Wakil Nabi dan Krisis Akidah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Wakil Nabi dan Krisis Akidah

 

Wiwik Afrah

(Aktivis Muslimah)

 

Pelaku Penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), selasa (2/5/2023) jadi sorotan publik. Pelaku penembakan, Mustopa NR (60 tahun) disebut pernah mengumpulkan penduduk desa kedondong, kabupaten pasawaran, dalam rangka mendeklarasikan diri sebagai wakil nabi. Peristiwa itu dilakukan di sebuah desa di Lampung pada tahun 1997 silam, usai dirinya bermimpi bertemu Nabi Muhammad Saw.

Dalam deklarasi tersebut, Mustopa meminta penduduk mengakui bahwa dirinya adalah “wakil nabi”. Setidaknya ada sekitar 20 orang yang diundang untuk meyakini isi deklarasi Mustopa. Mereka terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan ustadz. Memang, ketika Mustopa menyampaikan bahwa dirinya adalah “wakil nabi”, para peserta tidak menanggapinya dan selanjutnya mereka langsung bubar.

Namun upaya Mustopa untuk mendapatkan pengakuan dari umat Islam ternyata tidak berhenti. Ia bahkan beberapa kali mengirim surat pengakuan sebagai “wakil nabi” kepada MUI, Deklarasi yang Mustopa sampaikan, jelas menunjukkan adanya fenomena krisis akidah.

Mimpi bertemu Rasulullah Saw, memang mungkin saja terjadi pada orang-orang saleh. Namun, jika mimpi tersebut kemudian menjadi dalih bahwa seseorang dapat menjadi “wakil nabi”, ini tentu saja bertentangan dengan akidah Islam. Di samping itu, tidak ada satu pun indikasi dalam Al-Qur’an maupun Sunah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw, memiliki wakil pada akhir zaman ini dalam rangka membantu peran beliau sebagai Nabi dan Rasul.

Krisis akidah ini sekaligus upaya desakralisasi Islam berpeluang terjadi. Munculnya orang-orang serupa mengaku “wakil nabi” bukanlah yang pertama terjadi. Suasana ini sudah sering terjadi di kehidupan sekuler meniscayakan tumbuh suburnya cara berpikir serba bebas (liberal). Pemikiran liberal ini bahkan akan selalu mendapatkan ruang kendati pemikiran tersebut akan merusak umat.

Dalam sekuler kondisi ini jelas membuat upaya pembelaan terhadap Islam juga mengalami krisis. Padahal, Islam wajib dibela dan keyakinan untuk membela Islam ini mampu menumbuhkan konsekuensi akan adanya penjagaan akidah Islam secara sistemis.

Islam Sangat Menjaga Akidah dan Aturan Mulia

Dalam Islam ulama yang menjadi pewaris para Nabi, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR At-Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Hadis tersebut menegaskan bahwa para ulama adalah orang-orang pilihan Allah. Allah menitipkan pewarisan ajaran Islam melalui lisan, jiwa, dan amal mereka. Dalam sebuah ayat, sebagimana Allah Taala berfirman : “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS Fathir [35]: 32).

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menguraikan bahwa melalui ayat tersebut Allah hendak memberikan penjelasan bahwa Allah akan menjadikan orang-orang yang menegakkan dan mengamalkan Al-Qur’an yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab terdahulu. Mereka adalah orang-orang pilihan di antara hamba-hamba-Nya, yakni para ulama.

Desakralisasi Islam

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Dua pembantu (wazir)ku dari langit adalah Jibril dan Mikail dan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar.” (HR Al-Hakim dan Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri ra.). Namun, tentu saja ini bukan dalam hal kenabian dan kerasulan, melainkan dalam urusan dakwah.

Dalam sebuah ayat Allah Taala berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]: 40).

Juga dalam ayat, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (QS Ali Imran [3]: 144).

Kedua ayat ini menegaskan bahwa selain Rasulullah saw. tidak memiliki wakil dalam rangka peran beliau sebagai Nabi dan Rasul, setelah beliau juga tidak ada nabi lagi. Oleh karena itu, adanya pengakuan dari seseorang bahwa dirinya “wakil nabi”, tentu saja mengabaikan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, ini sama halnya dengan upaya desakralisasi Islam atau peremehan dan pengabaian ajaran Islam.

Ini bukan lagi ranah perdebatan karena Islam adalah aturan yang mulia, tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam.

Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR Baihaqi).

Hal ini makin tegas dengan adanya firman Allah Taala dalam ayat,

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110).

Hendaklah kita mengingat dan merenungi nasihat Abu Bakar ra. Ketika Rasulullah saw. wafat, “Ketahuilah, barang siapa yang menyembah Muhammad Saw, maka Muhammad sekarang sudah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak wafat, dan beliau lanjutkan ‘Sesungguhnya engkau akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati pula’ dan membaca ayat ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?

“Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah SWT sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’. Beliau (Abu Bakar) kemudian berkata, ‘Maka mulai terdengar isak tangis para sahabat yang lain…” (HR Bukhari).

Inilah peran strategis yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. selaku Khalifah pengganti Rasulullah Saw.. Masa pemerintahan beliau yang singkat, sangat urgen dalam menjaga kelurusan akidah kaum muslim setelah Rasulullah saw. wafat, termasuk ketika beliau menurunkan pasukan dalam Perang Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab (laknatullah) yang mengaku sebagai nabi serta berusaha memberontak kepada Daulah Islam dengan angkatan bersenjatanya.

Allah Taala berfirman dalam QS Al-Ahzab [33] ayat 48,

“Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan tawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.”

Wallahu’alam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *