Angka Perceraian Tinggi, Islam Punya Solusi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Angka Perceraian Tinggi, Islam Punya Solusi

Nisa Agustina 

(Muslimah Pegiat Literasi)

 

Angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Merujuk laporan statistik Indonesia per Mei 2023, pada tahun 2022, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat 15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Dr Kamaruddin Amin menjelaskan jumlah perceraian ini terbilang fantastis sementara angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta angka nikah setiap tahun. Realitas ini menimbulkan masalah sistemis sehingga perlu ada bimbingan atau konsultasi keluarga di seluruh wilayah Indonesia, baik dari para penghulu maupun penyuluh agama (republika.id, 22/9/2023).

Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar menjelaskan, penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Sementara itu perceraian akibat KDRT hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya makin meningkat dari tahun ke tahun.

Selain itu, sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda dengan penyebab yang berbeda-beda. Perselisihan dan pertengkaran berkelanjutan menjadi penyebab utama perceraian dan faktor-faktor penyebabnya sangat beragam, seperti perselingkuhan, masalah ekonomi dan kecanduan judi online suami. Mirisnya, Kepala Kanwil Kementerian Agama Aceh, Drs Azhari, menambahkan fakta bahwa di daerahnya ada kasus perceraian yang sebabnya bukan karena persoalan ekonomi atau KDRT, melainkan karena si suami adalah seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual (aceh.tribunnews.com, 25/08/2023).

Sungguh, maraknya kasus perceraian di negeri ini telah membuktikan bahwa struktur ketahanan keluarga di negeri ini kian lama kian rapuh. Harapan untuk terwujudnya keluarga yang ideal yakni keluarga yang diliputi suasana yang sakinah mawaddah wa rahmah, dimana suami atau istri bisa saling menyejukkan pandangan mata, dan anak-anak yang saleh-salihah dan berbakti kepada kedua orang tuanya bak ‘rumahku adalah surgaku’, kini semakin susah di temukan pada keluarga-keluarga hari ini, yang ada malah sebaliknya, ‘rumahku adalah nerakaku’. Masing-masing anggota keluarga merasakan susasana yang tidak nyaman ketika berada di tengah-tengah keluarga mereka.

Selain perceraian, masih banyak problem yang menunjukkan bahwa ketahanan keluarga di negeri ini sedang melemah atau kian terancam. Merebaknya kemiskinan dan pengangguran, dekadensi moral termasuk perselingkuhan pasangan menikah, free sex di kalangan remaja yang kian membudaya, pelaku LGBTQi dan kasus-kasus incest yang juga kian mencuat. Semuanya mengindikasikan ada yang salah dengan ketahanan keluarga kita. Ini masih belum tantangan kehidupan serba duniawi yang menyilaukan pandangan akan kehidupan sehingga orientasi hidup menjadi bergeser bahkan kosong dari visi-misi hakiki, yakni visi-misi akhirat.

Kasus perceraian sesungguhnya merupakan masalah sosial yang tidak lepas dari realitas yang terjadi di masyarakat. Artinya, masalah perceraian tidak akan lepas dari nilai maupun prinsip hidup yang ada di tengah masyarakat. Prinsip ini lahir dari satu sistem hidup yang memengaruhi cara pandang masyarakat, termasuk mengenai rumah tangga. Prinsip hidup ini pula yang menciptakan atmosfer yang mendukung langgeng tidaknya sebuah pernikahan.

Menjadi keluarga harmonis, tentram dan penuh dengan kasih sayang menjadi dambaan setiap orang. Namun mewujudkannya dalam sistem kehidupan saat ini tentu tidaklah mudah. Pasalnya sistem kapitalisme dan sekularisme yang diterapkan saat ini menjamin kebebasan berperilaku (liberal) termasuk dalam relasi antar anggota keluarga. Di sisi lain, sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat pemahaman masyarakat lemah terhadap ajaran Islam kaffah. Ajaran Islam terlanjur dipahami sebatas ritual saja hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat maupun negara.

Dengan minimnya pemahaman Islam kaffah, ujian ekonomi malah membuka masalah baru seperti terjebak pinjaman online dan perjudian. Ujian ketidakcocokan dengan pasangan malah membuka perselingkuhan yang tak sedikit menimbulkan depresi dan disorientasi hidup hingga mereka mudah menyerah pada keadaan bahkan terjerumus dalam kemaksiatan. Masyarakat pun kehilangan fungsi kontrol karena adanya individualisme yang mengikis budaya amar makruf nahi munkar.

Penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang berorientasi pada materi juga telah memunculkan berbagai krisis multidimensi yang mengganggu pola relasi antar anggota keluarga dan masyarakat dan ujung-ujungnya menggoyahkan bangunan keluarga hingga rentan perpecahan, diantaranya kemiskinan, pengangguran, mahalnya layanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Karena asas manfaat yang menjadi ruh sistem ini telah menyebabkan sebagian besar kekayaan hanya bisa diakses dan dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat bermodal (kapitalis) saja. Dalam kondisi ini, negara tidak mampu menjadi pengurus dan penjaga umat. Alhasil tak sedikit keluarga yang mengalami disharmoni bahkan disfungsi akut akibat sistem kehidupan kapitalisme sekulerisme hingga keluarga tak bisa lagi diharapkan menjadi benteng perlindungan dan tempat kembali yang paling diidamkan.

Kondisi tersebut tak boleh dibiarkan berlama-lama. Masyarakat harus segera bangkit dari keterpurukan dengan jalan kembali kepada Islam kaffah. Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan telah memberikan solusi tuntas terhadap seluruh permasalahan yang menimpa umat manusia dengan terperinci, tegas, tuntas dan jelas termasuk masalah perceraian yang menerpa keluarga. Sebab aturan Allah SWT dan Rasul-Nya memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia dan tidak akan pernah berubah sampai akhir zaman. Hanya saja, aturan atau hukum Islam tidak dapat tegak kecuali jika tiga pilar tegaknya hukum Islam diterapkan.

Pertama, pembinaan individu yang mengarah kepada pembinaan keluarga. Ketakwaan akan menjadi penentu lahirnya individu-individu muslim yang hanya patuh pada Allah SWT. Mereka ikhlas dengan Islam yang diyakininya dan hanya mau diatur oleh Allah SWT. Sehingga suami maupun istri akan senantiasa menjaga kehormatan, menundukkan pandangan, menjaga batasan pergaulan serta suami memahami kewajibannya mencari nafkah untuk keluarganya dan bergaul dengan cara yang makruf. Sedangkan istri memahami kewajibannya, taat kepada suaminya dan berdedikasi menjalankan tugasnya sebagai ummun wa rabbatul bait.

Kedua, kontrol masyarakat. Islam juga sangat memperhatikan pentingnya hidup bermasyarakat dan menjaga masyarakat dengan amar makruf nahi munkar. Amar makruf yang dilakukan secara menyeluruh dan nahi munkar yang terkondisikan baik di keluarga dan lingkungan masyarakat akan membuat mereka saling bahu membahu dalam mengontrol dan menasihati masyarakat lainnya.

Ketiga, adanya suatu sistem yang terpadu yang dilaksanakan oleh sebuah negara sebagai pelaksana dari aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Islam memberi tugas pada negara untuk menyiapkan berbagai perangkat untuk mewujudkan ketahanan keluarga melalui penerapan Islam kaffah.

Negara menciptakan suasana masyarakat tempat generasi menimba pengalaman hidup dan menempa mentalnya. Negara menyediakan pendidikan formal dengan kurikulum yang bertujuan melahirkan calon orang tua salih-mushlih dan siap membina rumah tangga. Negara melaksanakan sistem pendidikan berdasarkan paradigma yang lurus berbasis akidah yang bertujuan melahirkan generasi berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin, mampu mengemban taklif (beban hukum syara’) sekaligus mumpuni dalam ilmu dan teknologi.

Tentu ini akan memudahkan tugas perempuan sebagai ibu pendidik generasi (madrasatul uula) bagi anak. Kaum Ibu tidak akan khawatir dengan kesalihan anak yang sudah terbentuk dari rumah, karena terjaga di lingkungan masyarakat dan terlindungi dengan penerapan aturan yang ada. Negara menebar nilai-nilai kebaikan melalui sistem media massa yang bermanfaat, menguatkan aqidah masyarakat, mencerdaskan dan juga mencegah munculnya informasi negatif di media massa yang kontra produktif dengan akidah dan akhlak.

Negara juga mengedukasi pembentukan keluarga yang tangguh, menjaga pergaulan di tengah masyarakat yang sehat dan produktif, dan menerapkan syariat Islam di seluruh aspek baik ideologi, politik, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, ketahanan dan keamanan. Periayahan negara yang bertanggung jawab penuh sesuai syariat Islam Kaffah ini secara efektif akan melahirkan keluarga yang kuat, masyarakat mulia dan umat terbaik.

Wallahu a’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *