh ketika dirinya telah mengerahkan tenaganya. Penentuan besaran gaji bagi ajir ada standar yang menentukan nilai tenaga yang akan ditukar. Dengan begitu, sesungguhnya transaksi jual beli berbeda dengan transaksi pengontrakan pekerja, kemudian harga berbeda dengan upah. Hal ini menunjukkan transaksi ijarah tidak dibangun berdasarkan transaksi jual beli, demikian pula sebaliknya. Sebabnya, mendasarkan penentuan salah satu atas selainnya, bisa berdampak pada harga barang/produk menurut upah yang dituntut pekerja. (Politik Ekonomi Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki).

Harga produk semestinya diputuskan oleh musta’jir (pemilik barang/produk yang mempekerjakan pekerja), bukan oleh ajir (pekerja yang dikontrak untuk memproduksi barang). Jika penentuan harga dicampuradukkan dengan penetapan gaji ajir, maka hal ini bisa menyebabkan kesewenang-wenangan oleh seorang musta’jir kepada ajir. Sehingga musta’jir bisa menaikkan maupun menurunkan upah ajir dengan seenaknya atas dalih naik dan turunnya harga produk.

Maka untuk penentuan upah ajir semestinya berdasarkan nilai manfaat (jasa) pada tenaga yang diusahakanny. Karena manfaatlah yang menjadi tempat pertukaran, sedangkan tenaga dicurahkan hanya untuk mendapatkan manfaat. Gaji seorang ajir ditentukan berdasarkan kesepakatan antara ajir dan musta’jir, dengan besaran upah yang disebutkan (ajru al-musamma) sehingga keduanya terikat dengan upah tersebut. Jika keduanya tidak sepakat atas suatu besaran upah, maka besaran upah tersebut ditentukan menurut para ahli (khubara’) di pasar umum/bursa terhadap manfaat kerja tersebut (ajru al-mitsl).

Rasulullah saw. bersabda,“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia mempekerjakan seorang ajir sampai ia memberitahukan upahnya.” (HR An-Nasa’i).

Tidakkah kita semua merindukan sistem Islam yang begitu adil dan memanusiakan manusia?

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *