Antara Politik dan Agama

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Antara Politik dan Agama

Agung Andayani

Kontributor Suara Inqilabi

 

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tanggal 3 September 2023 menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat. Beliau menghimbau agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat. Dan juga tidak memilih calon pemimpin yang tidak menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. (news.republika.co.id, 04/09/2023).

Pernyataan menteri agama ini menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi terkait pernyataan Menag, beliau mewanti-wanti agar para tokoh politik tidak menciptakan konfrontasi antara nilai keagamaan dan nasionalisme pada Pemilu 2024. Juga berharap Pemilu 2024 tidak lagi memunculkan dikotomi dengan menciptakan posisi diametral atau pemisah antara agama dan nasionalisme. (news.republika.co.id, 08/09/2023).

Begitu juga dengan Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengingatkan agar berhati-hati dalam memberikan pernyataannya berkaitan terhadap politik menuju Pemilihan Presiden 2024. “Para pejabat termasuk para menteri tidak perlu membuat pernyataan yang tidak perlu. Karena masyarakat sudah paham sudah tahu bahwa politik identitas harus ditinggalkan, politik SARA juga harus dihilangkan, adu domba juga harus dienyahkan, itu publik masyarakat sudah tahu itu”. (news.republika.co.id, 05/09/2023).

Sangat disayangkan pernyatan Menag, seakan-akan agama itu suatu momok yang menakutkan. Agama juga dituduh sebagai alat politik. Pemikiran umat seolah-olah digiring agar agama tidak boleh masuk kepemerintahan. Faktanya mereka para calon pemimpin menggunakan agama sebagai alat untuk meraih suara sebanyak mungkin. Menjelang pemilu Meraka berubah menjadi lebih agamis. Menggunakan surban, menggunakan jilbab kerudung, berkunjung ke para ulama, kiyai dan pondok pesantren. Setelah kaum muslim memilih mereka, suara umat muslim diabaikan.

Pandangan seperti itu menunjukkan indikasi bahwa negara ini adalah sekuler. Dimana agama dipisahkan dari kehidupan baik dikehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Agama tidak boleh mencampuri penguasa dan agama hanya dibolehkan berada di tempat-tempat ibadah saja.

Padahal dalam pandangan islam, politik dari sudut lughah (bahasa) yaitu siyasah (politik) berasal dari kata sasa, yasusu, siyasatan yang berarti mengurus/ pemeliharaan/pengurusan kepentingan umat. Dan politik tidak dapat dipisahkan dari agama. Karena politik tanpa agama akan hancur sedangkan agama tanpa politik akan hilang. Maka agama haruslah menjadi landasan dalam menentukan arah politik negara.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *