Angka Perceraian Mengapa Terus Meningkat?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Angka Perceraian Mengapa Terus Meningkat?

Khodijah Ummu Hannan (aktivis muslimah)

Kontributor Suara Inqilabi

 

Setiap pernikahan pasti mendambakan rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Namun saat ini sangat miris dimana angka perceraian terus meningkat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, akan terjadi 516.344 perceraian di Indonesia pada tahun 2022. Laporan tersebut mencatat akan terjadi 448.126 perceraian di Indonesia berdasarkan beberapa faktor penyebab pada tahun 2022.( databoks.katadata.2/3/23).

Di tahun ini juga angka perceraian masih tinggi seperti diungkapkan Prof Dr Kamaruddin Amin yang menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, “Angka perceraian di Indonesia semakin meningkat hingga mencapai 516.000 kasus per tahun. Sementara jumlah pernikahan menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta pernikahan setiap tahunnya”. Ujarnya dalam acara Rakornas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 2023, di Jakarta, Kamis (21/9/2023). ( Republika.id 22/9/2023).

Penyebab Perceraian 

Maraknya perceraian menunjukkan rapuhnya kontruksi bangunan keluarga. Ada berbagai motif pemicu melatarbelakangi tingginya perceraian. Perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab utama kasus perceraian di Tanah Air dalam satu tahun terakhir. Jumlah tersebut mencapai 284.169 kasus atau setara dengan 63,41% dari total jumlah kasus perceraian secara nasional.

Penyebab perceraian terbanyak kedua adalah faktor ekonomi yaitu sebanyak 110.939 kasus (24,75%). Berikutnya adalah faktor pelarian sepihak sebanyak 39.359 kasus (8,78%), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 4.972 kasus (1,1%), dan mabuk-mabukan sebanyak 1.781 kasus (0,39%). Setelah itu, perceraian karena murtad sebanyak 1.635 kasus (0,36%), hukuman penjara sebanyak 1.447 kasus (0,36%), karena perjudian sebanyak 1.191 kasus (0,26%), karena poligami sebanyak 874 kasus (0,19%), dan lain-lain. adalah 690 kasus. (0,15%) perzinahan. Kemudian, perceraian di Indonesia juga disebabkan oleh kekejaman sebanyak 383 kasus (0,08%), pernikahan paksa sebanyak 377 kasus (0,08%), dan cacat fisik sebanyak 309 kasus (0,06%), (databoks.katadata.2/3/23).

Juga telah ditemukan motif lain pemicu perceraian, seperti disampaikan Kepala Kanwil Kementerian Agama atau Kakanwil Kemenag Aceh, Drs Azhari. Yakni ditemukannya pasutri bercerai ketika telah diketahui bahwa pasangan telah menjadi sesuka jenis baik itu homo ataupun lesbi tentu hal tersebut sangat memilukan dan memalukan.(serambinews.com 22/8/23).

Upaya Pencegahan 

Tingginya angka perceraian tentu saja menarik perhatian dari berbagai kalangan. Berbagai langkah dan upaya dilakukan untuk terus menekan angka perceraian tersebut. Kemenag sendiri memiliki program untuk menciptakan keluarga SaMaWa sehingga perceraian bisa dihindari, program tersebut adalah Bimwincatin (Bimbingan Perkawinan Pra Nikah bagi Calon Pengantin), program tersebut ditujukan untuk memberikan edukasi bagi mereka yang akan menikah. Sayangnya upaya tersebut belum banyak membuahkan hasil yang signifikan.

Dampak Perceraian 

Pasca perceraian akan meninggalkan dampak bagi semua anggota keluarga baik pasangan bercerai, keluarga besar dan dampak terbesar akan diterima oleh anak.

Dampak dari perceraian orang tua mereka anak pun akhirnya tidak lagi mendapatkan hak-nya, yakni hak jaminan kesehatan, pendidikan dan pengasuhan yang layak, antara lain, tertuang dalam putusan pengadilan terkait dengan nafkah anak maupun mantan istri.

Perasaan marah,kecewa, stress, sedih, trauma akan berdampak bagi pasangan bercerai. Hal serupa juga dialami anak korban perceraian dan tidak sedikit anak menjadi broken home sehingga berdampak pada penurunan prestasi, bahkan mirisnya mereka mencari pelarian kepada narkoba, freeseks karena merasa tidak mendapatkan kebahagiaan di dalam rumah. Sehingga kerusakan generasi tak bisa dielakkan lagi.

Akar Masalah 

Berbagai motif diatas yang melatarbelakangi perceraian, baru sebagai faktor pemicu saja. Namun hal utamanya adalah efek domino dari gagalnya penerapan sistem kapitalisme dalam ranah kehidupan sehingga visi keluarga saat ini hanya berorientasi kepada duniawi. Akhirnya ketika sedikit saja terpaan masalah menimpa mahligai RT, maka dengan entengnya perceraian menjadi solusi. Negara juga tidak mampu memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kepada anak-anak korban perceraian sehingga selain tidak mendapatkan hak asuh juga bisa mengantarkan kepada kemiskinan dan anak pun menjadi sasaran kejahatan.

Membangun Keluarga Bervisi Surga

Pernikahan dalam Islam adalah aktivitas menyatukan dua insan laki-laki dan perempuan dalam ikatan Agung (mitsaqan ghalidza), bisa dilihat dalam QS An-Nisa:21, perjanjian Agung ini disetarakan antara Allah dan Rasul Ulul Azmi: Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (lihat QS. Al-Ahzab:7) dan mitsaqan ghalidza antara Allah dengan bani Israil, jika di dalam Al-Quran disebutkan bahwa dalam membuat perjanjian ini, Allah pun meninggikan gunung Thursina di atas kepala bani Israil (lihat QS Al-Nisa: 154).

Maka dari hal itu pernikahan tidak boleh menjadi permainan dan siapa saja yang sudah terikat tali pernikahan tidak bisa seenaknya cerai. Sebuah kontruksi keluaga muslim harus memiliki visi dan misi dalam mengarungi bahtera rumah tangga, yakni untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah mawaddah warahmah untuk meraih keberkahan dan kerhidoan Allah Swt di dunia dan akhirat.

Menjadikan pernikahan sebagai jalan untuk menyempurnakan keimanan, seperti sabda Rasul Saw, “Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh sebab itu, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Perceraian / talak adalah melepaskan ikatan pernikahan,yakni melepaskan simpul pernikahan dalam Islam adalah sesuatu hal yang diperbolehkan / halal namun perbuatan tersebut dibenci Allah, senada dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daun dan Ibnu Majah, ” Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah talak (cerai)”.

Dalam Islam seseorang ketika akan memasuki pintu menikah harus faham bahwa pernikahan adalah bagian dari syariat Islam, memahami hak dan kewajiban sehingga alasan menikah adalah dorongan ketakwaan kepada Allah Swt tidak semena-mena hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja. Berbagai ilmu tentang pernikahan dan rumah tangga terus dicari supaya ketika masalah menerpa mereka punya bekal ilmu.

Islam juga mengharuskan memahami relasi antara suami dan istri, di mana suami adalah qowam bagi istri dan anak-anaknya, Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lainnya (perempuan). (QS An-Nisa : 34).

Lalu ada hadis Abdullah bin Umar Rasulullah saw. bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan bertanggung jawab, seorang Imam adalah pemimpin dan dia akan diminta bertanggung jawab, laki-laki adalah kepala keluarga dan dia harus memikul tanggung jawab, perempuan adalah pemimpin dalam kehidupan.” dari suaminya. rumah dan dia, mereka akan diminta bertanggung jawab nanti.

Pada saat yang sama, negara memainkan peran penting dalam mempersiapkan warganya untuk menikah. Jika ketakutan saat ini adalah kurangnya pengetahuan, maka di bawah sistem Islam negara akan aktif melakukan pendidikan pernikahan. Hal ini tentunya mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan aspek keluarga, seperti menjalin hubungan suami istri, cara membesarkan anak, menerapkan pola makan keluarga, perekonomian rumah tangga keluarga, dan lain-lain.

Islam sangat memahami bahwa rumah tangga memegang peranan penting dalam menjamin keberlangsungan peradaban. Sesungguhnya setiap keluarga memikul tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, bahkan peradaban umat manusia.

Ketika pasangan memahami hak dan kewajiban dan dengan dukungan sistem Islam maka akan tercipta keluarga tentram dan bahagia lahir batin yang melahirkan generasi qurani taat pada Sang Illahi Rabbi. Keluarga seperti ini lahir dari sistem Islam,untuk itu mari kita campakkan sistem kapitalisme yang telah gagal mewujudkan keluarga bahagia.

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *