Pertanyaan:
Apakah taghyir (perubahan) terjadi pada daerah yang dikuasai manusia? Jika masalahnya demikian, lalu apakah manusia bisa memutuskan waktu dan tempat taghyir? Berikutnya, jika waktu berkepanjangan dan belum terjadi taghyir, lalu apakah itu berarti kesalahan para aktivisnya? Ataukah taghyir itu ada pada daerah yang menguasai manusia? Jika demikian halnya, lalu apa konotasi ayat yang mulia:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS ar-Ra’d [13]: 11).
Jawab:
Kata taghyir yang ada di dalam pertanyaan. Jika yang dimaksud adalah aktivitas untuk mewujudkan taghyir maka benar, itu berada di dalam daerah yang dikuasai manusia. Hukum syariah dalam masalah itu sangat jelas.
Adapun jika yang dimaksud kata taghyir adalah “realiasinya” maka itu tidak benar. Pasalnya, realisasi taghyir berada di dalam daerah yang menguasai manusia. Kadang para aktivis telah berjuang secara serius dan penuh kesungguhan, tetapi taghyir yang diidam-idamkan belum terjadi. Bisa jadi taghyir itu terjadi setelah jangka waktu yang panjang atau pendek.
Manusia harus menghisab dirinya sendiri atas perbuatannya sebelum dia dihisab. Karena itu ia bisa memilih antara abai atau serius dan bersungguh-sungguh. Ia bisa mengambil uslub yang ini dan meninggalkan uslub yang itu. Ia bisa mengubah perilakunya jika ia memperhatikan ada ‘asap’ di dalamnya. Ia menguatkan hubungannya dengan Allah SWT.
Akan tetapi, semua itu adalah pelaksanaan terhadap hukum syariah yang dituntut oleh kewajiban untuk berjuang mewujudkan perubahan (taghyir) dari keburukan menjadi kebaikan dan dari kebatilan menjadi kebenaran.
Realisasi hal itu secara meyakinkan, pada waktu tertentu, hari ini atau besok, di tempat ini atau yang itu, maka masalah itu tidak berada di dalam wilayah yang dikuasai oleh manusia. Akan tetapi, masalah itu berada dalam wilayah yang menguasai manusia.
Dalil atas hal itu berasal dari sirah Rasulullah saw. dan perbuatan beliau. Rasulullah saw. diutus di Makkah dan berjuang di sana lebih dari sepuluh tahun. Meski demikian, perubahan (taghyir) tidak terjadi di sana. Tidak mungkin dinyatakan dalam hal ini bahwa Rasul saw. telah keliru dalam perjuangannya.
Demikian pula Rasulullah saw. dengan pribadinya yang mulia meminta nushrah dari kabilah-kabilah sebanyak belasan kali. Meski demikian kabilah-kabilah itu tidak memenuhi permintaan beliau dan tidak terjadi taghyir. Bahkan sebagian dari kabilah-kabilah itu menolak beliau secara buruk. Tidak mungkin dinyatakan di sini bahwa Rasul saw. telah salah dalam perjuangannya.
Kemudian kelompok itu datang ke Makkah. Lalu terjadilah peristiwa Baiat Aqabah pertama, dan kedua. Mushab membuat taghyir selama satu tahun di Madinah lebih dari apa yang dibuat oleh Rasulullah saw. di Makkah. Padahal upaya Mushab tidak bisa dibandingkan dengan upaya Rasul saw. Kemudian Negara Islam didirikan di Madinah dan tidak berdiri di Makkah.
Atas dasar itu, upaya untuk mewujudkan perubahan (taghyir) dengan perjuangan yang baik dan sempurna, memperbagus uslub-uslub dan potensi-potensi dan berjuang di lebih dari satu tempat berada di dalam wilayah yang dikuasai oleh manusia, dan manusia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Manusia wajib melakukan upaya secara serius dan penuh kesungguhan, baik jalan itu panjang ataupun pendek. Kesulitan jalan tidak membengkokkan punggungnya. Musibah-musibah di saluran tidak melemahkan dia. Berbagai halangan tidak boleh melemahkan tekad. Akan tetapi, ia harus tetap berdiri tegak dan lurus, kokoh di atas kebenaran laksana gunung yang menjulang. Ia menghisab dirinya sendiri siang dan malam atas kebaikan dan kesempurnaan amalnya. Ia bertawakal kepada Allah SWT dan berdoa kepada-Nya siang maupun malam agar Allah SWT menyegerakan pertolongan dan memberikan karunia kepada dirinya.
Adapun realisasi taghyir berada di wilayah yang mengendalikan kita. Kita tidak bisa merealisasinya hari ini atau besok, tidak pula di tempat ini atau tempat yang itu. Oleh karena itu tidak layak kita terjerumus dalam frustasi atau keputusasaan jika jalan taghyir itu panjang atau kesulitan menumpuk. Akan tetapi, kita terus berjuang dan mencari kebenaran, keikhlasan, keseriusan dan kesungguhan. Kita memperbagus uslub dan mereviewnya. Allah melindungi orang-orang yang salih.
Begitu pula, panjangnya jalan tidak berarti bahwa perjuangan manusia untuk mewujudkan taghyir telah gagal atau salah. Rasul saw. berjuang untuk mewujudkan taghyir di Makkah, tetapi mereka (penduduk Mekah) justru mengusir beliau. Beliau meminta nushrah belasan kali, tetapi mereka menolak beliau. Bahkan sebagian penolakan mereka hingga menyebabkan beliau berdarah-darah. Kemudian nushrah terjadi di Madinah, bukan di Makkah yang di situ beliau diutus.
Tidak terpintas di dalam benak seorang pun bahwa Rasulullah saw. telah gagal atau salah, atau bahwa Mushab ra., jauh lebih semurna perjuangannya!
Lalu terkait ayat yang mulia berikut:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS ar-Ra’d [13]: 11).
Ayat tersebut berkaitan dengan hukum syariah, yaitu bahwa siapa saja yang menginginkan taghyir (perubahan) yang dia idam-idamkan maka ia wajib berjuang serius, penuh kesungguhan, jujur dan ikhlas. Allah SWT tidak merealisasikan perubahan untuk orang-orang pemalas dan tidur saja. Akan tetapi, Allah SWT akan merealisasinya untuk para aktivis yang berjuang dengan serius, sungguh-sungguh, jujur dan ikhlas.
Ringkasnya: Pertama, perjuangan untuk mewujudkan perubahan yang diidamkan adalah fardhu dan itu berada di dalam wilayah yang dikuasai manusia.
Kedua, realisasi perubahan hari ini atau besok, di tempat ini atau di tempat yang itu, adalah berada di wilayah yang menguasai manusia. Oleh karena itu, tidak boleh putus asa atau duduk berpangku tangan jika pertolongan yang dijanjikan belum juga datang.
Ketiga, panjangnya jalan sama sekali tidak berarti kelirunya para aktivis. Akan tetapi itu seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Sungguh Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS ath-Thalaq [65]: 3).
Keempat, sesungguhnya Allah SWT tidak merealisasi perubahan untuk orang-orang pemalas dan yang tidur saja. Akan tetapi, Allah SWT akan merealisasi perubahan itu untuk para pejuang yang jujur dan mukhlis.
Allah SWT adalah Pelindung Yang memberikan taufik.
[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 2 Maret 2009]