HARGA BERAS NAIK, DAMPAK TATA KELOLA YANG TIDAK BAIK

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

HARGA BERAS NAIK, DAMPAK TATA KELOLA YANG TIDAK BAIK

Oleh Endah Yuli Wulandari

 (Kelompok Penulis Peduli Umat)

Indonesia terancam mengalami krisis beras. Hal ini sebagai imbas dari langkah eksportir nomor satu komoditas pangan yakni India, yang melarang ekspor beras non Basmati ke luar negeri. Di sisi lain, kondisi El Nino yang diperkirakan datang pada Agustus hingga September mendatang memperparah kekhawatiran yang ada. Harganya diramal bakal terus menanjak ke depan seiring dengan lemahnya produksi dan negara-negara penghasil beras yang memilih untuk mengamankan pasokan dalam negaranya sendiri. Indeks Harga Beras Organisasi Pangan dan Pertanian untuk Juli naik 2,8% menjadi 129,7 poin. Angka tersebut naik 19,7% dibandingkan tahun lalu, dan nilai nominal tertinggi sejak September 2011. (CNBC Indonesia, 13/08/2023)

Daftar harga beras per Jumat (25/8/2023) di Jakarta mengalami kenaikan pada beberapa komoditas. Komoditas beras yang mengalami kenaikan adalah Beras IR 42 naik Rp 5.732 menjadi Rp 19.950 per kg.(Kompas.com, 25/08/2023)

Setidaknya ada empat hal yang diperkirakan menyebabkan terjadinya lonjakan harga beras saat ini. Mulai dari siklus panen, dampak fenomena El Nino, ekspektasi penurunan produksi beras hingga pembatasan kebijakan export seperti yang dilakukan oleh India. Meski faktor-faktor tersebut tidak berdampak langsung kepada Indonesia namun faktanya mampu memicu sentimen yang memepengaruhi pasar dalam negeri.

Badan Pangan PBB ( FAO ) sebelumnya menyampaikan, harga beras naik dan mencapai lever tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Kondisi ini diprediksi akan memicu lonjakan inflasi pangan di Asia. Harga beras yang makin mahal menyebabkan Masyarakat semakin sulit menjangkaunya.

Naiknya harga beras yang melambung tinggi saat ini menunjukkan adanya kesalahan dalam tata kelola kebijakan pertanian kita. Apalagi jika yang menjadi alasan adalah adanya siklus panen dan fenomena El Nino. Kaena hal tersebut sebenarnya bisa diprediksi dan diantisipasi oleh para ahli dan teknologi yang memadai. Di sisi lain harga beras yang sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi global juga menunjukkan belum terwujudnya kemandirian dan kedaulatan pangan di negeri kita. Padahal Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang melimpah dan aneka ragam komoditas pangan, tanah subur yang membentang luas, juga para pakar pertanian yang banyak. Namun ternyata hal ini tak mampu memandirikan Indonesia dalam pemenuhan pangan rakyatnya termasuk beras.

Akar persoalan ini sejatinya adalah tidak lepas dilepaskan dari paradigma sistem pertanian yang saat ini diterapkan di negeri ini yang mengadopsi konsep kapitalis neoliberal yang menjadikan pangan sebagai komoditas ekonomi. Sehingga pengadaan pangan diukur dari sisi untung rugi semata. Ketika menghadapi kurangnya stok pangan, maka jalan pintas yang diambil negara adalah melakukan import.

Padahal sebenarnya kemandirian pangan adalah wujud dari kemandirian dan kedaulatan sebuah negara yang harus dijaga dan dipertahankan. Dalam sistem kapitalis liberal negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Negara enggan hadir dalam penguasaan dan rantai pangan. Negara justru menyerahkan urusan ini kepada para korporasi besar. Dari sinilah gurita korporasi dalam sektor pertanian semakin membesar. Mulai dari penguasaan lahan, penguasaan sarana prasarana produksi pertanian seperti pengadaan benih, pupuk dsb dan berdampak pada sulitnya para petani untuk mengakses berbagai sarana produksi dengan mudah dan murah.

Dari aspek distribusi, kealpaan negara telah berakibat pada semakin merajalelanya para mafia pangan. Mulai dari penimbunan, spekulan dan para kartel pangan. Berbagai ketimpangan inilah yang menyebabkan para petani semakin tergusur dan Masyarakat sebagai konsumen semakin sulit mendapatkan pangan dengan harga terjangkau dan berkualitas.

Solusi tuntas dari persoalan kenaikan beras ini tak lain adalah dengan mengganti paradigma tata kelola pertanian dengan paradigma dan system yang shahih, yakni islam. Dalam paradigma islam negara atau pemerintah adalah Raa’in atau pengurus rakyatnya. Dia wajib bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya dalam segala aspek kehidupan, termasuk pertanian.

Negara dalam konsep islam adalah sebuah negara yang mandiri dan berdaulat secara penuh dan tidak bergantung pada pihak dan negara manapun. Termasuk dalam urusan pangan. Langkah optimalisasi negara islam dalam kebijakan pertanian diantaranya adalah kebijakan sektor hulu, yakni dengan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi ditempuh dengan penggunaan jalan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Seperti bibit unggul, pupuk dll untuk meningkatkan produktivitas pertanian.Negara akan mengambil kebijakan pemberian subsidi untuk sarana produksi pertanian.

Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Negara akan mengambil kebijakan dalam rangka terciptanya perluasan lahan pertanian. Contohnya adalah dengan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dari menghidupkan lahan mati (ihyaul mawat). Selain itu negara juga akan memberikan tanah pertanian (iqtha”) yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.

Dengan konsep dan penerapan islam secara kaffah, kemandirian dan kedaulatan pangan bukanlah hal utopis yang mampu untuk diwujudkan.

Wallau’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *