Soal:
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Ya Syaikhuna, semoga Allah menolong Anda atas apa yang disukai Allah dan Rasul-Nya.
Perkenankan saya dengan pertanyaan saya meski dengan kesibukan Anda, tetapi bagi saya Anda adalah tempat terpercaya untuk mendapat jawaban. Pertanyaan saya adalah:
Di dalam buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III disebutkan bahwa majaz tidak terjadi pada huruf. Juga disebutkan bahwa di antara hubungan majaz adalah az-ziyâdah (tambahan), dan diberikan contoh, yaitu firman Allah SWT:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (TQS asy-Syura [42]: 11).
Huruf al-kâf di sini adalah tambahan. Bukankah ini termasuk majaz dalam huruf?
Saya mohon penjelasan paradoks ini. Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Thariq Abu ‘Ariban Abu ‘Ali
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatulah wa barakatuhu.
Di dalam buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III tidak disebutkan bahwa majaz tidak terjadi pada huruf secara mutlak, tetapi yang dinyatakan adalah bahwa majaz secara otentik (ashâlah) terjadi hanya pada isim jenis dan tidak terjadi pada huruf, tidak terjadi pada fi’il dengan berbagai jenisnya, tidak terjadi pada al-musytaq dengan berbagai macamnya dan tidak terjadi pada isim al-‘alam. Semua ini di dalamnya tidak terjadi majaz secara otentik tetapi di dalamnya terjadi majaz dengan at-taba’ … Di dalam buku tersebut dijelaskan sebab tidak masuknya majaz pada semua ini secara otentik dan bahwa majaz hanya masuk padanya dengan at-taba’ … Saya kutipkan apa yang ada tentang ini dari buku asy-Syakhshiyah al-Silâmiyah juz III pada bab “al-Haqîqah wa al-Majâz”:
(… dan masuknya majaz di dalam kalam kadang kala terjadi bi adz-dzâti (dengan dirinya sendiri) yakni secara ashâlah (otentik), dan kadang terjadi dengan at-tab’iyah (mengikuti). Dan majaz bi adz-dzât itu tidak lain terjadi pada isim jenis. Dan itu adalah apa yang menunjuk pada dzat yang layak itu sendiri sebab dia bisa diterapkan pada banyak tanpa memperhatikan suatu sifat, seperti al-asad untuk asy-syujâ’ (pemberani), dan al-qatlu untuk pukulan yang keras. Dan majaz bi adz-dzât itu tidak masuk pada selain itu. Yang di dalamnya tidak masuk majaz bi adz-dzât ada beberapa perkara:
Pertama, huruf, tidak terjadi majaz pada huruf. Sebab huruf itu maknanya tidak memberi faedah sendirian, melainkan huruf itu tidak memberi faedah kecuali dengan disebutkan yang berkaitan dengannya. Jika maknanya tidak memberi faedah sendirian maka tidak dimasuki oleh majaz. Sebab masuknya majaz itu cabang dari keberadaan kalam itu mufîd (memberi faedah makna). Adapun penjelasan masuknya majaz di dalam huruf dengan at-taba’, adalah dengan digunakannya apa yang terkait dengannya secara majaz, maka at-tajawwuz (berbicara dalam bentuk majaz) mengalir dari yang berkaitan itu kepada huruf. Seperti firman Allah SWT:
﴿فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُواً وَحَزَناً﴾
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka” (TQS al-Qashshash [28]: 8).
Penjelasan alasan (ta’lîl) dipungutnya bayi Musa dengan nanti menjadi musuh, niscaya itu secara majaz, maka masuknya al-lâm al-‘illah juga secara majaz. Jadi majaz datang dalam huruf itu taba’an (mengikuti) apa yang berkaitan dengannya. Adapun majaz bi adz-dzâti maka tidak terjadi pada huruf.
Kedua: fi’lun (kata kerja) dengan jenis-jenisnya dan al-musytaq (kata derivatif) dengan macam-macamnya: seperti dhâraba dan semacamnya. Sebab baik fi’il maupun musytaq itu mengikuti asalnya yaitu mashdar (gerund) dalam keberadaannya sebagai hakikat atau majaz. Misalnya, pengucapan dhâraba setelah selesainya pukulan atau sebelumnya, tidak lain secara majaz. Sebab penyebutan pukulan dan keadaan ini seperti ucapan kita dzû dharbin merupakan majaz bukan hakikat.
Ketiga: al-‘alam, sebab jika spontan atau dinukil bukan karena hubungan, maka tidak ada keraguan dalam keberadaannya bukan majaz. Dan jika dinukilkan karena hubungan, seperti orang yang menyebut anaknya mubârakan karena keberkahan yang terkait dengan hamilnya atau kelahirannya, demikian juga itu bukan majaz. Sebab seandainya itu majaz niscaya terhalang penyebutannya ketika hubungan itu hilang. Dan keadaannya tidak demikian. Maka hal itu menunjukkan bahwa itu bukan majaz), selesai.
Jelas dari teks ini bahwa majaz terjadi pada huruf, tetapi tidak bi adz-dzât, yakni tidak secara otentik (ashâlah). Sebab huruf “tidak memberi faedah makna sendirian tetapi tidak memberi faedah makna kecuali dengan penyebutan hal terkaitnya. Jika tidak memberi faedah sendiri maka tidak dimasuki majaz. Sebab masuknya majaz merupakan cabang dari keberadaan kalam itu yang memberi faedah makna (mufîd)”. Tetapi jika digunakan apa yang berkaitan dengan huruf dengan penggunaan secara majaz maka at-tajawwuz (berbicara secara majaz) mengalir dari yang berkaitan itu kepada huruf. Jadi majaz dalam huruf adalah mengikuti apa yang berkaitan dengan huruf itu …
Dan sekarang kita sampai ke contoh yang Anda isyaratkan di pertanyaan seputar masuknya majaz terhadap huruf, yaitu contoh yang ada di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz III pada bab al-Haqîqah wa al-Majâz ketika berbicara tentang hubungan majaz dan jenis-jenisnya. Di situ disebutkan ketika menyebutkan jenis kesembilan di antaranya sebagai berikut:
(Jenis kesembilan: az-ziyâdah (tambahan) – yaitu kalam tersusun dengan digugurkannya kata sehingga kata itu dihukumi sebagai tambahan. Seperti firman Allah SWT:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (TQS asy-Syura [42]: 11).
Itu disebut majaz melalui tambahan (majâz bi az-ziyâdah), arti ayat itu “tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya”. Jadi huruf al-kâf adalah tambahan. Sebab yang dimaksudkan adalah penafian sesuatu yang serupa bukan penafian semisal hal yang serupa. Sebab huruf al-kâf itu maknanya mitslu (serupa). Maka ketika itu (jika al-kâf bukan tambahan) meniscayakan penetapan hal yang serupa dengan Allah dan itu mustahil. Jadi niscaya al-kâf di situ adalah tambahan untuk penegasan –li at-ta`kîd-), selesai.
Dalam contoh ini, majaz pada huruf al-kâf dalam firman Allah SWT “kamitslihi -yang menyerupai-Nya-“ bukan majâz bi adz-dzâti -majaz dengan dirinya sendiri-, yakni ashâlah (otentik), tetapi merupakan taba’an (mengikuti). Hal itu bahwa yang berkaitan dengan huruf al-kâf lah yang dimasuki majaz sehingga mengalir ke huruf al-kâf. Jadi huruf al-kâf menurut hakikat memberi faedah makna penyerupaan. Tetapi jika huruf al-kâf dalam kalimat ini dijadikan menurut hakikat maka kalimat itu menjadi tidak benar sebab akan berarti bahwa ada yang serupa dengan Allah SWT dan bahwa yang serupa itu tidak ada yang serupa dengannya yakni tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya. Namun ini bukan yang dimaksudkan dari ayat tersebut. Tetapi yang dimaksudkan dari ayat tersebut adalah tidak ada yang serupa dengan Allah SWT. Jadi ayat tersebut maknanya “laysa mitsluhu syay`un -tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya-. Makna ayat tersebut mengharuskan pengalihan huruf al-kâf dari memberi makna penyerupaan (at-tasybîh) dan dibuat tidak memberi makna penyerupaan, melainkan menjadi memberi makna penegasan (at-ta`kîd) … Artinya, dialihkan dari makna hakikat ke makna majaz dengan sebab susunan kalimat, yakni disebabkan kalimat … Jadi lafazh “kamistlihi” menurut hakikat menunjuk kepada mitslu al-mitsli -serupa yang menyerupai-, tetapi secara majaz menunjuk terhadap al-mitslu (yang serupa) saja dari sisi hubungan tambahan (‘alâqatu az-ziyâdah), yakni menganggap huruf al-kâf sebagai tambahan. Maka makna majazi untuk lafazh kamistlihi ini mengharuskan dianggapnya huruf al-kâf sebagai tambahan. Dan penilaian huruf al-kâf itu sebagai tambahan merupakan majaz sebab dialihkan dari maknanya secara asli yaitu at-tasybîh (penyerupaan) kepada makna ghayru at-tasybîh (bukan penyerupaan) yaitu tambahan (az-ziyâdah) yang menunjukkan penegasan (at-ta`kîd) … Jadi majaz yang ada di lafazh “kamitslihi” yang ada dalam kalimat itu seluruhnya, mengalir ke huruf al-kâf, yakni mengalir dari hal yang berkaitan dengan huruf kepada huruf …
Ringkasnya: bahwa majaz yang disebutkan di ayat:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (TQS asy-Syura [42]: 11).
Melalui penilaian tambahan huruf al-kâf adalah majaz at-taba’ yang masuk terhadap huruf. Hal itu karena tambahan al-kâf diharuskan oleh kalimat (laysa kamistlihi syay`un). Jadi pengalihan huruf al-kâf dari memberi makna penyerupaan, disebabkan oleh susunan kalimat yang di dalamnya ada huruf al-kâf itu, yakni terjadi majaz di dalam kalimat itu disebabkan kalimat yang di dalamnya ada huruf tersebut …
Saya berharap perkaranya telah menjadi jelas.
Dan terimalah salam saya.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
28 Rabiul Awal 1441 H
25 November 2019 M