Sistem Pendidikan Islam, Pencetak Generasi Istimewa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Sistem Pendidikan Islam, Pencetak Generasi Istimewa

Oleh Rianny Puspitasari

(Pendidik)

 

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Bahkan ada ungkapan bahwa tujuannya adalah memanusiakan manusia. Namun sayang, potret pendidikan kini memiliki warna yang buram. Di antaranya pendidikan mahal, angka putus sekolah tinggi dan output yang dihasilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, tidak lagi ditujukan untuk meraih ilmu hakiki. Hingga saat ini, masalah seputar pendidikan masih menjadi PR bersama di tengah kita. Salah satunya mengenai kasus pungutan yang terjadi di SMPN Bojongsoang.

Pihak sekolah meminta orang tua untuk membayar sebesar Rp150.000 untuk biaya pasfoto, kartu pelajar dan sampul buku rapor. Sebelumnya, telah ada permintaan sumbangan berupa uang untuk perbaikan MCK (mandi, cuci, kakus) sebesar Rp75.000. Padahal sebenarnya biaya-biaya di atas bisa diambil dari dana BOS. Oleh karena itu pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung memerintahkan SMP Negeri 1 Bojongsoang meniadakan pungutan uang dari para siswa. (pikiranrakyat.com, 2/12/22)

Sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan dana BOS, Disdik Kabupaten Bandung melakukan monev (monitoring evaluasi) setahun 3 kali sesuai dengan tahapan pencairan BOS dari pemerintah pusat. Tentu kita mengapresiasi upaya preventif penyelewengan dana melalui monev ini, namun apakah ini efektif dan bisa menyelesaikan masalah pendidikan secara menyeluruh? Tentu perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam. Kemudian yang perlu diperhatikan juga adalah, apakah dana yang diberikan oleh pemerintah mencukupi biaya operasional sekolah? Jangan sampai pemerintah hanya fokus mengevaluasi seputar penggunaan BOS yang harus tepat sasaran dan sesuai petunjuk teknis. Hingga akhirnya pemerintah merasa sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, namun sebenarnya tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi sekolah.

Sistem pendidikan saat ini diakui atau tidak, sesungguhnya berdasar pada sistem pendidikan kapitalisme. Dimana pendidikan dianggap sebagai salah satu lahan bisnis yang menghasilkan pundi-pundi uang. Sehingga memungkinkan sekali praktik pungutan ‘liar’ dilakukan oknum di berbagai instansi pemerintah atau swasta termasuk instansi pendidikan. Yang diberitakan di kabupaten Bandung layaknya fenomena gunung es, kasus sebenarnya bisa jadi lebih besar dan lebih banyak oknum yang melakukan. Ini adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan hanya memotong cabang, tetapi harus ada perbaikan dari akar.

Kapitalisme yang diadopsi negara saat ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas menggiurkan untuk meraup untung secara kapital, tanpa mempedulikan halal dan haram. Arah pandang demikian sangat berbahaya, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar kolektif sebagaimana kesehatan dan keamanan, di samping kebutuhan pokok seperti pangan, papan dan sandang. Sejatinya, pemenuhan kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Pemerintah berperan dalam memastikan semua rakyat terpenuhi kebutuhan pokok dan kolektifnya baik miskin maupun kaya.

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Pengaturan dan tanggung jawab ada di pundak pemerintah sebagai institusi pelaksana aturan dan hukum-hukum Islam. Pemerintah sebagai pelayan umat akan memastikan bahwa semua rakyat mendapatkan pendidikan berkualitas dengan bebas biaya. Sebab mereka paham akan amanah mereka sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan dia yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat) nya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Pemimpin dalam institusi Islam akan menerapkan hukum Allah secara menyeluruh dan bersungguh-sungguh memastikan semua rakyat mendapatkan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Namun perlu diperhatikan bahwa sistem pendidikan berkualitas bisa terwujud jika sistem ekonominya pun adalah sistem ekonomi Islam, sistem politiknya Islam, sistem pergaulannya Islam dan lain-lain. Karena sistem yang satu dengan sistem yang lainnya saling berkaitan.

Keberhasilan sistem pendidikan Islam telah terbukti pada masa lalu saat Islam diterapkan sebagai sebuah sistem kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Saat itu, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang tinggi dan berharga. Maka penuntut ilmunya pun diistimewakan. Fasilitas pendidikan dijamin oleh negara dengan spesifikasi terbaik. Masih bisa kita lihat sisa peninggalannya, perguruan tinggi Al-Azhar di Mesir misalnya, bahkan hingga saat ini menjadi rahim yang melahirkan ilmuwan dan ulama hebat. Perpustakaan terbaik dibangun hingga ditempatkan ahli ilmu disana sebagai tempat bertanya jika ada hal yang ingin diketahui. Asrama yang nyaman disediakan bagi pencari ilmu serta fasilitas lainnya yang memudahkan penuntut ilmu dalam melakukan aktivitasnya.

Tidak heran melalui penerapan sistem pendidikan Islam banyak ulama dan ilmuwan luar biasa hadir di tengah-tengah umat. Sebut saja Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Jabr Ibnu Hayyan, Ibnu Firnas dan masih banyak lagi yang karyanya hingga sekarang masih berkontribusi dalam kehidupan manusia. Kondisi ini telah menggambarkan bahwa ketika aturan Islam diterapkan dalam sebuah institusi sahih, kaum pelajar dan pengajarnya ada dalam rasa aman dan nyaman. Tak ada tujuan lain yang ingin mereka raih selain berkontribusi untuk Islam dan peradaban. Kesadaran ini tentu tak terbentuk begitu saja tanpa peran masyarakat dan negara yang bersinergi terwujudnya ketakwaan individu.

Ketakwaan itu pula yang menjadi pengontrol aktivitas kaum muslim dalam segala hal termasuk dalam perolehan harta.

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah menganyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah).

Maka suatu keniscayaan praktik pelanggaran hukum syarak mampu diminimalisir oleh kaum muslim bahkan benar-benar ditinggalkan. Jika pun ada yang melanggar, maka negara akan bersegera mengingatkan dan atau memberinya sanksi. Dengan demikian, celah bagi oknum pungutan liar atau praktik pembebanan biaya kepada siswa dan orang tuanya akan tertutup.

Wallahu a’lam bishawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *