Soal:
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barkatuhu.
Kami mendiskusikan metode kita untuk menegakkan kembali Khilafah dengan seorang ikhwah. Saya dijawab oleh ikhwah itu bahwa melakukan aktivitas politik tanpa kekerasan dan mencari nushrah di Mekah telah dibatalkan oleh ayat al-Quran, yaitu:
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا[ [النساء: ٧٧]
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (TQS an-Nisa’ [4]: 77).
Di dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan jihad yang menasakh hukum sebelumnya (menahan tangan dari berperang). Jadi jawaban seperti apa yang akan bisa saya berikan kepada ikhwah itu. Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.
Saudaramu Asif Sulaiman
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, tampaknya orang yang Anda tanyakan memiliki kerancuan dalam tema an-naskhu. Karenanya dia beranggapan bahwa kewajiban jihad di Madinah menasakh tidak adanya izin kepada Rasul saw untuk berjihad di Mekah. Hakikat perkaranya bahwa itu bukan naskhu. Hal itu karena naskhu itu terjadi ketika dinyatakan seruan bersifat umum dari asy-Syâri’ yang membebani kita dengan suatu amal, kemudian setelah itu datang seruan yang bersifat umum dari asy-Syâri’ yang melarang kelanjutan apa yang ditetapkan dari hukum seruan syar’iy yang bersifat umum sebelumnya, dan terjadi kontradiksi dari semua sisi tanpa ada kemungkinan untuk menghimpun atau mengkompromikan di antara kedua seruan tersebut. Jadi situasi seruan yang awal atau keadaan yang diatasi oleh seruan awal, tidak berbeda dari situasi dan keadaan seruan yang datang berikutnya. Jika tidak demikian, maka masing-masing seruan itu bersifat khusus dengan situasi dan keadaannya… Untuk menjelaskan hal itu saya sebutkan beberapa contoh:
1. Contoh naskhu.
- Nasakh wajibnya menghadap ke Baitul Maqdis menjadi wajib menghadap ke Ka’bah.
﴿قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (TQS al-Baqarah [2]: 144).
Jadi situasi dan keadaan menghadap ke arah kiblat pertama dan ke arah kiblat kedua adalah sama bagi orang yang shalat…
- Nasakh larangan berziarah kubur dan kebolehannya.
«كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلا فَزُورُوهَا»
“Dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian”.
Demikian juga situasi dan keadaan berziarah kubur dan tidak berziarah kubur adalah sama…
Kedua contoh itu, di dalamnya terjadi nasakh. Sebab itu merupakan seruan bersifat umum yang diarahkan kepada kaum Muslim dan situasi seruan yang awal dan yang berikutnya adalah sama. Kontradiksi di antara keduanya terjadi dari semua sisi. Artinya tidak mungkin menghimpun (mengkompromikan) di antara keduanya. Dan dengan begitu, seruan yang datang belakangan menjadi yang menasakh untuk seruan awal (sebelumnya).
2. Contoh tidak adanya nasakh:
– Berpuasa wajib bagi orang yang mampu:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu” (TQS al-Baqarah [2]: 183-184).
– Untuk orang yang sedang sakit atau bepergian maka boleh baginya untuk berbuka (tidak berpuasa).
﴿فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ…﴾
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin...” (TQS al-Baqarah [2]: 184).
Di sini tidak dikatakan bahwa ayat kedua menasakh ayat pertama. Melainkan dikatakan, setiap hukum berlaku terhadap situasi dan kondisinya. Berpuasa adalah kewajiban bagi orang yang sehat tubuhnya dan sedang mukim (tidak bepergian). Tetapi, berbuka boleh bagi orang yang sakit atau sedang bepergian. Atau dikatakan, seruan ayat pertama bersifat umum untuk seluruh kaum Muslim sedangkan seruan ayat kedua bersifat khusus untuk orang yang sakit atau musafir…
Kedua, berkaitan dengan ayat yang mulia yang menjadi topik pertanyaan, di dalamnya tidak ada nasakh. Situasi kaum Muslim di Mekah bahwa mereka itu lemah (mustadh’afîn)… Mereka disiksa dan hidup di bawah kekuasaan kaum kafir. Maka dikarenakan hikmah yang diketahui oleh Allah SWT, tidak diwajibkan atas mereka jihad… Oleh karena itu, Rasul saw tidak mengizinkan kepada sekelompok orang dari kaum Muslim untuk berperang ketika mereka ingin segera melakukannya di Mekah… Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dan dia berkata, “hadits shahih menurut syarat al-Bukhari, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra, bahwa Abdurrahman bin ‘Awf dan dua temannya, datang kepda Nabi saw, mereka berkata: “wahai Nabiyullah, kami dahulu berada dalam kemuliaan padahal kami musyrik, ketika kami beriman lalu kami jadi rendah. Maka Nabi saw bersabda:
«إِنِّي أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ فَلا تُقَاتِلُوا الْقَوْمَ»
“Aku diperintahkan dengan pemaafan, maka jangan kalian memerangi kaum itu”.
Ketika beralih ke Madinah, beliau diperintahkan berperang lalu mereka menahan diri, maka Allah SWT menurunkan ayat:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا[ [النساء: ٧٧]
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (TQS an-Nisa’ [4]: 77).
Mafhum ayat tersebut, bahwa kita tidak melakukan perbuatan mereka, yakni kita tidak menyegerakan diwajibkannya suatu perkara yang jika diwajibkan lantas kita berlambat-lambat (menunda-nunda) dalam mengimplementasikannya sehingga kita termasuk orang-orang yang tercela…
Begitulah, karena situasinya berbeda maka kami katakan tidak ada nasakh. Melainkan, hukum Mekah adalah kondisi khusus Allah belum mewajibkan di dalamnya memerangi kaum kafir pada hari itu dikarenakan hikmah yang diketahui oleh Zat yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana… Adapun di Madinah, maka Allah mewajibkan di situ jihad. Dan sejak hari itu, jihad terus berlangsung sampai hari kiamat. Dalil-dalil hal itu:
– Imam al-Bukhari membuat bab tersendiri di Shahîhnya :bâb al-jihâdu mâdhin ma’a al-birri wa al-fâjiri liqawli an-nabiy saw al-khaylu ma’qûdun fî nawâshîhâ alkhayru ilâ yawmi al-qiyâmah”.
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya, ia berkata: “telah menceritakan hadits kepada kami Abu Nu’aim, telah menceritakan hadits kepada kami Zakariya dari Amir, telah menceritakan hadits kepada kami ‘Urwah al-Bariqi bahwa Nabi saw bersabda:
«الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ الْأَجْرُ وَالْمَغْنَمُ»
“Kuda diikat di jambulnya (yakni jihad) merupakan kebaikan sampai Hari Kiamat, yaitu pahala dan ghanimah”.
Juga dikeluarkan oleh imam Muslim.
Kata al-khaylu ma’qûdun fî nawâshiyha adalah kiasan dari jihad.
– Imam al-Baihaqi telah mengeluarkan di Sunan al-Kubrâ dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«ثَلاثٌ مِنْ أَصْلِ الإِيمَانِ، الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، لا يُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ، وَلا يُخْرِجُهُ مِنَ الإِسْلامِ بِعَمَلٍ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلا عَدْلُ عَادِلٍ، وَالإِيمَانُ بِالأَقْدَارِ»
“Tiga perkara yang termasuk pokok iman: 1. menahan tangan dari orang yang berkata lâ ilaha illâ Allâh, dia tidak bisa dikafirman karena dosa, dan tidak dikeluarkan dari Islam dengan amal; 2. dan jihad terus berlangsung sejak Allah mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi dajjal, jihad itu tidak dibatalkan oleh kejahatan orang (pemimpin) yang jahat dan keadilan orang (pemimpin) yang adil; 3. dan iman kepada qadar”.
Begitulah, jihad terus berlangsung sampai Hari Kiamat, tidak dinasakh dan tidak dibatalkan. Semua penguasa muslim baik khalifah atau bukan khalifah, jika dia mengumumkan jihad melawan kaum kafir maka harus berjihad bersamanya melawan kaum kafir, dan para mujahid di beri pahala di sisi Allah SWT sesuai niyat mereka…
Ketiga, tampak bahwa orang yang bertanya kepada Anda atau berdiskusi dengan Anda tentang ayat tersebut, dia ingin mengatakan kepada Anda: kenapa Hizbut Tahrir tidak menggunakan jihad dalam perjuangan untuk menegakkan al-Khilafah, perlu diketahui bahwa tidak ada berperang di Mekah telah dinasakh di Madinah?” Seakan telah rancu padanya masalah jihad dan amal untuk menegakkan al-Khilafah, lalu dia menganggapnya sebagai satu masalah. Ini adalah anggapan yang keliru. Kami telah menjawab pada 22/9/2013 atas pertanyaan yang sampai kepada kami seputar topik ini. Dan saya kutipkan apa yang ada di dalam Jawaban itu, di dalamnya ada tambahan penjelasan untuk orang yang berdiskusi dengan Anda dalam masalah tersebut, mudah-mudahan dia mendapat petunjuk kepada perkara yang lebih lurus dengan izin Allah:
Jawab:
Dalam pertanyaan ini ada sejumlah perkara yang perlu penjelasan:
- Dalil-dalil yang ada baik dari al-Kitab maupun dari as-Sunnah wajib diikuti menurut ketentuannya. Tidak ada perbedaan antara dalil-dalil yang dinyatakan di Mekah al-Mukarramah dan dalil-dalil di Madinah al-Munawarah.
- Dalil-dalil yang dituntut adalah dalil-dalil atas permasalahan dan bukan dalil-dalil atas selain permasalahan tersebut:
- Misalnya, jika saya ingin mengetahui bagaimana saya berwudhu, saya mencari dalil-dalil wudhu itu bagaimana, baik dalil itu diturunkan di Mekah ataupun di Madinah dan darinya diistinbath hukum syara’ wudhu sesuai ushul yang diikuti … Akan tetapi, saya tidak mencari dalil-dalil puasa untuk darinya diambil hukum wudhu dan tata cara wudhu.
- Misal lain, jika saya ingin mengetahui hukum haji, maka demikian juga saya mencari dalil-dalil haji itu bagaimana, baik diturunkan di Mekah ataupun di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara tentang haji sesuai ushul yang diikuti. Tetapi saya tidak mencari dalil-dalil shalat untuk saya ambil darinya hukum haji dan tatacaranya.
- Misal lain, jika saya ingin mengetahui hukum-hukum jihad: ‘ain atau kifayah, defensif atau ofensif, hukum – hukum penaklukan dan penyebaran Islam yang menjadi konsekuensi jihad, penaklukan secara peperangan atau perjanjian … Maka saya mencari dali-dalil jihad itu sendiri, baik diturunkan di Mekah atau di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara’ tentang jihad itu sesuai ushul yang diikuti. Akan tetapi saya tidak mencari dali-dalil zakat untuk darinya saya ambil hukum jihad dan rinciannya.
- Begitulah dalam setiap permasalahan. Maka dicari dalil-dalilnya yang dinyatakan di Mekah atau di Madinah, dan diambil hukum syara’ untuk permasalahan tersebut dari dalil-dalil ini sesuai ushul yang diikuti.
- Dan sekarang kita tiba ke permasalahan penegakan daulah islamiyah, dan kita cari dalil-dalilnya, baik diturunkan di Mekah atau di Madinah, dan darinya diistinbath hukum syara’ sesuai ushul yang diikuti.
Sungguh kita tidak menemukan dalil-dalil penegakan daulah islamiyah kecuali yang dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sirah beliau di Mekah al-Mukarramah. Beliau menyeru kepada Islam secara rahasia sehingga beliau mengadakan kutlah mukminah yang sabar … Kemudian beliau mendeklarasikan di tengah masyarakat di Mekah dan di berbagai musim … kemudian beliau meminta nushrah ahlul quwah. Maka Allah SWT memuliakan beliau dengan kaum Anshar lalu beliau berhijrah kepada mereka dan menegakkan daulah.
Inilah dalil-dalil penegakan daulah, dan tidak ada dalil lainnya. Rasul saw telah menjelaskannya untuk kita dalam sirah beliau dengan penjelasan yang mencukupi. Dan kita wajib berpegang kepadanya. Jadi topiknya bukan pada fase Mekah sebelum diwajibkannya jihad dan fase Madinah setelah diwajibkan Jihad. Akan tetapi topiknya adalah pembahasan tentang dali-dalil penegakan daulah. Dan dalil-dalil penegakan daulah itu tidak ada kecuali di Mekah sampai Rasulullah saw berhijrah ke Madinah dan menegakkan daulah.
Dan itu adalah sesuatu sementara jihad adalah sesuatu yang lain. Dan seperti yang kami katakan, maka dalil-dalil penegakan daulah diambil dari yang diduga kuatnya dan dalil-dalil jihad diambil dari yang diduga kuatnya. Dan yang ini berbeda dari yang itu dan yang satu tidak bergantung pada yang lain. Karena itu, jihad tidak diabaikan dengan tidak adanya daulah al-Khilafah…
Demikian juga perjuangan penegakan al-Khilafah tidak diabaikan disebabkan penguasa mengabaikan hukum-hukum jihad…
Atas dasar itu, jihad tetap berlangsung, dan perjuangan untuk al-Khilafah juga tetap berlangsung sampai al-Khilafah berhasil ditegakkan. Dan yang satu tidak bergantung pada yang lain. Keduanya adalah dua masalah, dan untuk masing-masing dicari dalil-dalil syara’nya dan darinya diistinbath hukum syara’ khusus dengan masalah tersebut sesuai ushul yang diikuti…) selesai.
Dan saya sungguh berharap dalam yang demikian itu ada penjelasan yang mencukupi untuk meyakinkan orang yang berdiskusi dengan Anda sehingga dia tertunjuki kepada perkara yang paling lurus, insya’a Allah.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
18 Rabiul Awwal 1440 H
26 November 2018 M