Anomali dalam Ketahanan dan Kedaulatan Pangan di Negeri Agraris

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Anomali dalam Ketahanan dan Kedaulatan Pangan di Negeri Agraris

 Siti Aisah, S.Pd.

Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang

 

Bak Tikus Mati di lumbung padi, istilah ini menggambar sebuah anomali yang artinya sebuah keanehan yang terjadi atau bisa dikatakan bagai sebuah negara yang kaya akan sumberdaya dan dikenal dengan negara agraris namun sayangnya rakyat dan masyarakatnya tidak bisa menikmati. Pemerintah seringkali hanya berupaya hanya menjadi penyedia berbagai kebutuhan masyarakat. Bagai tim penengah antara produsen dan konsumen. Sehingga saat jumlah penduduk meningkat dan kebutuhan akan pangan bertambah maka solusi yang dilakukan pemerintah adalah membuat ketahanan pangan. Hal ini berarti pemerintah tidak peduli asal bahan pangan untuk konsumsi rakyat negeri ini, apakah itu berasal dari dalam negeri atau kiriman dari negeri lain.

Saat ini Indonesia mengalami kesulitan dalam mencapai swasembada pangan dalam negeri. Ketika melonjaknya penduduk negeri ini, maka kebutuhan akan bahan pangan terutama beras pun meningkat. Sayangnya solusi yang dilakukan oleh pemerintah adalah sesuatu yang bersifat pragmatis dan bukan menyelesaikan permasalahan mendasar tentang kedaulatan pangan dalam negeri. Kedaulatan pangan berarti upaya penyediaan pangan dengan mengusahakan kemampuan maksimal produksi pertanian dalam negeri untuk meminimalkan impor dari negeri lain.

Ironisnya, pemerintah saat ini malah lebih mengupayakan untuk impor beras dari luar negeri. Dilansir dari laman berita tempo.com (13/01/2023) harga beras kualitas premium ini naik Rp 3 ribu dari harga sebelumnya sekitar Rp 12 ribu per kilogram. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, pemerintah telah mengimpor beras 3 juta hingga November 2023. Beras ini berasal dari negeri gajah putih Thailand, Vietnam dan negeri asal pengungsi Rohingya, Myanmar. Melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia tahun ini pemerintah akan berencana mengimpor lagi 3 juta ton. “Tahun ini 2 juta sedang berproses, tapi kita siapkan 3 juta,” kata Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa 9 Januari 2024.

Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antispasif. Padahal dalam pasal 1 angka 15 UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan yang terjangkau dan berkelanjutan. Termasuk menyediakan lahan pertanian. Hal ini sangat ironis saat di tengah banyaknya alih fungsi lahan, lalu berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan lahannya.

Hal ini menjadi semakin anomali, ketika Indonesia yang dikenal dengan negara agraris namun dalam urusan bahan pangan harus mengandalkan impor. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa terdapat faktor tata kelola yang salah. Dalam konteks tata kelola lahan pertanian ini misalnya, bagaimana mungkin luas lahan untuk persawahan tidak banyak mengalami pertambahan selama beberapa dekade (tahun 1985 seluas 7,9 juta hektar, 8,4 juta hektar di tahun 1993, 7,6 juta hektar di tahun 2004, dan tahun 2017 sebanyak 8 juta hektar). Sementara di saat yang sama jumlah penduduk Indonesia bertambah banyak dengan cepat dari 165 juta jiwa di tahun 1985 menjadi 258,7 juta jiwa di tahun 2016.

Perlu dicatat juga dari Fakta di atas adalah, fakta yang terjadi bukan karena bersifat temporal atau sesaat saja, tapi lebih seperti berkelanjutan dan terus menerus hingga melewati beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional. Fakta ini pun sejatinya sudah bisa menjadi bukti bahwa, tidak cukup hanya melakukan pergantian kepemimpinan dalam 5 tahun sekali, melainkan juga harus memikirkan kembali konsep ketahanan, kedaulatan dan kebijakan pangan yang diterapkan. Apakah konsep tersebut masih berhaluan Kapitalisme dan Sosialisme Komunis? Dimana keduanya sudah terbukti merusak kehidupan ekonomi dan sosial, serta gagal memanusiakan manusia.

Kapitalisme yang mengangkat pengusaha dan menjauhkan agama dalam kehidupan prinsip keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Pemerintah pun berlepas diri dari berbagai subsidi masyarakat, khususnya subsidi pupuk yang saat ini sudah mulai dikurangi dan dipersulit. Jika hal ini benar, maka kesejahteraan petani bak punduk merindukanmu bulan, yang tidak mungkin tertangani dengan baik. Dengan demikian sudah sepatutnya segera ganti dengan konsep kebijakan atau aturan dari Islam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu, negara Islam akan mencari berbagai jalan agar terwujud kedaulatan dan ketahanan pangan dalam negeri.

Wallahu’alam bish-shawwab.

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *